Beranda

Sejarawan Ungkap Hal Baru soal Makam Tiga Putri Mataram yang Diklaim Makam Habib Yaman

Sejarawan Ferry Riyandika dan situs makam Tiga Putri Mataram di Blitar. (arofiq/io)

INDONESIAONLINE – Makam Tiga Putri Mataram di Blitar menjadi polemik setelah klaim bahwa situs tersebut adalah makam habib keturunan Yaman.

Terkait polemik itu, sejarawan Ferry Riyandika memberikan tanggapannya setelah melakukan pengecekan langsung ke lokasi. Menurut Ferry, makam tersebut memang berasal dari era Kerajaan Mataram Islam. Tetapi bukti yang ada menunjukkan bahwa penghuni makam itu bukanlah seorang putri atau habib, melainkan seorang bangsawan.

Pengecekan Langsung di Makam Tiloro

Setelah mendengar polemik yang berkembang di media, Ferry Riyandika,  sejarawan yang dikenal luas akan pengetahuannya tentang sejarah Jawa, memutuskan untuk melakukan pengecekan langsung bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Blitar di makam Tiga Putri Mataram  di kompleks makam Tiloro, Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.

Ferry menjelaskan bahwa makam tersebut menampilkan nisan tipe Sultan Agungan, yang khas dari masa Sultan Agung dan sesudahnya, yaitu sebelum pembagian wilayah akibat Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. “Nisan-nisan yang ada menunjukkan karakteristik dari masa Sultan Agung,” ujar Ferry, Rabu (27/6/2024).

Namun, ia menemukan sesuatu yang menarik. Berdasarkan analisisnya, Ferry  menyatakan bahwa penghuni makam itu bukanlah putri dari Kerajaan Mataram seperti yang selama ini diyakini masyarakat. “Yang di makam utama masa Sultan Agungan itu bukan sosok putri. Melainkan yang timur laki-laki dewasa, tengah kemungkinan keluarganya (anak), dan yang barat perempuan dewasa. Bawahnya (selatan barat) kemungkinan pembantunya. Jadi, mereka adalah bangsawan, bukan ulama,” jelas Ferry.

Ia menambahkan, biasanya, ulama atau penghulu memiliki simbol khas seperti wulan tumanggal atau purnama sidinya di nisannya. Namun, pada makam ini, simbol-simbol tersebut tidak ada. Ini menunjukkan bahwa penghuni makam kemungkinan besar adalah pejabat daerah atau bangsawan, bukan ulama.

Ferry juga mencatat bahwa nisan-nisan tersebut terbuat dari batu putih (gamping) yang mudah aus, yang konsisten dengan material yang digunakan pada masa itu. “Jadi, makam Tiga Putri Mataram di kompleks makam Tiloro itu memang makam era Mataram. Tapi nisannya bukan putri. Tapi laki-laki untuk yang timur, tengah keturunannya, barat perempuan,” ucapnya.

Perlunya Kehati-hatian dalam Penafsiran Sejarah

Dalam pernyataannya, Ferry Riyandika menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan dan mengidentifikasi situs-situs sejarah. “Setiap situs sejarah memiliki konteks dan signifikansinya sendiri. Mengklaim sesuatu tanpa bukti yang cukup bisa mengaburkan kebenaran sejarah dan merusak warisan budaya,” katanya.

Ferry juga menyoroti maraknya fenomena “ronsen kuburan” atau pemalsuan makam yang mengubah identitas asli makam menjadi makam habib palsu. “Fenomena ini perlu diatasi dengan hati-hati untuk menghindari kebencian dan perpecahan antara kelompok masyarakat yang berbeda. Masyarakat di desa-desa perlu peduli dengan situs-situs makam tua yang ada di daerahnya dan merawatnya dengan baik,” ujarnya.

Makam Tiga Putri Mataram: Simbol Identitas dan Warisan Budaya

Sebelumnya, makam Tiga Putri Mataram yang terletak di Kelurahan Blitar telah lama menjadi simbol identitas dan warisan budaya bagi masyarakat setempat. Masyarakat setempat menghormati makam tersebut sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi tiga putri dari Kerajaan Mataram pada abad ke-17: Roro Rayung, Roro Wandansari, dan Roro Bondan Palupi. Penghormatan ini tercermin dalam penamaan jalan-jalan di Kelurahan Blitar yang mengambil nama ketiga putri tersebut.

Namun, klaim bahwa makam tersebut adalah makam habib keturunan Yaman telah menimbulkan kekhawatiran. Sebab, situs-situs seperti makam Tiga Putri Mataram bukan hanya merupakan bagian dari identitas sejarah Blitar, tetapi juga menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur dan sejarah lokal.

Ferry Riyandika mengajak masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan warisan sejarah ini. “Situs-situs sejarah adalah bagian tak terpisahkan dari identitas kita. Merawat dan melindunginya adalah tanggung jawab kita semua. Dengan menjaga sejarah dan budaya kita, kita juga menjaga masa depan bangsa ini,” pungkasnya.

Dengan adanya klarifikasi dari Ferry Riyandika, diharapkan polemik terkait makam Tiga Putri Mataram dapat segera terselesaikan dan situs ini dapat terus dijaga sebagai bagian penting dari warisan sejarah Blitar. (ar/hel)

 

Exit mobile version