INDONESIAONLINE – Di Galeri 5 Busan MoCA (Museum of Contemporary Art), sore itu bukan sekadar heningnya ruang pamer yang diselimuti karya. Ada sesuatu yang bergerak, berdenyut, dan bercerita.
Dari gemeretak batu, desah air yang mengalir, dengung elektronik yang samar, hingga vokal emosional seorang perempuan, sebuah narasi tak kasat mata tercipta. Ini bukan lagi soal estetika semata; ini adalah percakapan tentang tanah yang dipindahkan, suara alam yang lama terkubur, dan masa depan yang seolah mengintip dari retakan sejarah.
Inilah inti dari Spinning Ground, sebuah pertunjukan kontemporer hasil kolaborasi seniman Indonesia, Rani Jambak, dan seniman Korea Selatan, Sojin Kwak. Pentas yang berlangsung pada 30 dan 31 Mei 2025 ini berhasil menancapkan jejak mendalam dalam pameran Green Shivering, sebuah agenda unggulan Busan MoCA tahun ini yang khusus menggarap tema ekologi, ketubuhan, dan lanskap pascainduksi melalui seni suara, seni media, dan performans kontemporer.
Dari Filsafat hingga Komposisi Bunyi yang Bernyawa
Green Shivering, yang dikuratori oleh Dasol Lee, mengambil inspirasi dari pemikiran filsuf ekologi Timothy Morton. Morton mengulas tentang dunia yang telah berubah menjadi asimetris, di mana keseimbangan antara manusia dan non-manusia tak lagi setara, seolah bumi tak lagi berputar hanya untuk kepentingan manusia.
Dalam konteks inilah, karya-karya interdisipliner dari berbagai seniman internasional seperti Heiner Goebbels (Jerman) dan seniman Korea Selatan lainnya—Ik-myung Kim, Lee Jade Sujin, Im Goeun, serta Sojin Kwak—dipertemukan.
Spinning Ground sendiri adalah titik temu dua proyek riset panjang para senimannya. Sojin Kwak membawa proyek videonya, Moving Ground, sebuah eksplorasi visual geologis dari tambang dan pabrik batu, hingga tanah yang bergerak secara artifisial.
Sementara Rani Jambak, seniman asal Sumatera Barat, menggali akarnya melalui riset #FUTUREANCESTOR, sebuah upaya artistik menelusuri budaya Minangkabau melalui rekaman suara alam, instrumen buatan, dan spiritualitas leluhur. Dari sinilah lahir Kincia Aia, sebuah alat musik elektroakustik berbentuk kincir air, simbol perputaran alam dan olah manusia.
Robot Masa Depan dan Nenek Moyang
Keunikan Spinning Ground tak hanya terletak pada bunyi, namun pada titik tolak inspirasinya yang kontras namun saling melengkapi.
Sojin Kwak memulai proyek ini dari kutipan fiksi ilmiah yang meresap:
“Hidup kita bukan milik kita sendiri. Dari rahim hingga liang lahat, kita terikat pada sesama. Masa lalu dan masa kini. Dan melalui setiap kejahatan maupun kebaikan, kita melahirkan masa depan kita.”
Ini adalah “Deklarasi Sonmi-451” dari novel Cloud Atlas karya David Mitchell, manifesto robot yang ditulis pada tahun 2144 dan ditemukan kembali di 2321. Teks ini memantik pertanyaan esensial: siapa yang akan mewariskan nilai-nilai kehidupan di masa depan—manusia atau mesin?
Di sisi lain, Rani Jambak dengan proyek #FUTUREANCESTOR justru mencari jawaban dari wisdom para leluhur manusia. Pertemuan dua perspektif ini—antara narasi robotik futuristik dan kearifan nenek moyang masa lalu—menjadi benang penghubung yang menembus batas waktu.
“Dua-duanya sebenarnya bicara tentang masa depan,” ungkap Sojin.
“Bedanya, yang satu berasal dari kemajuan mesin, yang satu lagi dari akar tradisi. Tapi nilai-nilainya sama: keberlanjutan, penghargaan terhadap hidup, dan kesadaran terhadap bumi,” terangnya.
Sojin bahkan melangkah lebih jauh, membayangkan hubungan imajinatif antara Pulau Eulsukdo di Korea Selatan—lokasi MoCA berdiri—dengan lubang bekas galian tambang di Sukabumi, Indonesia.
“Secara imajinatif, Pulau Eulsukdo itu seperti sedotan yang menyembul, di mana tanah dan batuannya berasal dari lubang tambang di Sukabumi,” ujar Sojin, melukiskan bagaimana batuan dan tanah yang hilang di satu tempat, bisa muncul di tempat lain—sebuah gambaran tentang cara bumi bekerja, atau mungkin, cara manusia mengubah bumi.
Simfoni “Loss” dan “Recovery”: Merawat Luka Bumi
Pertunjukan Spinning Ground sendiri terbagi dalam dua komposisi emosional: “Loss” dan “Recovery”. Pada bagian pertama, “Loss”, Rani Jambak berdiri seorang diri di tengah panggung. Suara gemuruhnya bukan berasal dari rekaman, melainkan dari benturan dan gesekan batu-batu asli yang dikumpulkannya dari sekitar museum.
Ia menciptakan nada kasar, mentah, penuh intensitas, meniru jerit gunung yang digali, bumi yang dikeruk, dan deru ketamakan yang menganga. Ini adalah ledakan kemarahan dan ketakutan atas eksploitasi alam.
“Komposisi ini menggambarkan alam yang dilukai, dan ketakutan manusia yang ditinggalkan oleh tanah yang hancur,” tutur Rani.
Kemudian, terjadi pergeseran dramatis memasuki bagian kedua, “Recovery”. Suara berubah menjadi lebih lembut dan reflektif. Rani kini menggunakan lempeng batu besar yang terhubung ke sistem musik elektronik.
Dengan sentuhan lembut, ia membelai batu itu, menciptakan suara ambience yang menenangkan. Seperti seorang ibu merawat anaknya, Rani mengolah bunyi dari batu itu, menunjukkan bahwa batu bukanlah benda mati, melainkan simbol kehidupan yang harus dirawat.
Suara vokal Rani muncul dominan, menyerukan harapan. Ia memungut batu-batu kecil, menggenggamnya, lalu meletakkannya dengan hati-hati—sebuah gestur yang mengandung pesan bahwa batu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Sementara itu, Kincia Aia yang dimainkan Rani di kedua komposisi, menjadi simbol keterkaitan batu dan air, serta perputaran bumi dan denyut kehidupan di atasnya.
Seluruh lapisan bunyi dalam pertunjukan berdurasi sekitar 40 menit ini disusun oleh Rani Jambak, yang juga tampil sebagai performer tunggal. Bunyi-bunyian ini berasal dari rekaman lapangan soundscape suara alam dan aktivitas manusia yang dikumpulkan Rani dan Sojin dari berbagai lokasi di Indonesia dan Korea—dari suara hutan, ombak, sungai, hingga riuh pelabuhan Busan dan lingkungan Pulau Eulsukdo.
Dengan Morgan Jeong sebagai desainer suara dan Erly Noviana sebagai penata rias yang memperkuat gestur performatif, kolaborasi ini menghasilkan pengalaman sensorik yang kaya.
“Bunyi-bunyian ini tidak saya tempatkan sebagai latar, tapi sebagai tokoh utama,” kata Rani.
“Mereka yang berbicara. Mereka yang mengajak kita mendengar ulang hubungan kita dengan tanah dan batu-batuan di bumi,” tegasnya.
Eulsukdo: Saksi Bisu dan Harapan di Masa Depan
Lokasi pementasan ini, Pulau Eulsukdo, juga memiliki narasi kuatnya sendiri. Terbentuk secara alami pada tahun 60-an oleh akumulasi sedimen, pulau ini pernah menjadi tempat pembuangan sampah.
Namun kini, Eulsukdo telah dipulihkan menjadi taman ekologi dan habitat burung migran—dikenal sebagai “pulau bersih dengan burung-burung.”
Busan MoCA sendiri, yang dibuka pada tahun 2018 di pulau ini, dirancang dengan fasad “vertical garden” yang melambangkan keterhubungan arsitektur dan ekologi, menjadi ruang eksperimental yang menjembatani manusia, teknologi, dan alam.
Meski berbeda latar belakang—Rani seorang komposer dan seniman yang mendalami budaya dan ingatan leluhur, sementara Sojin seorang seniman intermedia yang akrab dengan citra geologis—pendekatan mereka saling bertaut. Bersama, mereka mengajak audiens untuk merasakan relasi lintas disiplin, lintas bahasa, dan lintas waktu—semuanya dalam wujud suara.
Melalui Spinning Ground, Rani dan Sojin merumuskan dialog artistik tentang apa yang tertinggal ketika tanah dipindahkan, ketika tradisi bertemu spekulasi futuristik, dan ketika batu-batu kecil bisa menyimpan gema sejarah yang lebih panjang dari kehidupan kita.
Pengalaman ini tak hanya terekam dalam memori penonton yang hadir langsung di Busan MoCA, namun juga diarsipkan secara permanen oleh museum—sebagai kesaksian bahwa tanah pernah bicara, dan suara bisa menjadi jembatan antara yang hilang dan yang akan datang.