Menelusuri jejak Sultan Agung dalam sejarah Mataram Islam. Menguak misteri ritus pitjaerdaegen, mitos tombak Taman Krapyak, dan politik hegemoni Jawa abad ke-17.
INDONESIAONLINE – Di tanah Jawa pada paruh pertama abad ke-17, kekuasaan tidak hanya ditegakkan melalui laras senapan atau kilau mata tombak, melainkan melalui sunyi yang mencekam di bangsal istana. Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa terbesar Dinasti Mataram Islam, memahami benar bahwa menjadi raja berarti menjadi pusat dari segala orbit kehidupan.
Ia bukan sekadar politisi ulung yang menyatukan pesisir dan pedalaman, melainkan seorang “sutradara” agung yang mementaskan teater kekuasaan di mana setiap gerak tubuh, tata duduk, hingga tetes darah memiliki makna kosmis.
Sejarah Mataram di bawah Sultan Agung (1613–1645) adalah sebuah epik tentang bagaimana seorang Raden Mas Rangsang—nama mudanya yang menyiratkan gairah yang meletup—mentransformasi keraton menjadi titik nol sumbu dunia.
Pitjaerdaegen: Disiplin dalam Kesenyapan
Jika Eropa memiliki parlemen yang riuh, Mataram memiliki pitjaerdaegen—hari wicara raja—yang justru dikuasai oleh disiplin kesenyapan. Merujuk pada catatan para pelancong Belanda seperti yang dihimpun dalam De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië karya J.K.J. de Jonge, hari Senin dan Kamis adalah hari keramat bagi birokrasi Mataram.
Di bangsal luar Keraton Karta, ribuan pejabat dari adipati hingga mantri duduk bersila tanpa alas, membentuk lingkaran-lingkaran konsentris yang rapi bak mandala raksasa. Tidak ada tikar, tidak ada payung, dan tidak ada tembakau.
Mereka menanggalkan atribut kemewahan duniawi untuk lebur dalam kerendahan mutlak di hadapan Susuhunan. Keheningan ini adalah bentuk teror psikologis yang halus namun mematikan; sebuah pesan bahwa di Mataram, hanya ada satu matahari.
Ketika titah jatuh, para abdi dalem tidak berjalan, melainkan berlari atau menyembah dengan takzim. Kecepatan dan ketepatan gerak dalam ritus pitjaerdaegen bukan sekadar etiket, melainkan barometer loyalitas. Siapa yang lambat, ia dianggap cacat secara moral dan politik.
Darah di Rerumputan Krapyak: Antara Mitos dan Fakta
Namun, di balik dinding istana yang kaku, Sultan Agung juga seorang pemburu yang mewarisi gairah raja-raja Jawa Kuno seperti Hayam Wuruk dari Majapahit. Taman Krapyak, hutan perburuan di selatan keraton, menjadi saksi sisi manusiawi sekaligus mistis sang raja.
Dalam historiografi tradisional yang berkelindan dengan Babad Tanah Jawi, dikisahkan sebuah insiden dramatis. Di atas pedati—sebuah moda yang mengingatkan pada kereta perang masa klasik—Sultan Agung berhadapan dengan seekor hewan buas (beberapa sumber menyebut banteng, tradisi lisan menyebut kijang). Pertarungan itu meninggalkan luka di paha sang Sultan, meneteskan darah di rerumputan Krapyak.
Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan kerja seorang raja. Darah raja yang tumpah ke bumi dianggap sebagai “perkawinan” antara penguasa dan tanahnya. Menariknya, insiden ini melahirkan tabu kultural: larangan penggunaan gagang tombak dari kayu wregu bagi keturunannya. Kayu yang getas itu dianggap gagal melindungi raja.
H.J. de Graaf, sejarawan terkemuka yang mendedah sejarah Mataram, mencatat dalam De Regering van Sultan Agung bahwa insiden perburuan ini terekam dalam laporan diplomatik Belanda tahun 1623.
Utusan VOC mencatat raja “sedang tidak enak badan akibat jatuh saat berburu”. Ini membuktikan bahwa di balik selubung mitos babad, terdapat inti fakta sejarah yang valid: bahwa Sultan Agung adalah raja yang aktif secara fisik, berani mengambil risiko, dan menjadikan tubuhnya sendiri sebagai bagian dari narasi kekuasaan.
Hegemoni Genealogis dan Spiritual
Keagungan Sultan Agung tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah simpul pertemuan dua arus besar darah biru Jawa. Dari ayahnya, Panembahan Hanyakrawati, mengalir darah Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati yang “kasar” dan ekspansif.
Dari ibunya, Ratu Mas Adi Dyah Banawati, mengalir darah halus Kesultanan Pajang, trah Jaka Tingkir yang berhulu ke Brawijaya Majapahit.
Penyatuan ini ia sempurnakan dengan gelar-gelar yang melampaui batas geografis. Setelah penaklukan Madura (1624), ia mengambil gelar Susuhunan. Puncaknya, pada 1641, ia mendapatkan legitimasi dari Mekkah dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram.
Ini adalah proklamasi bahwa Mataram bukan lagi kerajaan agraris pedalaman semata, tetapi bagian dari komunitas Islam global.
Pembangunan kompleks makam di Imogiri dan penciptaan Kalender Jawa (menggabungkan sistem Saka Hindu dan Hijriah Islam) pada tahun 1633 adalah monumen kecerdasannya. Sultan Agung tidak menghapus masa lalu Hindu-Buddha, melainkan “mengislamkannya” dalam harmoni kebudayaan yang elegan.
Epilog: Gema yang Tak Pernah Padam
Hari ini, Keraton Karta mungkin tinggal reruntuhan tanah, dan Taman Krapyak telah berubah wajah menjadi pemukiman. Namun, warisan Sultan Agung Hanyakrakusuma tetap hidup dalam denyut budaya Jawa.
Setiap kali Kalender Jawa dibalik, setiap kali upacara keraton digelar dalam hening, dan setiap kali ziarah dilakukan ke puncak Imogiri, kita sedang menyaksikan “hantu” kekuasaan Sultan Agung yang menolak mati.
Ia mengajarkan bahwa kekuasaan bukan hanya soal menaklukkan wilayah dengan pedang, tetapi menaklukkan ingatan rakyat melalui simbol, ritus, dan budaya yang mengakar kuat. Di tangannya, sejarah menjadi sastra, dan politik menjadi seni yang sakral.
Referensi:
De Graaf, H.J. (1958). De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram, 1613-1645. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. (Rujukan utama mengenai kronologi politik, insiden perburuan, dan hubungan dengan VOC).
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford University Press. (Validasi mengenai gelar Sultan dari Mekkah tahun 1641 dan penyatuan kalender Jawa-Islam tahun 1633).
De Jonge, J.K.J. (1862–1909). De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië. (Sumber primer catatan harian pejabat VOC tentang tata cara pitjaerdaegen dan suasana keraton).
Olthof, W.L. (Terjemahan 1941). Babad Tanah Jawi. (Sumber historiografi tradisional Jawa mengenai mitologi kayu wregu dan silsilah raja).
