Beranda

Sunan Bonang, Silsilah dan Jejak Penyebaran Dakwah Islam

Sunan Bonang, Silsilah dan Jejak Penyebaran Dakwah Islam
Ilustrasi Sunan Bonang

INDONESIAONLINE – Sosok Sunan Bonang menjelma sebagai salah satu figur sentral dalam sejarah Islamisasi Nusantara antara akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Dengan nama kecil Mahdum Ibrahim, ia bukan semata-mata seorang wali, namun juga pembentuk narasi budaya Jawa-Islam yang bertahan hingga kini.

Dalam pengisahan sejarah yang memadukan dokumen, babad, dan kisah lisan, Sunan Bonang tampil sebagai produk dari silsilah besar ulama dunia Islam sekaligus pemilik legitimasi budaya lokal Jawa.

Asal Usul dan Silsilah

Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo mencatat bahwa Sunan Bonang adalah putra keempat dari Sunan Ampel, ulama besar dari Surabaya yang diyakini sebagai pelopor Islamisasi di pesisir utara Jawa. Ibunya, Nyai Ageng Manila, adalah putri Arya Teja, bupati Tuban, yang menjadikan Sunan Bonang memiliki ikatan darah dengan elit lokal pesisir Jawa yang saat itu masih merupakan bagian dari struktur kekuasaan Majapahit. Berbagai babad seperti Babad Risaking Majapahit, Babad Cerbon, dan Babad ing Gresik menyebut nama-nama saudara Sunan Bonang dari berbagai ibu—baik saudari seibu seperti Nyai Gedeng Maloka dan Sunan Drajat, maupun saudara tiri seperti Seh Mahmud, Seh Saban alias Ki Rancah, dan Nyai Mandura.

Hubungan kekerabatan Sunan Bonang dengan tokoh-tokoh penting Wali Songo lainnya memperlihatkan bahwa jaringan Islamisasi tidak terlepas dari koneksi darah dan kekuasaan. Sunan Kalijaga, misalnya, menurut beberapa versi adalah keponakan Sunan Bonang karena ayahnya, Arya Wilatikta, merupakan adik dari Nyai Ageng Manila.

Pertarungan naratif atas asal-usul Sunan Bonang menunjukkan betapa kompleks dan cairnya konstruksi identitas para Wali Songo. Versi silsilah klasik mencatat bahwa Mahdum Ibrahim adalah keturunan dari Nabi Muhammad SAW melalui jalur Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Silsilah panjang ini mencakup tokoh-tokoh besar seperti Imam Ja’far ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, hingga Jalaluddin Khan dan Syaikh Jumadil Qubro—figur penting yang menjadi penghubung antara genealogi Timur Tengah dan penyebaran Islam di Asia Tenggara.

Namun, ada juga versi yang menyebut Mahdum Ibrahim berasal dari Yunan, Cina Selatan. Menurut naskah yang tersimpan di Klenteng Talang, nama asli Sunan Bonang adalah Bong Ang, putra dari Bong Swi Ho alias Sunan Ampel. Bong Swi Ho sendiri diyakini cucu dari Bong Tak Keng, seorang pengelana dari Tiongkok. Versi ini memperlihatkan dimensi multietnis dari Islamisasi Jawa, bahwa penyebaran agama tidak datang dari satu saluran tunggal, tetapi melalui jaringan yang plural: dari Samarkand, Hadramaut, Champa, hingga Yunan.

Sementara itu, hikayat dari Carita Lasem mengisahkan bagaimana Sunan Bonang ditugasi menjaga makam neneknya, Bi Nang Ti dari Champa, di Puthuk Regol, Lasem. Ini menegaskan lagi akar-akar Asia Tenggara dalam identitasnya. Maka, Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang sesungguhnya berada di persimpangan tiga dunia: Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Pendidikan dan Keilmuan

Sunan Bonang bukan hanya seorang penyebar agama, melainkan intelektual yang menempuh jalur panjang pendidikan. Ia belajar langsung dari ayahnya, Sunan Ampel, dan menjadi rekan seperguruan dari tokoh-tokoh seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen. Ia juga sempat menuntut ilmu kepada Maulana Ishaq di Malaka dalam perjalanan haji menuju Tanah Suci. Pengembaraan spiritual dan intelektual ini memperkuat kapasitas Sunan Bonang sebagai ulama yang menguasai fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, bahkan ilmu kanuragan.

Sunan Bonang dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan kesaktian dan karomah dengan pengetahuan ilmiah. Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa, disebutkan kisah pertarungannya dengan Ajar Blacak Ngilo dalam adu ayam, yang berakhir dengan kekalahan Ajar dan pertobatannya. Begitu pula dengan kisah mengubah aliran Sungai Brantas untuk mengatasi daerah yang enggan menerima dakwah. Tokoh-tokoh seperti Buto Locaya dan Nyai Pluncing dalam Babad Daha-Kediri menjadi metafora atas kekuatan lama yang kalah oleh pesan Islam yang disampaikan Sunan Bonang.

Yang membedakan Sunan Bonang dari banyak tokoh ulama sezamannya adalah pendekatannya yang kultural. Ia sangat menekankan pada metode dakwah berbasis seni dan budaya lokal. Sunan Bonang dikenal piawai dalam memainkan wayang, menciptakan lakon baru dengan pesan moral Islam. Ia juga menciptakan berbagai tembang macapat seperti Dhandhanggula, Pangkur, Asmarandana, yang mengandung ajaran sufistik.

Keahliannya dalam sastra dan seni, menurut sejumlah peneliti, diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan bangsawan Tuban. Dari sini, Sunan Bonang memahami betul seluk-beluk budaya Jawa dan mampu mengislamkan simbol-simbol tradisional menjadi ajaran yang lebih luas. Ini menjelaskan mengapa ajaran-ajaran Islamnya bisa diterima luas oleh masyarakat pesisir hingga pedalaman.

Kontribusi terbesar Sunan Bonang dalam dunia keilmuan Islam Jawa adalah teks yang dikenal sebagai Primbon Bonang. Dalam kajian B.J.O. Schrieke (1916), teks ini memuat doktrin tasawuf yang mendalam dan menunjukkan pengaruh kuat pemikiran al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki, bahkan sufisme Timur Tengah seperti Risalah Makkiyah. Schrieke menegaskan bahwa Primbon Bonang memperlihatkan penggabungan antara doktrin Syari’ah dan Haqiqah dengan pendekatan naratif dan alegoris khas Jawa.

Dalam teks tersebut, ditemukan ajaran mengenai Manunggaling Kawula lan Gusti yang kemudian menjadi dasar pemikiran tokoh-tokoh sufistik pasca-Wali Songo seperti Syekh Siti Jenar dan Seh Amongraga. Sunan Bonang membangun landasan spiritualitas Islam Jawa yang bersifat batiniah, tanpa meninggalkan syariat sebagai basis utamanya. Ia menjadi jembatan antara ortodoksi fikih dan kedalaman tasawuf.

Wafat dan Jejak Kultural

Sunan Bonang wafat pada awal abad ke-16 dan dimakamkan di Tuban, tempat yang sejak kecil menjadi bagian dari kehidupan dan jaringan keluarganya. Hingga kini, makamnya menjadi pusat ziarah penting di pesisir utara Jawa, menandai bahwa warisan spiritual dan kulturalnya tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat.

Sunan Bonang tidak hanya mewariskan ajaran Islam, tetapi juga identitas kultural baru yang menyatukan Islam, Jawa, dan pengaruh lintas benua dari Samarkand hingga Yunan. Dalam dirinya, termanifestasi sebuah sinergi peradaban: antara teks dan konteks, antara wahyu dan kebudayaan, antara Timur dan Nusantara.

Historiografi atas Sunan Bonang, sebagaimana digambarkan oleh teks-teks babad dan kajian ilmiah modern, mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu linier. Ia adalah anyaman dari narasi spiritual, politik, dan kultural. Sunan Bonang hidup dalam simpul-simpul besar sejarah dunia Islam dan berhasil mengislamkan Jawa bukan dengan pedang, tetapi dengan seni, tembang, dan narasi.

Kisah dan jejak Sunan Bonang menjadi bagian penting dalam sejarah Islam di Indonesia, menunjukkan bagaimana penyebaran agama dapat dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan menghargai budaya lokal.

Jejak Sunan Bonang dari Kediri hingga Lasem: Dakwah, Konflik, dan Kesenian

Dalam sejarah dakwah Islam di tanah Jawa, nama Sunan Bonang atau Pangeran Mahdum Ibrahim selalu hadir sebagai tokoh sentral dalam fase awal penyebaran Islam dari pesisir menuju pedalaman. Ia bukan hanya sosok mubalig, tetapi juga pembaharu kebudayaan, pemikir tasawuf, dan reformis seni tradisi. Jejak perjuangannya, dari wilayah Kediri yang keras hingga tenangnya Lasem, menghadirkan narasi kompleks yang bukan hanya religius, tetapi juga sosiokultural, politis, bahkan mistikal. Historiografi atas perjalanannya membentangkan bab-bab dakwah penuh konflik, pengasingan spiritual, serta warisan kesenian yang mengakar kuat dalam kebudayaan Jawa hingga kini.

Menurut Babad Daha-Kediri, fase awal dakwah Sunan Bonang di pedalaman dimulai dengan pendekatan yang tidak lembut. Narasi babad mencatat bahwa Sunan Bonang, sebagai putra Sunan Ampel, menggunakan metode dakwah yang keras dan frontal. Ia merusak arca-arca yang dipuja penduduk setempat, mengubah aliran Sungai Brantas, bahkan mengutuk sebuah desa hanya karena kesalahan satu orang warganya. Peristiwa ini terjadi di kawasan Singkal, yang kini masuk wilayah Nganjuk. Di sana, ia mendirikan langgar pertama, simbol dimulainya Islamisasi Kediri.

Namun, reaksi masyarakat Kediri tidak seperti yang ia harapkan. Sunan Bonang menghadapi perlawanan dari tokoh-tokoh lokal seperti Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing. Mereka mewakili resistensi dari para penganut ajaran Bhairawa-bhairawi, aliran Tantrik lokal yang memiliki akar kuat di wilayah Kediri. Babad-babad lokal menuturkan bahwa konflik ini tidak hanya berlangsung dalam ranah debat teologis, tetapi juga melibatkan konfrontasi fisik. Dakwah Bonang menemui jalan buntu. Ini menjadi indikasi bahwa penyebaran Islam di Kediri tidaklah mudah, bahkan hingga akhir abad ke-16 pun Kediri belum sepenuhnya menerima Islam.

Catatan Babad Sangkala menyebut bahwa pada tahun 1471 Jawa (1548 M), Sunan Prapen, cucu Sunan Giri, datang ke Kediri. Tiga tahun kemudian, pada 1473 J (1551 M), kota Daha dibakar habis. Ini menyiratkan bahwa proses Islamisasi Kediri baru benar-benar terjadi setelah era Sunan Bonang berlalu. Pada 1499 J (1577 M), terjadi pengepungan oleh kekuatan Islam terhadap sisa-sisa kekuatan non-Muslim di Kediri, menandai fase Islamisasi yang lebih agresif. Dalam konteks ini, Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, dan putrinya yang telah memeluk Islam dikabarkan menghilang—sebuah pertanda pergeseran kekuasaan dan krisis elite lama di wilayah itu.

Setelah kegagalannya di Kediri, Sunan Bonang disebut dalam Hikayat Hasanuddin menerima panggilan dari “Pangeran Ratu”—yang kemungkinan besar merujuk kepada Raden Patah, penguasa pertama Demak—untuk menjadi imam Masjid Agung Demak. Ia sempat menjalankan peran ini, tetapi tidak lama kemudian melepaskannya dan menyerahkan jabatan itu kepada seorang alim dari negeri Atas Angin bernama Pangeran Karang Kemuning, yang juga menjadi suami dari Nyai Gede Pancuran, saudari Sunan Bonang.

Sunan Bonang kemudian memilih menetap di Lasem, di rumah kediaman kakaknya, Nyai Gede Maloka, janda dari Pangeran Wiranagara, adipati Lasem. Menurut Carita Lasem, ia tinggal di bagian belakang kadipaten pada tahun 1402 Saka (1480 M). Di sanalah ia ditugasi merawat makam leluhurnya, Putri Bi Nang Ti dari Champa, yang berada di Puthuk Regol. Ia juga merawat makam ayah mertua dan suami kakaknya, yakni Pangeran Wirabajra dan Wiranagara. Kesalehan Sunan Bonang tergambar dalam upayanya meratakan batu gilang di dekat makam sang nenek agar bisa dijadikan tempat sujud. Situs ini kemudian dikenal sebagai Watu Layar, tempat pesujudan, yang kemudian berkembang menjadi pusat spiritual.

Dalam konteks sufisme, Watu Layar dapat dianggap sebagai zawiyah—sebuah pusat khalwat bagi pengamal tarekat. Di sana, Sunan Bonang diduga mengembangkan ajaran-ajaran esoterik Islam dan membangun komunitas kecil spiritualis. Ini memperlihatkan perubahan pendekatan dari kekerasan menuju kontemplasi. Zawiyah itu menjadi simbol dakwah dengan laku batin yang mendalam, menandai fase tasawuf dalam kiprah Sunan Bonang.

Namun, Lasem bukanlah akhir perjalanannya. Dalam usia tiga puluhan, Sunan Bonang diangkat sebagai Wali Negara Tuban, di mana ia berperan dalam urusan agama dan pendidikan Islam. Di wilayah ini, pendekatannya kembali berubah: dari perlawanan menjadi akulturasi. Ia dikenal sebagai tokoh yang memadukan dakwah dengan kesenian lokal, terutama gamelan dan wayang.

Nama Bonang sendiri diyakini berasal dari alat musik bonang, bagian penting dari gamelan Jawa. Dalam etimologi mistikal menurut R. Poedjosoebroto, kata “bonang” diurai sebagai baboning menang—“induk kemenangan.” Sunan Bonang tidak hanya memainkan alat ini, tetapi juga menggubah struktur gamelan dan irama lagu-lagu. Dalam Primbon milik K.H.R. Mohammad Adnan disebutkan bahwa ia menyusun ulang ricikan gamelan dan menciptakan gaya baru dalam gending.

Kiprahnya sebagai dalang menonjol dalam proses transformasi wayang sebagai media dakwah. Ia memasukkan unsur Islam dalam narasi pewayangan yang sebelumnya sarat dengan ajaran Hindu-Buddha. Bahkan ia menambahkan unsur-unsur visual seperti kuda, gajah, harimau, hingga kereta perang, menciptakan dinamika baru dalam pertunjukan. Inovasi ini tidak hanya memperkaya kesenian, tetapi juga memperluas daya jangkau dakwah Islam di kalangan masyarakat awam.

Selain itu, Sunan Bonang juga menggubah tembang-tembang macapat, salah satunya adalah Kidung Bonang, yang termuat dalam pupuh Dhandhanggula dan Durma. Kidung ini tidak hanya menampilkan aspek estetika sastra Jawa, tetapi juga mengandung lapisan-lapisan makna spiritual, perlambang penjagaan spiritual oleh para malaikat penjuru (Mikail, Jibril, Israfil, Izrail) terhadap manusia yang mengalami laku spiritual. Ini menunjukkan kapasitas Sunan Bonang sebagai penyusun ajaran sesuluking ngelmi—ajaran esoterik Islam yang dalam dan berlapis.

Dalam narasi historiografi Wali Songo, Sunan Bonang tampil sebagai figur yang dinamis. Dari pendekatan kekerasan di Kediri hingga pengasingan spiritual di Lasem dan reformasi kesenian di Tuban, perjalanan dakwahnya bukanlah garis lurus, tetapi penuh belokan, konflik, dan kontemplasi. Ia bukan hanya penyebar Islam, tetapi juga transformator budaya, penyusun ajaran tasawuf, dan pelopor Islam kultural.

Jejaknya tertinggal dalam nama desa, dalam irama gending, dalam susunan tembang macapat, hingga dalam tapak ziarah seperti Watu Layar dan Desa Bonang. Dalam Sunan Bonang, kita menyaksikan sintesis antara kekuatan spiritual dan kearifan lokal, antara dakwah dan kebudayaan, antara sejarah dan mistisisme. Sebuah jejak yang membentang dari kerasnya tanah Kediri hingga tenangnya zawiyah di Lasem—sebuah warisan yang terus hidup dalam denyut budaya Jawa hingga kini. (ar/hel)

Exit mobile version