Beranda

Teror di Palmerah: Ketika Bangkai Tikus dan Kepala Babi Menghantui Jurnalis Tempo

Teror di Palmerah: Ketika Bangkai Tikus dan Kepala Babi Menghantui Jurnalis Tempo
Foto ilustrasi aksi hentikan kekerasan kepada media dan wartawan (getty images)

INDONESIAONLINE – Suasana di kantor redaksi Tempo di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, terasa mencekam. Bukan hanya hiruk-pikuk tenggat waktu deadline yang biasa mewarnai kehidupan jurnalis, melainkan teror nyata yang mengintai, hadir dalam wujud yang mengerikan: bangkai tikus yang dipenggal dan potongan kepala babi tanpa telinga.

Sabtu, 22 Maret 2025, seharusnya menjadi pagi yang tenang bagi Agus, petugas kebersihan di Gedung Tempo. Namun, rutinitasnya terganggu oleh penemuan sebuah kardus mencurigakan. Pukul 08.00 WIB, ia mendapati kardus itu tergeletak begitu saja. Rasa penasaran membawanya memanggil rekan-rekan dan petugas keamanan.

Ketika kardus dibuka, pemandangan di dalamnya membuat bulu kuduk berdiri. Enam bangkai tikus, dengan kepala terpenggal, ditumpuk rapi. Tak ada pesan, tak ada petunjuk, hanya kengerian yang membisu.

Ini bukan teror pertama. Sehari sebelumnya, pesan ancaman merayap masuk melalui media sosial, “…sampai mampus kantor kalian.” Dan beberapa hari sebelumnya, sebuah paket berisi potongan kepala babi tanpa telinga, dialamatkan kepada Francisca Christy Rosana, jurnalis politik Tempo dan host siniar “Bocor Alus Politik,” telah membuat geger.

Teror yang Terencana

Paket kepala babi itu tiba pada Rabu, 19 Maret, diantar oleh seorang pria bermotor, berjaket hitam, dan mengenakan helm ojek online. Tanpa identitas pengirim, paket itu diserahkan dalam kondisi terbungkus rapi, bahkan tak tercium bau busuk.

Keesokan harinya, Cica—sapaan akrab Francisca—dan rekannya, Hussein Abri Yusuf Muda, baru saja pulang liputan. Mendapat kabar ada paket untuknya, Cica membawa kardus itu ke lantai empat.

Hussein yang membuka kardus itu. Bau menyengat langsung menyeruak, menusuk hidung. Di dalam kardus, terdapat styrofoam, dan di dalamnya lagi, terbungkus plastik, teronggok kepala babi tanpa telinga.

Teror ini bukan insiden terisolasi. Dalam sebulan terakhir, Cica kerap menerima panggilan dari nomor tak dikenal dan merasa dikuntit. Hussein pun mengalami hal serupa, bahkan kaca mobilnya dirusak orang tak dikenal.

Pada periode itu, Tempo memang tengah gencar memberitakan isu-isu sensitif: dari keputusan Presiden Prabowo Subianto memboyong menteri dan pejabat ke Akademi Militer, pembagian konsesi tambang, hingga revisi UU TNI.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menduga kuat teror ini terkait dengan kerja jurnalistik Tempo. “Ini bukan teror ke individu, tapi intimidasi atas kerja-kerja jurnalistik,” tegas Erick Tanjung, Koordinator KKJ.

Cica kini ditempatkan di safe house untuk melindungi keselamatannya.

Geger Riyanto, dosen antropologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa teror dengan bangkai hewan membawa pesan yang jelas:

“Diam, atau hal buruk akan terjadi padamu.”

Ini adalah bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers, upaya membungkam suara kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap keliru.

Kebebasan Pers yang Terancam

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menyatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia semakin memburuk dalam dua tahun terakhir.

Data AJI menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis, dari pelemparan bom molotov di kantor redaksi Jubi di Papua, pembunuhan wartawan Rico Sempurna Pasaribu di Sumatera Utara, hingga teror yang dialami jurnalis Tempo.

Kasus-kasus ini seringkali tak terungkap, menciptakan iklim ketakutan dan mendorong jurnalis melakukan swa-sensor. “Kebebasan pers di era reformasi enggak jauh lebih baik dari era Orde Baru,” kata Nany, getir.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengutuk keras teror ini, menyebutnya sebagai ancaman terhadap independensi dan kemerdekaan pers. Ia mendesak kepolisian mengusut tuntas pelaku teror dan meminta pers nasional untuk tidak takut dan tetap menjalankan tugasnya secara profesional.

Teror di Palmerah ini adalah cerminan dari kondisi kebebasan pers yang mengkhawatirkan di Indonesia. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 menunjukkan penurunan, menandakan bahwa pers nasional tidak sedang baik-baik saja.

Kisah ini bukan hanya tentang Tempo, Cica, atau Hussein. Ini adalah tentang masa depan jurnalisme di Indonesia, tentang hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan kritis, dan tentang keberanian jurnalis untuk tetap bersuara di tengah ancaman dan intimidasi.

Di tengah kegelapan teror, nyala api jurnalisme harus tetap menyala, menerangi jalan menuju kebenaran.

Exit mobile version