9 Tokoh Perumus Pancasila: Soekarno hingga KH Wahid Hasyim

9 Tokoh Perumus Pancasila: Soekarno hingga KH Wahid Hasyim
Sembilan tokoh dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Pancasila. (foto: Umsu)

INDONESIAONLINE – Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila tidak dirumuskan dalam waktu singkat. Pancasila lahir dari proses panjang dan intens yang melibatkan banyak tokoh bangsa dari berbagai latar belakang.

Salah satu momen penting dalam pembentukan dasar negara ini adalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mulai digelar sejak 29 April 1945. Untuk merumuskan dasar negara, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, sebuah tim kecil beranggotakan sembilan orang yang diberi mandat menyusun dokumen dasar negara.

Panitia Sembilan menghasilkan Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dan dasar dari lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang.

Panitia Sembilan terdiri dari tokoh-tokoh dari kalangan nasionalis dan agamis. Kesembilan tokoh tersebut adalah:
• Ir. Soekarno (Ketua)
• Drs. Mohammad Hatta (Wakil Ketua)
• Mohammad Yamin
• Achmad Soebardjo
• A.A. Maramis
• KH. Abdul Kahar Muzakir
• KH. A. Wahid Hasyim
• H. Agus Salim
• Abikusno Tjokrosujoso

Berikut ini profil singkat kesembilan tokoh atau Panitia Sembilan yang merumuskan Pancasila, tiga di antaranya berasal dari Jawa Timur:

1. Ir. Soekarno

Lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, Soekarno merupakan tokoh utama dalam perumusan dasar negara. Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, ia menyampaikan pidato yang menyebutkan lima prinsip dasar negara. Pidato inilah yang kemudian dikenal sebagai lahirnya Pancasila.

Soekarno sempat mengusulkan penyederhanaan menjadi Trisila, lalu Ekasila, yang bermuara pada prinsip gotong royong. Ia juga aktif dalam Panitia Sembilan dan menjadi ketua tim perumus.

2. KH. A. Wahid Hasyim

Putra pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari ini lahir di Jombang pada 1 Juni 1914. Sebagai anggota termuda di BPUPKI, Wahid Hasyim membawa perspektif pesantren dan Islam moderat ke dalam diskusi. Ia ikut menyusun sila pertama dalam Pancasila yang mencerminkan nilai ketuhanan yang inklusif dan toleran.

3. Abikusno Tjokrosujoso

Lahir di Dolopo, Madiun, pada 15 Juni 1897, Abikusno merupakan tokoh Sarekat Islam dan adik dari H.O.S. Tjokroaminoto. Ia turut menandatangani Piagam Jakarta dan menjadi bagian dari Panitia Sembilan. Di masa kemerdekaan, ia juga dipercaya menjabat sebagai menteri perhubungan.

4. Mohammad Yamin

Tokoh asal Sumatera Barat ini dikenal sebagai salah satu perumus awal gagasan dasar negara. Dalam pidatonya di BPUPKI pada 29 Mei 1945, Yamin menyampaikan lima asas yang kemudian menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan Pancasila. Ia termasuk tokoh yang konsisten mengusulkan nilai-nilai kebangsaan dan keadilan sosial.

5. Achmad Soebardjo

Dilahirkan di Karawang, Jawa Barat, pada 23 Maret 1896, Achmad Soebardjo merupakan diplomat ulung yang berperan dalam perundingan-perundingan kemerdekaan. Ia termasuk tokoh yang mengingatkan agar dasar negara tidak sepenuhnya meniru ideologi Barat.

6. A.A. Maramis

Alexander Andries Maramis berasal dari Manado dan merupakan satu-satunya perwakilan dari Indonesia timur di Panitia Sembilan. Ia dikenal sebagai tokoh yang mendorong inklusivitas dalam isi Piagam Jakarta dan kemudian menjadi menteri keuangan.

7. KH. Abdul Kahar Muzakir

Lahir di Yogyakarta, Kahar Muzakir adalah akademisi Muslim modernis. Ia membawa perspektif rasional dan keislaman dalam diskusi tentang dasar negara. Selain aktif di BPUPKI, ia juga menjadi rektor Universitas Islam Indonesia pertama.

8. H. Agus Salim

Dikenal sebagai “The Grand Old Man”, tokoh asal Sumatera Barat ini sangat disegani dalam diplomasi dan diskusi ideologis. Dalam Panitia Sembilan, Agus Salim dikenal sebagai penengah yang cakap, terutama ketika terjadi perbedaan pandangan antara kelompok nasionalis dan Islam.

9. Mohammad Hatta

Wakil ketua Panitia Sembilan sekaligus wakil presiden pertama RI ini dikenal sebagai pemikir jernih dan rasional. Hatta memainkan peran penting dalam menyempurnakan sila pertama dari Piagam Jakarta agar lebih inklusif, dari sebelumnya “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (bn/hel)