95 Tahun Senyap di Eropa, Suara Leluhur Nias Akhirnya Pulang

95 Tahun Senyap di Eropa, Suara Leluhur Nias Akhirnya Pulang
Kuliah Umum Suara Yang Pulang - Barbara Titus (Ist/io)

Suara leluhur Nias yang direkam etnomusikolog Jaap Kunst pada 1930 akhirnya kembali ke rumahnya. Simak kisah repatriasi arsip, dekolonisasi budaya, dan momen emosional saat gema hoho melintasi 95 tahun di Desa Hilisimaetano, Nias Selatan.

INDONESIAONLINE – Udara di Desa Hilisimaetano terasa berbeda pada akhir Juni 2025. Bukan hanya karena angin laut yang berhembus, melainkan karena getaran suara dari masa lalu yang akhirnya kembali ke tanah asalnya. Setelah 95 tahun tersimpan sebagai arsip dingin di Universitas Amsterdam, rekaman audio tertua musik Nias—termasuk nyanyian komunal hoho yang sakral—kini telah pulang.

Ini bukan sekadar penyerahan flashdisk berisi data. Ini adalah momen puncak dari sebuah gerakan global, sebuah tindakan reparasi budaya yang didorong oleh inisiatif lokal dan disambut oleh kesadaran baru di dunia akademik Barat. Kunjungan Dr. Barbara Titus, etnomusikolog dari Universitas Amsterdam, dari 25 Juni hingga 9 Juli 2025, menjadi babak baru dalam cara kita memandang, memiliki, dan menghidupi warisan budaya.

Gema dari Silinder Lilin: Jejak Jaap Kunst di Tanah Nias

Untuk memahami pentingnya kepulangan ini, kita harus kembali ke tahun 1930. Saat itu, Jaap Kunst, seorang pionir etnomusikologi, bersama istrinya, Katy Kunst van Wely, menjejakkan kaki di Nias. Dengan teknologi perekaman paling canggih di masanya—silinder lilin—mereka mengabadikan apa yang mereka dengar: rintihan, nyanyian, dan ritme kehidupan masyarakat Nias.

Hasilnya adalah koleksi audio, foto, dan film bisu yang tak ternilai, yang menjadi fondasi buku monumental “Music in Nias” (1939). Namun, ironisnya, buku ini juga mencatat bahwa banyak tradisi yang ia saksikan sudah berada di ambang kepunahan.

Selama hampir satu abad, suara-suara ini menjadi “milik” institusi di Eropa, dipelajari sebagai objek penelitian, terpisah dari denyut kehidupan komunitas yang melahirkannya.

Di sinilah peran Dr. Barbara Titus sebagai kurator koleksi menjadi krusial. Dalam Kuliah Umum di Hilisimaetano (29/6/2025), ia membongkar narasi lama yang membungkus arsip tersebut.

“Pengembalian ini adalah bagian dari gerakan repatriasi arsip,” tegas Titus. “Sebuah proses kritis yang bertujuan mengembalikan artefak dan, lebih luas lagi, pengetahuan budaya, dari lembaga di negara bekas kolonial kepada komunitas asalnya,” lanjutnya.

Langkah ini, menurutnya, adalah antitesis dari eurosentrisme—pandangan yang menempatkan budaya Eropa sebagai standar universal. Ini adalah wujud nyata dekolonisasi pengetahuan, upaya membongkar struktur kekuasaan lama dalam produksi dan kepemilikan informasi.

“Bandingkan jika arsip ini hanya tersimpan di kampus atau museum Eropa, nilainya akan sekadar sebagai barang koleksi,” lanjutnya.

“Pengembalian ini adalah pengembalian narasi, makna, dan agensi kepada pemilik aslinya, memungkinkan mereka menceritakan kembali kisah mereka dari perspektif otentik,” tegas Titus.

Inisiatif Lokal, Respon Global: Percikan yang Menyalakan Api Repatriasi

Kisah kepulangan suara ini tidak akan terjadi tanpa percikan dari Nias sendiri. Adalah Doni Kristian Dachi, seorang peneliti independen Nias, yang menjadi katalisatornya.

Terinspirasi oleh berita repatriasi arsip di NTT, Doni proaktif mencari informasi dan menghubungi langsung Dr. Barbara Titus di Amsterdam. Gayung bersambut. Inisiatif dari bawah ini membuktikan bahwa gerakan dekolonisasi paling kuat adalah yang berakar dari komunitas sumber.

Dalam perjalanannya, Dr. Titus tidak sendiri. Ia ditemani oleh Rani Jambak, komposer dan periset musik dari Sumatera. Kehadiran Rani, yang tengah meriset arsip Jaap Kunst untuk studi doktoralnya, merepresentasikan jembatan antara akademisi global, praktisi seni nusantara, dan komunitas lokal—sebuah dialog multiperspektif yang esensial.

Selama di Nias, Titus dan Rani tidak tinggal di hotel. Mereka memilih menginap di rumah adat di Desa Hilisimaetano, menyelami langsung denyut kehidupan masyarakat. Mereka menyaksikan musyawarah adat Orahu dan upacara pengukuhan Fa’asi’ulu.

Namun, momen paling mengharukan terjadi pada suatu malam. Saat masyarakat desa berlatih Hoho, Rani Jambak memutar rekaman Hoho yang dibuat Jaap Kunst 95 tahun silam.

“Saya sangat tersentuh,” ungkap Rani. “Mendengar Hoho rekaman Jaap Kunst yang kemudian dilanjutkan dengan nyanyian Hoho yang dibawakan langsung oleh para anak cucu dari orang-orang yang suaranya direkam. Itu adalah momen magis,” kenangnya.

Puncaknya terjadi saat penyerahan arsip. Di halaman depan rumah Duada Barani—titik yang sama tempat Jaap Kunst merekam 95 tahun lalu—para maestro Hoho masa kini, yang dipimpin oleh Rawatan Dachi (cucu dari Duada Jofu yang suaranya direkam Kunst), kembali mengumandangkan nyanyian leluhur mereka.

Suara masa lalu dan masa kini menyatu, melintasi generasi dalam sebuah harmoni yang emosional.

Setelah Suara Itu Pulang: Tantangan Pelestarian dan Inovasi di Era Digital

Kepulangan arsip ini bukanlah akhir, melainkan awal. Pertanyaan kritis dilontarkan oleh Anggraeni Dachi, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Nias Selatan: “Setelah ini, apa yang harus kita lakukan?”

Pertanyaan ini dijawab dalam forum diskusi di Universitas Nias Raya. Dr. Martiman Suaizisiwa, Rektor, menekankan pentingnya akses terhadap warisan Nias yang masih tersebar di Eropa. Sementara itu, Rani Jambak memaparkan peta jalan pemajuan kebudayaan berbasis suara.

“Dari inventarisasi, perlindungan HKI komunal, revitalisasi, hingga kolaborasi seniman tradisional dengan seniman muda untuk adaptasi kontemporer,” papar Rani.

“Integrasi ke pendidikan, pariwisata budaya, dan produksi konten digital menjadi kunci, dengan dukungan penuh dari pemerintah dan kampus,” imbuhnya.

Arsip suara yang telah direstorasi dengan teknologi AI oleh Dr. Titus kini ada di tangan komunitas. Ia bukan lagi artefak bisu di rak arsip, melainkan benih hidup yang siap ditanam, dirawat, dan dikembangkan oleh generasi Nias masa kini dan masa depan.

Kisah “Suara yang Pulang” adalah bukti bahwa warisan budaya bukanlah milik masa lalu; ia adalah suara yang hidup, berdenyut, dan terus mencari gema di masa depan.