Nasi Wudhu, Makanan Favorit Sultan Agung

Nasi Wudhu, Makanan Favorit Sultan Agung

JATIMTIMES – Nasi Wudhu ternyata makanan favorit Sultan Agung dari Mataram.

Nasi Wudhu menurut Ustaz Salim, adalah nasi yang harus dipususi, dibersihkan, disucikan dulu. Kemudian dicampur dengan yang suci. Yang suci itu warnanya putih, namanya santan.

Nasi Wudhu sejatinya adalah nasi Arab. Saat berada di Jawa, Sultan Agung membuat variasi nasi Arab yang kemudian dinamakan nasi wudhu.

Pernyataan itu disampaikan Ustaz Salim A Filah dilansir YouTube Marwah TV.

“Jadi  jangan salah beliau itu favoritnya nasi Arab. Tetapi karena di Jawa ya, kadang-kadang agak susah menemukan bumbu-bumbunya. Beliau bikin satu variasi nasi Arab yang kemudian bisa dinikmati bersama. Nasi ini dinamakan nasi wudhu,” ungkap Ustaz Salim.

Nasi Wudhu ditemani ingkung (ayam dimasak utuh dalam posisi diikat seperti orang yang sedang sujud).

“Makanya lauknya nasi wudhu adalah ayam ingkung. Supaya ingkung yakni eling nyekungkung. Nyekungkung itu sujud tapi sekaligus juga eling dzikrul maut, besok bakale mati,” jelas Ustaz Salim.

Kemudian pelengkap nasi wudhu dan ingkung adalah sambal gepleng. Sambal gepleng adalah sambal dari kedelai ditumbuk bersama cabai, bawang dan garam.

“Sambel gepleng ini maksudnya sergep geleng-geleng. Banyaklah berzikir kepada Allah, Lailaha Ilallah, Lailaha Ilallah, Lailaha Ilallah,” terangnya.

Lebih lanjut Ustaz Salim menjelaskan betapa pada zaman Mataram itu, makanan saja ngajak untuk zikir, ngajak salat, dan ngajak wudhu. Jadi, nasinya wudhu, ayamnya ingkung salat, sambelnya gepleng zikrullah.

“(Makanan) ini dibawa pasukan Mataram ketika menyerbu ke Batavia tahun 1628 sampai 1629. Makan di sana masih bener nasi wudhu pakai ingkung pakai sambel gepleng,” jelasnya.

Nasi Wudhu kemudian diadopsi orang Betawi, maka jadilah nasi uduk.

“Jadi bid’ah karena ada semur jengkolnya, ada sambal goreng kentangnya, gitu ya. Ayamnya sudah tidak diingkung,” ujar Ustaz Salim.

“Jadi, nasi uduk itu hasil bid’ah dari suatu ajaran sunah yang namanya sego wudhu. Ini orang Betawi harus tahu,” sambung ya.

Ustaz Salim kembali menegaskan betapa pada Dinasti Mataram, agama diletakkan dalam segala sendi kehidupan. Mulai dari makanan, pakaian, tata bangunan dan segala halnya.

Hal itu dilakukan supaya orang memahami dan melaksanakan. Karena kalau kitab dibakar gampang, tetapi kalau simbol susah dihilangkan

“Kalau kitab dibakar, selesai. orang ceramah dibunuh  rampung. Tapi simbol sulit dihancurkan. Dan inilah yang kemudian dimaksudkan ketika itu sebagai suatu dakwah perlawanan melawan penjajahan,” tegas Ustaz Salim (bn/dnv).