INDONESIAONLINE – Presiden Prabowo Subianto memicu serangkaian polemik dalam beberapa pekan terakhir. Pernyataannya mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dan wacana pemberian maaf kepada koruptor mendapat beragam tanggapan, pro dan kontra, dari berbagai kalangan.
1. PPN Naik
Awal Desember lalu, Presiden Prabowo memastikan kenaikan PPN menjadi 12 persen akan diterapkan mulai Januari 2025, khususnya untuk barang mewah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung langkah ini dengan alasan rasio pajak Indonesia yang masih rendah, yakni 10,4 persen, dibandingkan rata-rata negara lain.
Namun, sejumlah ekonom menyatakan keprihatinan terhadap dampak negatif kenaikan PPN terhadap perekonomian rakyat. Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, berpendapat kebijakan ini akan menggerus konsumsi masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Senada dengan itu, peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyoroti potensi kenaikan biaya produksi akibat kenaikan PPN.
2. Pilkada Lewat DPRD
Pertengahan Desember, Prabowo mengusulkan kemungkinan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan melalui DPRD, seperti pada masa Orde Baru. Alasannya, untuk menghemat biaya Pilkada yang dinilai mahal. Usulan ini mendapat dukungan dari sejumlah petinggi partai, termasuk PAN dan PKB.
Namun, kritik pun bermunculan. Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Dede Sri Kartini, menilai usulan ini sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan dan kemunduran demokrasi. Ia berargumen bahwa pemilihan tidak langsung dapat memudahkan pengendalian suara rakyat oleh sekelompok elit.
3. Maaf untuk Koruptor
Pernyataan Prabowo yang menawarkan pemberian maaf kepada koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi juga memicu kontroversi. Prabowo beralasan kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan aset negara.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman, mengklarifikasi bahwa pernyataan Prabowo berkaitan dengan upaya asset recovery. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Zainut Tauhid, mengapresiasi langkah Prabowo sebagai terobosan hukum.
Di sisi lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengkritik keras wacana tersebut. Menurutnya, tindakan Prabowo berisiko dan bertentangan dengan undang-undang, khususnya prinsip akuntabilitas dan transparansi. Mahfud juga khawatir kebijakan ini justru akan membuat koruptor tidak jera.
Tiga pernyataan Presiden Prabowo tersebut menunjukkan dinamika politik dan hukum yang kompleks. Masih perlu dilihat bagaimana pemerintah akan menindaklanjuti pernyataan-pernyataan tersebut dan apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia.