Ratu Pandan Sari: Arsitek Perang dan Permata Tersembunyi Mataram yang Mengguncang Sejarah

Ratu Pandan Sari: Arsitek Perang dan Permata Tersembunyi Mataram yang Mengguncang Sejarah
Ilustrasi (Ist)

INDONESIAONLINE – Di balik gagahnya narasi militeristik dan politik maskulin yang mendominasi Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, tersimpan kisah perempuan-perempuan perkasa yang perannya kerap tersaput bayang-bayang.

Namun, ketika Mataram berhadapan dengan benteng spiritual Giri Kedaton pada 1636, seorang perempuan tampil bukan hanya sebagai pemanis cerita, melainkan arsitek kemenangan: Ratu Pandan Sari.

Istri Pangeran Pekik ini menjelma menjadi figur sentral, mengurai benang kusut antara ambisi dinasti, otoritas keagamaan, dan strategi perang, membuktikan bahwa kuasa perempuan adalah nyata, bahkan di jantung pertempuran paling krusial sekalipun.

Babak Pertama: Bara di Pesisir dan Kegelisahan Sang Sultan

Giri Kedaton, warisan Sunan Giri, berdiri laksana menara gading spiritual di pesisir timur Jawa. Penguasanya, keturunan Wali Songo, memegang otoritas keagamaan yang begitu kuat hingga seringkali membuat gerah Sultan Agung di Mataram.

Sang Sultan, dengan visinya menyatukan Jawa, melihat Giri sebagai duri dalam daging – sebuah pusat kekuatan yang enggan tunduk, simbol otonomi spiritual Islam yang menantang hegemoni keraton.

Kegagalan demi kegagalan menaklukkan Giri membuat Sultan Agung tertekan, bahkan jatuh sakit. Dalam kebuntuan psiko-politis itulah, pandangannya tertuju pada sang adik, Ratu Pandan Sari, dan suaminya, Pangeran Pekik dari Surabaya.

Seorang bangsawan keturunan Sunan Ampel, Pekik dianggap satu-satunya yang memiliki bobot spiritual sepadan, bahkan melampaui, untuk menghadapi Panembahan Giri. Leluhurnya adalah guru dari leluhur pemimpin Giri.

Namun, Pangeran Pekik bukanlah bidak yang mudah digerakkan. Di sinilah Ratu Pandan Sari memainkan perannya dengan gemilang. Lebih dari sekadar istri, ia adalah mediator ulung, penjamin moral, dan pasangan politik sejati. Narasi babad, dengan sentuhan kebebasan puitiknya, bahkan menggambarkan bagaimana sang Ratu menggunakan pesonanya untuk meluluhkan hati Pekik, sebuah metafora akan kelihaian diplomasinya.

Persetujuan Pekik adalah lampu hijau bagi ekspedisi besar. Dan Ratu Pandan Sari tak tinggal diam di istana. Serat Kandha mencatat partisipasi aktifnya, bahkan ia ditunjuk sebagai pengganti komando jika Pekik gugur.

Bekal logistik negara yang melimpah—10.000 rial, emas, perak, sutera—mengiringi keberangkatannya bersama 1.500 prajurit Surabaya, menandai keseriusan Mataram.

Di Surabaya, Pekik berhasil mengumpulkan 10.000 prajurit. Namun, Giri bukanlah benteng biasa. Ia adalah episentrum spiritual, dilindungi milisi sufi dan keyakinan kolektif. Panembahan Giri, buyut Sunan Giri, telah bersiap, mengandalkan Endrasena, komandan Cina Muslim dengan 250 penembak jitunya.

Serangan awal Mataram terpukul mundur. Semangat prajurit runtuh. Di tengah kekacauan dan keputusasaan itulah, Ratu Pandan Sari tampil bak singa betina. Ia tak segan memarahi para prajurit yang dianggapnya pengecut, mengancam akan melaporkan mereka kepada Sultan.

Lalu, dengan kecerdasan seorang pemimpin, ia membangkitkan kembali semangat mereka: 10.000 rial dibagikan, seragam perang diberikan kepada 500 kuli angkut yang kemudian diintegrasikan ke dalam barisan tempur.

Esoknya, pertempuran kembali berkobar. Kali ini, strategi Ratu Pandan Sari yang bermain. Serangan tipu muslihat dilancarkan dari dua sisi. Ia sendiri, dari kejauhan, memimpin penembakan meriam, memancing Endrasena dan pasukannya keluar dari sarang.

Siasat itu berhasil. Pasukan utama Mataram menyerbu dari sisi lain, menghancurkan pertahanan Giri. Endrasena gugur, Panembahan Giri melarikan diri sebelum akhirnya tertangkap.

Bahkan dalam penangkapan Panembahan Giri, Pangeran Pekik, mungkin atas bisikan sang istri, menolak keinginan prajurit Surabaya untuk membunuhnya. Sebuah kalimat simbolik diucapkan: yang berhak membunuh Panembahan Giri adalah cucunya kelak – sebuah penegasan bahwa dominasi spiritual tak bisa dipaksakan seketika.

Kemenangan di Giri hanyalah satu babak dari kisah hidup Ratu Pandan Sari yang luar biasa. Lahir pada 1 November 1596, putri Panembahan Hanyakrawati dan Ratu Mas Hadi Dyah Banowati ini mengalirkan darah tiga kerajaan besar: Majapahit, Demak, dan Mataram. Pendidikan kosmopolitnya membentuknya menjadi pribadi cerdas dan visioner.

Pernikahannya dengan Pangeran Pekik pasca-penaklukan Surabaya bukan sekadar perjodohan, melainkan masterstroke politik Sultan Agung yang dijalankan dengan fasih oleh sang Ratu. Ia menjadi jembatan emas Mataram-Surabaya.

Dari pernikahan ini, lahir Kanjeng Ratu Mas Surabaya, yang kemudian dinikahkan dengan Amangkurat I, putra Sultan Agung. Ratu Pandan Sari pun menjadi ibu mertua raja dan nenek dari Amangkurat II (Cak Ning), memastikan kesinambungan dinasti yang turut ia rancang.

Lebih dari itu, Ratu Pandan Sari adalah seorang pelaku ekonomi ulung. Tangannya tak hanya piawai mengarahkan meriam, tetapi juga mengelola jaringan bisnis raksasa. Dari ekspor garam Kalianget, minyak Sumenep, perikanan Lamongan, kayu jati Cepu, kecap Purwodadi, hingga marmer Tulungagung – semua ia kelola, menyumbang signifikasi bagi kas Mataram, membiayai kampanye militer Sultan Agung, pembangunan Imogiri, hingga pemindahan keraton ke Plered.

Ratu Pandan Sari bukanlah sekadar perempuan pendamping. Ia adalah aktor historis, penghubung politik, ahli logistik, motivator ulung, strategi militer, arsitek dinasti, dan motor ekonomi.

Kisahnya membongkar batas-batas patriarki, menunjukkan bahwa dalam setiap detak jantung peradaban Jawa, ada peran perempuan tangguh yang membentuk jalannya sejarah. Ia adalah mustikaning putri Mataram, permata yang kilaunya tak hanya menghiasi, tetapi juga menerangi dan memperkuat fondasi kerajaan.

Narasi hidupnya adalah pengingat bahwa sejarah perlu dibaca ulang, agar suara-suara perempuan seperti Ratu Pandan Sari dapat terdengar nyaring, menginspirasi generasi kini dan mendatang (ar/dnv).