INDONESIAONLINE – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang menyoroti lemahnya sistem pengawasan distribusi limbah medis di wilayahnya. Kondisi ini dinilai menjadi pemicu utama temuan limbah medis yang dibuang secara ilegal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supiturang beberapa waktu lalu.
Kritik tajam ini mengemuka pasca audiensi antara Komisi C DPRD Kota Malang dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat dan perwakilan masyarakat yang menemukan limbah berbahaya tersebut. Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi, menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap penanganan limbah medis oleh para produsen.
“Kami menyoroti serius bagaimana produsen limbah medis ini menangani limbahnya. Pengawasan yang ada terbukti masih lemah,” ujar Dito Arief usai audiensi.
Berdasarkan data, Kota Malang memiliki 75 fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), termasuk rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas, hingga klinik kecantikan, yang semuanya berpotensi menghasilkan limbah medis.
“Dari 75 fasyankes penghasil limbah medis ini, terkonfirmasi ada kendala signifikan dalam pengawasan,” tambah Dito.
Lebih lanjut, Dito mengungkapkan bahwa DLH Kota Malang memiliki keterbatasan wewenang untuk menindak langsung fasyankes yang melanggar. Celah inilah yang diduga dimanfaatkan oknum untuk membuang limbah medis secara sembarangan ke TPA Supiturang.
“DLH tidak bisa serta merta menindak 75 fasyankes itu, sehingga muncul celah yang memungkinkan pembuangan ilegal. Ini terkonfirmasi dalam forum tadi,” jelasnya.
Kasus temuan limbah medis ini sendiri telah ditangani pihak kepolisian. Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Malang Kota telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di TPA Supiturang dan memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan.
“Kami hormati proses hukum yang berjalan, namun dari sisi kebijakan, ini harus dievaluasi total,” tegas Dito.
Salah satu akar masalah lemahnya pengawasan lokal, menurut Dito, adalah kewajiban fasyankes melaporkan pengelolaan limbahnya langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui aplikasi daring, tanpa melibatkan DLH daerah secara optimal.
Meski demikian, DPRD mendesak DLH Kota Malang untuk lebih proaktif memastikan kelengkapan dokumen lingkungan dan perizinan setiap fasyankes.
“DLH menyatakan dokumen ada, tapi perlu kami cek kesesuaian peruntukan, izin, dan masa berlakunya,” pungkas Dito, seraya berharap Kementerian LH dan Pemprov Jawa Timur turut memberi atensi, mengingat beberapa fasyankes besar di Malang berada di bawah kewenangan provinsi (rw/dnv).