Misteri Iklan Rp 999 Miliar: Saat Pabrik Semen Puger Dijual ‘Paket Hemat’ dengan Aset Pemkab Jember

Misteri Iklan Rp 999 Miliar: Saat Pabrik Semen Puger Dijual ‘Paket Hemat’ dengan Aset Pemkab Jember
Pabrik Semen Puger, ikon industri pertama di kawasan Gunung Sadeng, ditawarkan dengan harga yang membuat dahi berkerut: Rp 999 Miliar (Ist)

INDONESIAONLNE – Sebuah iklan properti bernilai fantastis tiba-tiba mengusik ketenangan publik Jember. Di etalase digital situs properti ternama dan riuhnya grup WhatsApp, Pabrik Semen Puger, ikon industri pertama di kawasan Gunung Sadeng, ditawarkan dengan harga yang membuat dahi berkerut: Rp 999 Miliar.

Namun, di balik angka nyaris satu triliun rupiah itu, tersembunyi sebuah kejanggalan besar yang kini menyeret para pejabat dan legislator ke dalam pusaran pertanyaan pelik: mengapa aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember ikut “diobral”?

Cerita ini bermula dari dua jalur pemasaran yang kontras. Di situs properti Rumah123, PT. Cement Jaya Raya Sentosa, pemilik pabrik, memasang harga premium Rp 999 Miliar. Namun, di kanal yang lebih informal seperti WhatsApp Group (WAG) Info Jual Beli Jember, seorang pria berinisial SM menawarkannya dengan “harga teman”—Rp 800 Miliar, nego.

Promosi SM terdengar sangat meyakinkan. Ia merinci spesifikasi pabrik yang berdiri sejak 2009 itu: luas area produksi, kantor, dan perumahan karyawan mencapai 10 hektare. Namun, yang menjadi magnet utama tawarannya adalah “bonus” 65 hektare lahan batu kapur, bahan baku utama semen, yang ia klaim cadangannya melimpah hingga 100 tahun ke depan.

“Lewat link kami harga Rp 800 M nego karena kami transaksinya langsung dengan owner,” tulis SM dalam promosinya, seraya membocorkan bahwa tawaran di atas Rp 700 miliar kemungkinan besar akan diterima. Sebuah iming-iming menggiurkan bagi calon investor raksasa.

Namun, promosi manis itu ternyata menyisakan rasa pahit. Benang kusut mulai terurai bukan di ruang negosiasi, melainkan di ruang sidang DPRD Jember.

Kejanggalan Terkuak di Ruang Sidang Dewan

Pada Selasa, 1 Juli 2025—tanggal yang menjadi saksi bisu—Komisi C dan Komisi D DPRD Jember menggelar rapat dengar pendapat (hearing) dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Di sinilah “bom waktu” itu meledak.

Agus Mashudi dari komunitas Gempita, yang turut hadir dalam hearing, menjadi orang pertama yang menyulut api kecurigaan. Ia menyoroti materi penjualan pabrik yang secara gamblang menyertakan 65 hektare lahan tambang. Masalahnya? Lahan tersebut, berdasarkan data, adalah aset sah milik Pemkab Jember.

“Pabrik Semen Puger mau dijual, anehnya bersama lahan tambang. Ini janggal,” tegas Agus.

Pertanyaan itu seketika mengubah arah diskusi. Ketua Komisi C, Ardi Pujo Prabowo, langsung menodongkan pertanyaan tajam kepada Kepala Bidang Aset BPKAD, Ririn Yuli Astutik.

“Berapa luas tanah milik Pemkab Jember di Gunung Sadeng? Siapa saja yang mengelola secara legal?” cecar Ardi.

Jawaban Ririn justru membuka kotak pandora yang lebih besar. “Ada tiga bidang, totalnya 190 hektare. Sejak 2022 ada kerjasama pemanfaatan (KSP) dengan PT Imasco Tambang Raya,” ungkap Ririn.

Artinya, lahan yang dipromosikan sebagai bagian dari paket penjualan pabrik semen ternyata tidak hanya milik Pemkab, tetapi juga sudah dikelola oleh pihak ketiga, PT Imasco. Penjualan ini ibarat menjual rumah tetangga tanpa izin.

Skandal Kontribusi Rp 2.000: Siapa yang Diuntungkan?

Jika kejanggalan penjualan aset belum cukup, Ririn tanpa sadar melemparkan bola panas lainnya. Ia menyebutkan bahwa nilai kontribusi dari PT Imasco kepada Pemkab hanya sebesar Rp 2.000 per ton.

Angka ini sontak membuat Ketua Komisi B, Candra Ari Fianto, terperanjat. Politisi PDI Perjuangan itu merasa ada yang tidak beres.

“Tunggu dulu. Seingat saya, pernyataan resmi Pemkab Jember dulu di pemberitaan, rekomendasi KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) itu kontribusinya Rp 39.500 per ton. Kok sekarang jadi Rp 2.000? Dari mana angka itu? Ini aneh,” sahut Candra dengan nada tinggi.

Perbedaan angka yang nyaris 20 kali lipat ini mengindikasikan potensi kerugian pendapatan daerah yang luar biasa besar. Jika target produksi 3 juta ton per tahun, seharusnya Pemkab bisa meraup lebih dari Rp 118 Miliar, bukan sekadar Rp 6 Miliar. Kemana selisihnya?

Suasana di ruang hearing semakin tegang. Ririn tampak kebingungan. Saat seorang pejabat dari Disperindag mencoba membantu menjawab, ia langsung disergah oleh anggota dewan.

“Pejabat pemerintah jangan berasumsi. Jawab yang riil. Kalau tahu, jawab tahu. Kalau tidak, jawab tidak tahu!” hardik Ardi. Pejabat itu pun terdiam, mengakui tidak tahu menahu soal skema penentuan kontribusi tersebut.

Puzzle yang Belum Lengkap

Penjualan Pabrik Semen Puger kini bukan lagi sekadar transaksi bisnis, melainkan sebuah puzzle raksasa yang kepingannya berserakan. Beberapa pertanyaan krusial kini menggantung di udara:

  1. Siapa yang memberi izin kepada pihak pabrik untuk menyertakan aset Pemkab dalam materi penjualan mereka?

  2. Mengapa nilai kontribusi tambang anjlok drastis dari rekomendasi awal Rp 39.500 menjadi hanya Rp 2.000 per ton? Adakah persekongkolan untuk merugikan kas daerah?

  3. Bagaimana pengawasan Pemkab Jember terhadap aset vitalnya di Gunung Sadeng sehingga bisa “diobral” bebas di pasar online?

Kasus ini menjadi cermin buram tentang tata kelola aset daerah dan transparansi. Di satu sisi, ada upaya menjual sebuah pabrik dengan iming-iming kekayaan alam melimpah. Di sisi lain, ada fakta bahwa kekayaan alam itu adalah milik rakyat Jember, yang kontribusinya untuk daerah diduga kuat telah “disunat”.

Kini, bola panas ada di tangan DPRD dan aparat penegak hukum untuk membongkar misteri iklan Rp 999 Miliar ini hingga ke akarnya. Karena ini bukan lagi soal jual beli pabrik, tetapi soal menjaga amanah dan kekayaan milik publik (mam/dnv).