Embun Upas Bromo: Racun Indah di Puncak Musim Kemarau

Embun Upas Bromo: Racun Indah di Puncak Musim Kemarau
Fenomena embun upas kembali menyelimuti Bromo, menciptakan lanskap magis bak salju (Ist)

Fenomena embun upas kembali menyelimuti Bromo, menciptakan lanskap magis bak salju. Kenali sains di baliknya, dampaknya bagi warga, dan tips berburu momen langka ini.

INDONESIAONLINESebuah keajaiban yang dingin kembali menyapa kaldera Tengger. Embun upas, fenomena kristal es tahunan yang dijuluki “salju tropis” oleh para pelancong, telah resmi turun menyelimuti lautan pasir dan vegetasi di kawasan Gunung Bromo.

Kemunculan perdananya pada Rabu (9/7/2025) pagi menjadi penanda sahih bahwa puncak musim kemarau telah tiba, membawa serta pesona sekaligus tantangan bagi ekosistem dan masyarakat lokal.

Pagi itu, termometer di Dusun Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, menunjukkan angka 5 derajat Celsius. Suhu yang menusuk tulang ini mengubah uap air di udara menjadi butiran es tipis, melukis pemandangan serba putih yang sureal. Dedaunan, rumput, hingga atap-atap bangunan seolah dilapisi gula bubuk, menciptakan kontras dramatis dengan langit fajar yang mulai memerah.

Fenomena ini, meskipun indah, menyimpan makna ganda yang tercermin dari namanya. “Upas” dalam bahasa Jawa berarti racun. Bagi para petani di lereng Tengger, embun ini adalah ancaman mematikan bagi tanaman kentang dan sayuran lainnya.

Lapisan es yang membekukan sel-sel tanaman dapat menyebabkan gagal panen. Namun, bagi industri pariwisata, embun upas adalah berkah yang ditunggu-tunggu.

“Ini adalah magnet musiman. Banyak wisatawan, terutama fotografer, yang sengaja datang untuk mengabadikan momen ini,” ungkap Gondo Handono, seorang pelaku wisata senior di Bromo.

Menurutnya, pemandangan terbaik biasanya terlihat antara pukul 04.00 hingga 06.00 WIB di titik-titik strategis seperti Bukit Cemorolawang, area kaldera, dan padang savana.

“Setelah matahari terbit lebih tinggi, esnya akan cepat mencair. Ini pertarungan melawan waktu,” tambahnya.

Sains di Balik Selimut Es Bromo

Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena “embun beracun” ini? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Jawa Timur menjelaskan bahwa fenomena ini adalah proses alamiah yang wajar terjadi pada puncak musim kemarau.

Menurut data BMKG, suhu di Bromo yang sempat menyentuh 5,3 derajat Celsius merupakan salah satu suhu terendah yang tercatat di Jawa Timur. Penurunan suhu ekstrem ini dipicu oleh beberapa faktor kunci:

  1. Dominasi Angin Monsun Australia: Selama musim kemarau (Juni-September), angin yang bertiup dari benua Australia bersifat kering dan tidak membawa banyak uap air.

  2. Langit Cerah Tanpa Awan: Minimnya tutupan awan pada malam hari menyebabkan pelepasan panas dari permukaan bumi (radiasi gelombang panjang) ke atmosfer berlangsung secara maksimal tanpa ada penghalang. Proses ini dikenal sebagai radiational cooling. Akibatnya, permukaan bumi dan udara di dekatnya menjadi sangat dingin.

  3. Ketinggian Lokasi: Sebagai kawasan pegunungan dengan ketinggian rata-rata 2.329 meter di atas permukaan laut (mdpl), suhu udara di Bromo secara alami lebih rendah. Kombinasi ketiga faktor inilah yang membuat suhu bisa turun hingga mendekati titik beku (0°C), bahkan minus pada puncaknya.

Puncak fenomena embun upas, menurut Gondo dan para pelaku wisata lainnya, diperkirakan akan terjadi pada bulan Agustus, di mana suhu bisa mencapai titik beku atau bahkan di bawahnya.

Dampak Ekonomi dan Perburuan Momen Langka

Bagi Julian, seorang pengemudi jip wisata asal Desa Jetak, Sukapura, musim embun upas berarti peningkatan permintaan. “Kalau ada embun es, pasti lebih ramai. Banyak yang minta diantar subuh-subuh sekali biar tidak ketinggalan momen,” ujarnya.

Fenomena ini menjadi nilai jual tambahan yang signifikan, menggerakkan roda ekonomi lokal mulai dari penyewaan jip, penginapan, hingga warung-warung makan.

Namun, karena sifatnya yang singkat dan tak terduga, tidak semua pengunjung beruntung bisa menyaksikannya. “Kadang sudah direncanakan, tapi malamnya sedikit berawan, jadi es tidak terbentuk sempurna. Ini benar-benar soal keberuntungan dan waktu yang tepat,” tambah Julian.

Bagi Anda yang ingin menjadi “pemburu embun upas”, persiapan matang adalah kunci. Berikut beberapa tips yang dirangkum dari pengalaman warga lokal dan para wisatawan:

  • Datang Lebih Awal: Berada di lokasi sebelum pukul 04.00 WIB adalah keharusan. Ini memberi Anda waktu untuk mencari spot terbaik sebelum fajar menyingsing.

  • Pakaian Berlapis: Jangan meremehkan dinginnya Bromo. Kenakan pakaian termal, jaket tebal, kupluk, sarung tangan, dan kaus kaki tebal. Suhu bisa terasa jauh lebih dingin dari angka yang tercatat karena angin.

  • Pilih Titik yang Tepat: Selain Bukit Cemorolawang, area lautan pasir di dekat Pura Luhur Poten dan Lembah Widodaren adalah lokasi favorit karena hamparannya yang luas memungkinkan es terbentuk sempurna.

  • Siapkan Kamera: Momen ini sangat singkat. Pastikan baterai kamera atau ponsel Anda terisi penuh dan siap digunakan. Mode malam atau pengaturan low-light mungkin diperlukan sebelum matahari terbit sepenuhnya.

  • Cek Prakiraan Cuaca: Pantau terus informasi dari BMKG atau aplikasi cuaca. Malam yang diprediksi cerah tanpa awan memiliki probabilitas lebih tinggi untuk menghasilkan embun upas.

Kehadiran embun upas adalah pengingat akan kekuatan dan keindahan alam yang dinamis. Ia adalah paradoks—racun bagi ladang, namun madu bagi pariwisata. Sebuah pertunjukan alam yang membekukan sesaat, namun meninggalkan kenangan hangat bagi siapa pun yang cukup beruntung menyaksikannya (bn/dnv).