Ironi Indonesia: Dari Raja Gula Dunia ke Juara Impor, Mengapa Keran Terus Terbuka?

Ironi Indonesia: Dari Raja Gula Dunia ke Juara Impor, Mengapa Keran Terus Terbuka?
Ilustrasi impor gula Indonesia, sebuah ironi dari Raja Gula Dunia menjadi importir global dengan peringkat di puncak (deepai/ai)

Indonesia, ironisnya, kini menjadi salah satu importir gula terbesar dunia, bersaing ketat dengan China. Simak analisis mendalam mengapa negara yang pernah menjadi raja gula ini terus bergantung pada impor, dengan data lengkap BPS dan USDA, serta tantangan swasembada yang tak kunjung terwujud.

INDONESIAONLINEDi tengah hiruk pikuk diskursus kebijakan perdagangan nasional, sebuah data pahit tersaji di atas meja: Indonesia telah mengukuhkan posisinya sebagai salah satu jawara importir gula dunia. Ironisnya, status ini disandang oleh bangsa yang pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba pada era Hindia Belanda, dengan puluhan pabrik gula peninggalan yang kini sebagian besar tinggal nama.

Ketergantungan akut ini bukan lagi sekadar isu, melainkan sebuah krisis struktural yang berlangsung selama bertahun-tahun. Data terbaru dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) untuk periode Mei 2024 – Mei 2025 melukiskan gambaran yang gamblang.

Proyeksi impor gula Indonesia mencapai 5,2 juta ton, angka yang setara dengan China, negara dengan populasi 1,4 miliar jiwa.

Fakta ini menempatkan Indonesia di puncak daftar importir global. Bahkan, pada periode Mei 2022 hingga Mei 2023, Indonesia sempat menyalip China dengan total impor menembus rekor 5,8 juta ton.

Perbedaannya sangat mencolok. China mengimpor besar karena kebutuhannya yang masif, meskipun mampu memproduksi sekitar 10 juta ton gula per tahun.

Sementara Indonesia, dengan proyeksi kebutuhan nasional mencapai 8 juta ton pada 2025, hanya sanggup memproduksi sekitar 2,6 juta ton. Ada jurang menganga antara pasokan domestik dan permintaan yang harus ditutup oleh keran impor.

Satu Dekade Ketergantungan: Data yang Bicara

Melihat data impor gula dari Badan Pusat Statistik (BPS) selama satu dekade terakhir (2014-2023) memperlihatkan sebuah tren yang konsisten dan mengkhawatirkan. Keran impor tidak pernah benar-benar menyempit, bahkan cenderung melebar, terlepas dari siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan di Kementerian Perdagangan.

Program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah seolah menjadi mantra kosong yang terus diulang tanpa realisasi berarti.

Grafik Impor Gula Indonesia (2014-2023) Berdasarkan Data BPS:

  • 2014: 2,93 juta ton

  • 2015: 3,36 juta ton

  • 2016: 4,74 juta ton

  • 2017: 4,48 juta ton

  • 2018: 5,03 juta ton

  • 2019: 4,09 juta ton

  • 2020: 5,54 juta ton

  • 2021: 5,48 juta ton

  • 2022: 6,01 juta ton (Rekor tertinggi)

  • 2023: 5,07 juta ton

Angka-angka ini menunjukkan bahwa impor gula telah menjadi kebijakan struktural, bukan lagi sekadar solusi sementara. Pada tahun 2022, saat pos menteri perdagangan silih berganti dari Muhammad Lutfi ke Zulkifli Hasan, impor justru mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah, mencapai lebih dari 6 juta ton.

Negara-negara seperti Thailand, Brasil, Australia, dan India menjadi pemasok utama yang menikmati manisnya pasar Indonesia.

Jejak Pahit dari Warisan Manis

Sejarah mencatat, industri gula pernah menjadi tulang punggung ekonomi Hindia Belanda. Ratusan pabrik gula modern pada masanya tersebar di Pulau Jawa, menjadikan Nusantara sebagai pemain utama di panggung gula global.

Namun, kejayaan itu kini tinggal kenangan. Banyak pabrik yang berhenti beroperasi, lahan tebu menyusut akibat konversi lahan, dan teknologi di pabrik yang tersisa seringkali tertinggal zaman.

Kegagalan program swasembada gula menjadi pekerjaan rumah lintas pemerintahan. Masalahnya kompleks, mulai dari rendahnya rendemen tebu petani, efisiensi pabrik yang minim, hingga kebijakan harga yang terkadang tidak berpihak pada petani lokal.

Akibatnya, gula kristal rafinasi untuk industri dan sebagian gula kristal putih untuk konsumsi rumah tangga terus didatangkan dari luar negeri.

Ketergantungan ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah cermin dari pekerjaan rumah besar di sektor pertanian dan industri yang belum terselesaikan. Selama produksi dalam negeri tidak mampu mengejar kebutuhan, selama revitalisasi industri gula hanya sebatas wacana, maka Indonesia akan terus terjebak dalam ironi manis: menjadi juara impor untuk komoditas yang pernah membuatnya menjadi raja dunia.

Pertanyaannya, sampai kapan keran impor ini akan terus terbuka lebar?