Darurat Integritas: Korupsi Sistemik Gerogoti Pendidikan RI

Darurat Integritas: Korupsi Sistemik Gerogoti Pendidikan RI
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyampaikan paparannya di Universitas Brawijaya, Senin (21/7/2025), terkait ekosistem koruptif yang telah mapan dan berjalan nyaris tanpa hambatan dalam dunia pendidikan Indonesia (jtn/io)

KPK ungkap potret suram pendidikan Indonesia. Korupsi sistemik, dari menyontek hingga suap rektor, mengancam bonus demografi. Butuh reformasi total.

INDONESIAONLINE – Lonceng darurat berbunyi nyaring bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini bukan lagi sekadar persoalan menyontek massal atau plagiarisme dosen, melainkan sebuah kanker sistemik yang akarnya telah menjalar kuat, menggerogoti dari ruang kelas hingga kursi rektor.

Potret buram ini terungkap tajam dalam hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dipaparkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam paparannya di Universitas Brawijaya (21/7/2025), tidak lagi berbicara tentang kasus-kasus individual. Ia membeberkan sebuah ekosistem koruptif yang telah mapan dan berjalan nyaris tanpa hambatan.

“Jika ruang akademik kehilangan integritas, maka bangsa ini kehilangan pondasi masa depannya,” tegas Setyo. Pernyataan ini bukan isapan jempol, melainkan cerminan dari data yang mengkhawatirkan.

Dari Ruang Kelas ke Ruang Rektor: Ekosistem Ketidakjujuran

Data KPK melukiskan krisis integritas yang dimulai dari level paling dasar. Sebanyak 58% mahasiswa secara terbuka mengaku pernah menyontek, sementara 98% kampus diakui masih dibayangi perilaku akademik tidak jujur. Ironisnya, para pendidik pun tak luput dari wabah ini: 45% dosen terindikasi melakukan plagiarisme.

Masalah disiplin pun menjadi borok lainnya. Sebanyak 84% mahasiswa dan 96% dosen tercatat sering terlambat. Bahkan, di 96% kampus, fenomena dosen tidak hadir mengajar tanpa alasan adalah hal yang lumrah.

Namun, akar masalahnya jauh lebih dalam. Praktik gratifikasi telah menjadi hal yang dianggap “wajar”. Survei menunjukkan 30% guru dan dosen serta 18% kepala sekolah dan rektor memaklumi pemberian hadiah dari siswa atau wali murid—sebuah praktik yang jelas merupakan bibit korupsi.

Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sektor pendidikan secara konsisten masuk dalam lima besar sektor paling rawan korupsi di Indonesia. Dalam periode 2016-2021 saja, ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi di sektor pendidikan mencapai Rp 1,2 triliun dari 276 kasus.

Mutasi Korupsi: Dari Pungli Menjadi Gurita Sistemik

Korupsi di dunia pendidikan telah bermutasi. Menurut Setyo, modusnya tak lagi sebatas pungutan liar (pungli) recehan, tetapi telah berevolusi menjadi kejahatan terstruktur yang menyasar titik-titik strategis. Pola ini mencakup:

  • Pengelolaan Aset: Jual beli tanah negara milik kampus dan penyalahgunaan aset untuk kepentingan pribadi.

  • Keuangan Internal: Manipulasi dana penelitian, dana sumbangan, hingga tunjangan fiktif.

  • Penerimaan Mahasiswa: Praktik suap dan jual beli kursi yang merusak prinsip meritokrasi.

  • Pemilihan Rektor: Transaksi haram, manipulasi dokumen, dan intervensi politik untuk memenangkan kandidat tertentu.

  • Pengadaan Barang: Mark-up anggaran, rekayasa tender proyek pembangunan, dan konflik kepentingan.

“Ini bukan lagi praktik individu, tetapi sudah menyerupai sistem yang berjalan sendiri,” ujar Setyo, menggambarkan betapa kronisnya kondisi tersebut.

Hambatan Regulasi dan Bonus Demografi yang Terancam

Upaya pemberantasan korupsi ini terbentur oleh dua tembok besar: kelemahan regulasi dan apatisme publik. Setyo menyayangkan fenomena masyarakat yang hanya gaduh sesaat ketika ada operasi tangkap tangan (OTT), lalu kembali senyap.

“Seolah-olah dosa itu milik individu. Padahal, ini tanggung jawab kolektif,” kritiknya.

Secara struktural, KPK mengakui keterbatasan jangkauan karena tidak memiliki cabang di daerah. Namun, tantangan terbesarnya adalah kekosongan hukum. Undang-Undang Tipikor yang ada saat ini belum mampu menjerat praktik trading in influence (penyalahgunaan pengaruh) dan suap di sektor swasta.

“Misalnya, ada pejabat tinggi yang memaksa anaknya masuk kampus, minta rektor untuk terima. Ini bentuk penyalahgunaan pengaruh, tapi regulasi kita belum bisa menjangkaunya,” ungkap Setyo.

Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat berbahaya. Di satu sisi, negara sedang menyongsong bonus demografi, di mana populasi usia produktif mencapai puncaknya.

Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 yang dirilis Transparency International masih stagnan di skor 34/100, jauh di bawah rata-rata global (43). Tanpa integritas di lembaga pendidikannya, bonus demografi justru bisa berbalik menjadi bencana demografi.

“Bonus demografi bisa jadi musibah kalau ruang akademik kita busuk oleh suap, ketidakjujuran, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tandas Setyo.

KPK kini menggeser strategi, dari penindakan represif ke pencegahan sistemik dan pemulihan aset skala besar (asset recovery). Dukungan terhadap UU Perampasan Aset dan UU Transaksi Uang Kartal menjadi krusial untuk memutus urat nadi para koruptor.

Namun, pada akhirnya, pertaruhan terbesar terletak pada kesadaran kolektif untuk menjadikan integritas sebagai benteng utama demi menyelamatkan masa depan bangsa (as/dnv).