Di usia 90 tahun, seorang nenek di China belajar hukum secara otodidak untuk membela putranya dari tuduhan pemerasan senilai Rp 265 miliar. Sebuah kisah nyata tentang cinta, keadilan, dan tekad yang melampaui batas usia.
INDONESIAONLINE – Di sebuah ruang sidang yang hening dan kaku di Kota Zhoushan, China, sesosok figur mencuri perhatian. Bukan hakim berpalu gading, bukan pula jaksa berwajah tegang. Ia adalah seorang perempuan renta, punggungnya sedikit membungkuk dimakan waktu, namun sorot matanya menyiratkan keteguhan baja. Dialah Nenek He, 90 tahun, yang berdiri sebagai penasihat hukum bagi darah dagingnya sendiri.
Ini bukan sekadar drama ruang sidang. Ini adalah panggung di mana cinta seorang ibu diuji oleh pasal-pasal hukum yang rumit dan tuduhan pidana bernilai fantastis.
Putranya, Lin (57), kini duduk di kursi pesakitan, terancam hukuman atas tuduhan pemerasan senilai 117 juta yuan, atau sekitar Rp 265 miliar.
Bagi Nenek He, pertarungan ini dimulai bukan di pengadilan, melainkan di dalam hatinya setahun yang lalu, saat kerinduan pada sang putra yang ditangkap pada April 2023 tak lagi tertahankan.
Tekad Baja dari Lembar Kitab Hukum
Keputusan Nenek He untuk terjun ke dunia hukum disambut keraguan oleh keluarganya. Usianya yang mendekati satu abad dianggap sebagai penghalang utama.
“Nenek saya keras kepala dan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain,” ungkap sang cucu, menggambarkan betapa kokoh pendirian sang nenek.
Namun, penolakan itu justru menjadi bahan bakar. Dengan sisa tenaganya, Nenek He mengubah rumahnya menjadi perpustakaan hukum darurat. Ia membeli tumpukan buku-buku hukum tebal, mempelajari jurnal kasus, dan melakukan “riset lapangan” yang tak lazim.
Setiap hari, ia akan mendatangi gedung pengadilan, duduk di bangku pengunjung, mengamati dengan saksama setiap drama hukum yang tersaji, dan mempelajari berkas-berkas kasus pemerasan yang serupa dengan yang menjerat putranya.
Menurut kesaksian keluarga, ia tenggelam dalam dunia baru itu, mengubah duka dan rindu menjadi amunisi pengetahuan untuk membela Lin.
Akar Prahara: Utang Bisnis yang Berujung Pidana
Kasus yang menjerat Lin, sebagaimana dilaporkan oleh South China Morning Post, berakar dari kemitraan bisnis yang pahit. Lin pernah bekerja sama dengan seorang pengusaha lokal bernama Huang di sektor produksi gas. Ironisnya, Huang, yang pernah tercatat dalam daftar 100 orang terkaya di China pada 2009, kerap menunggak pembayaran kepada Lin.
Tunggakan yang terus menumpuk membuat pabrik Lin kolaps dan mengalami kerugian finansial yang dahsyat. Terdesak oleh situasi, antara tahun 2014 hingga 2017, Lin bersama akuntannya menekan Huang untuk segera melunasi utangnya.
Senjata mereka adalah ancaman untuk melaporkan dugaan pelanggaran pajak yang dilakukan Huang kepada otoritas terkait.
Strategi penekanan inilah yang menjadi bumerang. Pada awal 2023, Huang membalikkan keadaan dengan melaporkan Lin ke polisi atas tuduhan pemerasan.
Air Mata dan Keharuan di Meja Hijau
Sidang pada 30 Juli menjadi momen pertama Nenek He bertatap muka dengan putranya setelah sekian lama. Pemandangan Lin memasuki ruangan dengan tangan terborgol meremukkan hatinya. Menurut laporan NDTV dan kesaksian cucunya, sang nenek nyaris tersedak menahan tangis.
Beban emosional itu terlalu berat untuk ditanggung fisiknya yang rapuh. Beberapa jam kemudian, kondisinya menurun drastis. Tim medis yang disiagakan di pengadilan segera memeriksanya dan menyarankan agar ia dilarikan ke rumah sakit.
“Kami semua memintanya untuk pergi ke rumah sakit, tetapi dia tidak mau meninggalkan pengadilan,” kata cucunya.
Nenek He menolak. Baginya, meninggalkan ruang sidang sama dengan meninggalkan putranya berjuang sendirian. Ia memilih bertahan, di sisi Lin, meski harus menahan sakit.
Kini, perjuangan Nenek He belum usai. Didampingi seorang pengacara profesional yang disewa Lin untuk membantunya, ia terus berdiri di garda terdepan. Setiap argumen yang ia siapkan, setiap pasal yang ia pelajari, adalah wujud cinta tanpa syarat yang menolak tunduk pada usia maupun rumitnya jerat hukum.
Kisahnya bukan lagi tentang menang atau kalah, melainkan tentang sejauh mana seorang ibu akan melangkah demi keadilan untuk anaknya.