Pemerintah dan DPRD Jombang resmi merevisi Perda Pajak setelah protes kenaikan PBB hingga 1.000%. Tarif PBB-P2 dipastikan turun mulai tahun 2026. Simak rincian tarif baru dan latar belakang kebijakan ini.
INDONESIAONLINE – Suara protes warga Jombang yang menggema akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang meroket hingga 1.000% akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan DPRD Jombang secara resmi bersepakat merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2023, memastikan tarif pajak akan lebih ramah bagi masyarakat mulai tahun 2026.
Keputusan krusial ini diambil dalam Rapat Paripurna DPRD Jombang, Rabu (13/8/2025), di mana seluruh fraksi menyetujui perubahan regulasi yang sempat menjadi polemik panas di Kota Santri.
Revisi ini bukan sekadar respons politik, melainkan sebuah koreksi kebijakan fundamental yang didasari oleh gelombang kekecewaan publik.
Akar Masalah: NJOP dan Kenaikan Ugal-ugalan
Gelombang protes meledak setelah warga menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB-P2 tahun 2024. Kenaikan yang dinilai tidak masuk akal memicu aksi-aksi simbolik yang menarik perhatian luas.
Salah satunya adalah Joko Fattah Rochim, warga Jalan Kapten Tendean, yang PBB rumahnya melonjak 400%, dari Rp334.178 pada 2023 menjadi Rp1.238.428. Sebagai bentuk frustrasinya, ia mendatangi kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang pada Senin (11/8/2025) dan membayar pajaknya menggunakan sekarung uang koin.
“Ini bukan soal tidak mampu bayar, tapi soal keadilan. Kenaikannya tidak wajar dan tanpa sosialisasi yang memadai,” keluh Fattah kala itu.
Kasus lebih ekstrem dialami Munaji Prajitno. Dua propertinya di Jalan dr. Wahidin Sudiro Husodo mengalami kenaikan fantastis. Satu objek pajaknya melambung 791% dari Rp292.631 menjadi Rp2.314.768, sementara objek lainnya meroket hingga 1.202%.
Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, mengakui bahwa pangkal masalah terletak pada penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang didasarkan pada data appraisal tahun 2022. Data ini dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi riil masyarakat pasca-pandemi.
“Dasar appraisal 2022 membuat NJOP naik signifikan. Ketika NJOP naik, otomatis pajaknya melonjak dengan tarif tertinggi 0,2% yang diterapkan. Ini yang kami koreksi,” jelas Hadi Atmaji, Jumat (15/8/2025).
Solusi Konkret: Tarif Baru dan Penyesuaian NJOP
Melalui Perda yang direvisi, Pemkab dan DPRD Jombang menyepakati dua langkah utama untuk menurunkan beban pajak.
Pertama, penentuan NJOP akan dievaluasi ulang agar sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, tidak lagi kaku mengacu pada data lama. Kedua, struktur tarif PBB-P2 dirombak total menjadi lebih berkeadilan.
Bupati Jombang, Warsubi, memaparkan skema tarif progresif yang baru:
NJOP Rp0 – Rp1 miliar: Tarif 0,125%
NJOP Rp1 miliar – Rp2,5 miliar: Tarif 0,15%
NJOP Rp2,5 miliar – Rp5 miliar: Tarif 0,175%
NJOP di atas Rp5 miliar: Tarif 0,2%
“Penyesuaian ini merupakan tindak lanjut arahan pemerintah pusat untuk menyederhanakan tarif, namun kami tetap memperhatikan kemampuan masyarakat agar kebijakan ini tidak membebani,” terang Bupati Warsubi.
Sebagai data pendukung, kebijakan ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk menetapkan tarif PBB-P2 dengan batas maksimal 0,5% sambil mempertimbangkan keadilan dan kemampuan ekonomi warga.
Mengorbankan PAD Demi Keadilan Sosial
Langkah menurunkan tarif PBB-P2 secara otomatis akan berdampak pada potensi penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB-P2 merupakan salah satu pilar utama penerimaan daerah.
Data Bapenda Jombang menunjukkan target penerimaan dari sektor PBB-P2 pada tahun 2024 mencapai puluhan miliar rupiah, angka yang signifikan bagi APBD.
Namun, Ketua DPRD Hadi Atmaji menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak boleh hanya berorientasi pada angka penerimaan.
“Semangat kami bukan persoalan PAD, tapi bagaimana masyarakat terfasilitasi secara adil dan menyeluruh. Jangan sampai PAD menjadi tujuan utama. Jika PAD harus berkurang demi kebijakan yang berpihak pada rakyat, kenapa tidak?” tegasnya.
Selain revisi tarif PBB-P2, kebijakan baru ini juga mencakup pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sebuah langkah yang diharapkan dapat meringankan beban warga dalam memiliki hunian layak.
Dengan disahkannya revisi Perda ini, warga Jombang bisa bernapas lega. Meski harus menunaikan kewajiban pajak 2024 dan 2025 dengan tarif lama, ada kepastian bahwa beban pajak mereka akan jauh lebih ringan mulai tahun 2026 (ar/dnv).