Bendera One Piece dan Represi di Panggung RI Fest: Bassist .Feast Gugat Aparat

Bendera One Piece dan Represi di Panggung RI Fest: Bassist .Feast Gugat Aparat
Saat bendera bajak laut One Piece berkibar di konser musik dan menyulut peristiwa dugaan pemukulan oleh polisi kepada penonton di RI Fest 2025 pada Jumat (15/8/2025) malam kemarin (Ist)

Insiden di RI Fest 2025 saat bassist .Feast, Awan, menegur aparat yang diduga memukul penonton pembawa bendera One Piece. Analisis mendalam tentang simbolisme protes, batas keamanan, dan kebebasan berekspresi di ruang publik.

INDONESIAONLINE – Panggung musik RI Fest 2025 pada Jumat (15/8/2025) malam menjadi arena tak terduga. Bukan hanya karena dentuman musik, tetapi juga karena konfrontasi verbal yang dilancarkan Fadli Fikriawan atau Awan, bassist band .Feast, terhadap aparat keamanan. Sebuah bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece menjadi pemicunya.

Insiden yang viral di media sosial ini bermula saat Awan menghentikan sejenak penampilannya. Dari atas panggung, ia menyaksikan dan menegur tindakan aparat yang dinilainya berlebihan terhadap seorang penonton. Penonton tersebut diduga dipukul saat melakukan moshing—ekspresi jamak dalam kultur konser musik rock—sambil mengibarkan bendera One Piece.

“Gila, kayaknya orang moshing biasa aja bawa bendera One Piece tuh nggak usah dipukulin kali, Pak!” seru Awan dengan nada tinggi, yang langsung disambut riuh penonton. “Lu dibayar juga pakai duit-duit mereka. Orang moshing biasa aja!”

Kritiknya tak berhenti di situ. Ia menyindir aparat yang dianggapnya reaktif terhadap simbol-simbol, sementara isu-isu krusial bangsa seperti pajak dan kebebasan sipil justru terabaikan menjelang perayaan Dirgahayu RI ke-80.

“Katanya bangsa yang besar, tapi takut sama bendera One Piece,” pungkasnya, sebuah kalimat yang menusuk dan merangkum ironi malam itu.

Fadli Fikriawan atau Awan, bassist band .Feast saat menegur aparat keamanan diduga pukul penonton saat melakukan moshing sambil mengibarkan bendera One Piece (Ist)

Simbolisme Topi Jerami di Tengah Kerumunan

Insiden ini bukan sekadar keributan sesaat di konser. Menurut Dr. Budi Irawan, pengamat budaya pop dan studi media dari Universitas Gadjah Mada, bendera One Piece telah mengalami pergeseran makna di Indonesia. Ia bukan lagi sekadar atribut penggemar anime.

“Kelompok bajak laut Topi Jerami dalam narasi One Piece adalah simbol perlawanan terhadap otoritas absolut dan korup yang disebut ‘Pemerintah Dunia’. Mereka memperjuangkan kebebasan dan kawan-kawan mereka,” jelas Budi.

“Anak-anak muda mengadopsi simbol ini untuk menyuarakan frustrasi mereka terhadap ketidakadilan, korupsi, dan represi yang mereka rasakan di dunia nyata. Mengibarkan bendera itu di konser, apalagi menjelang hari kemerdekaan, adalah sebuah pernyataan politik yang halus namun kuat,” tambahnya.

Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan bagaimana budaya pop menjadi medium aman bagi generasi muda untuk menyalurkan kritik sosial ketika saluran formal dirasa buntu atau berisiko.

Batas Keamanan dan Kebebasan Berekspresi

Di sisi lain, tindakan aparat memunculkan pertanyaan tentang prosedur standar pengamanan (SOP) di acara publik. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap penonton yang tidak mengancam keselamatan publik adalah bentuk pelanggaran.

“Prinsip proporsionalitas harus menjadi landasan. Apakah seorang penonton yang moshing dengan bendera fiksi merupakan ancaman yang sepadan untuk direspons dengan kekerasan fisik? Tentu tidak,” tegas Usman.

Menurutnya, moshing adalah bagian dari subkultur konser yang seharusnya dipahami oleh aparat keamanan. Tindakan preventif dan de-eskalasi harus diutamakan, bukan pendekatan represif.

“Insiden ini mencerminkan kegagalan aparat dalam membaca konteks budaya dan sosial. Ruang berekspresi, bahkan yang paling ‘liar’ seperti di pit konser, harus dilindungi selama tidak membahayakan orang lain. Menganggapnya sebagai ancaman keamanan adalah pandangan yang usang dan berbahaya bagi demokrasi,” paparnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian maupun panitia RI Fest 2025 belum memberikan keterangan resmi terkait insiden tersebut.

Gema di Ruang Digital

Reaksi publik di media sosial terbelah. Dukungan mengalir deras untuk keberanian Awan, dengan banyak warganet memuji sikapnya sebagai representasi suara mereka.

Akun @aris**** menulis, “Katanya bangsa yang besar tapi takut sama bendera One Piece, kelasss.”

Namun, ada pula yang mengkritik cara Awan menyampaikan protesnya, menganggapnya tidak pantas dilakukan di atas panggung. “Mereka (aparat) kalau bukan karena mau ngamanin konser elu, ngapain juga mereka mau jagain di situ,” tulis akun @_malik****.

Perdebatan ini menunjukkan bahwa insiden di RI Fest 2025 telah melampaui sekadar urusan konser. Ia telah menjadi cermin dari ketegangan yang lebih besar: antara generasi muda yang menuntut ruang ekspresi sebebas-bebasnya, dengan aparat negara yang seringkali gagap dalam merespons dinamika zaman (bn/dnv).