Bangil 1706: Duel Maut dan Takdir Terakhir Surapati

Bangil 1706: Duel Maut dan Takdir Terakhir Surapati
Ilustrasi Untung Surapati (Ist)

Menyelami kisah duel epik Untung Surapati melawan Kapten Pabeber di Bangil pada 1706. Sebuah pertempuran yang menentukan nasib perlawanan Jawa di tengah intrik dan pengkhianatan takhta Mataram, diangkat dari catatan Babad Kartasura.

INDONESIAONLINE – Langit Bangil memerah pada suatu hari di tahun 1706. Udara panas dipenuhi pekik perang dan dentum meriam. Di medan laga itu, dua takdir berbenturan. Satu adalah api perlawanan pribumi yang menyala dari seorang budak; yang lain adalah baja dingin kekuasaan kolonial yang haus penaklukan.

Ini adalah kisah hari penentuan itu.

Menurut catatan kuno Babad Kartasura, pasukan gabungan Kompeni, Surabaya, dan Madura telah mengepung Bangil dari utara. Menghadapi kepungan itu, sang penguasa Pasuruan, Untung Surapati, yang bergelar Adipati Wiranagara, tidak gentar.

Gung, bende, dan tambur ditabuh, memanggil laskar setianya dan bala bantuan dari Bali yang terkenal gigih. Mereka berkumpul, Babad melukiskannya, laksana “gelombang samudera yang siap menelan karang.”

Di seberang, Komisaris Kenol memimpin pasukan utama VOC. Di sayap kanan, Panembahan Mandura bersiap, sementara Adipati Surabaya menjaga barisan belakang. Pertempuran pun pecah. Desing peluru dan ledakan meriam menyambar, namun barisan Pasuruan berdiri kokoh, “pantang mundur meski kawan gugur di sisi.”

Di tengah neraka pertempuran itulah, dua pusat gravitasi perang saling mendekat.

Duel Dua Dunia: Surapati vs. Pabeber

Kapten Pabeber, seorang perwira Belanda veteran yang tangguh, maju menembus kekacauan. Ia bukan sekadar prajurit; ia adalah simbol disiplin dan kebrutalan militer Eropa. Di hadapannya, berdiri Surapati, panglima yang tubuhnya ditempa oleh perbudakan dan semangat pemberontakan.

Pertemuan mereka adalah klimaks dari dendam sejarah. Pabeber, yang menurut beberapa catatan pernah terlibat dalam perdagangan budak di Makassar, mungkin tak menyadari bahwa takdir telah mempertemukannya kembali dengan percikan api yang turut ia sebarkan.

“Siapakah engkau, perwira? Aku ingin mengenalmu sebelum nyawamu melayang,” hardik Pabeber.

Surapati menjawab dengan suara yang menggetarkan medan laga, “Aku Adipati Wiranagara! Namaku Raden Surapati, kepala yang pernah merusak Batavia. Ayo, tembaklah aku!”

Pabeber menembakkan pistolnya bertubi-tubi. Anehnya, tak satu pun peluru yang mampu menembus kulit Surapati. Sang Adipati seolah kebal, dilindungi oleh keyakinan dan ilmu kanuragan. Ketika mesiu habis, pertarungan beralih ke senjata tajam, lalu ke pertarungan tangan kosong.

Ini bukan sekadar duel dua prajurit, melainkan benturan dua dunia: spiritualitas Timur melawan rasionalitas Barat, keberanian personal melawan taktik militer.

Dalam pergumulan sengit, Pabeber menggigit leher Surapati, darah muncrat. Namun, dengan gerakan kilat, Surapati menghujamkan belati ke dada lawannya. Tubuh sang kapten roboh, dadanya terkoyak. Simbol kekuatan VOC itu tewas di tanah Pasuruan.

Peluru Emas dan Luka dari Dalam

Kematian Pabeber meruntuhkan mental pasukan Kompeni. Komisaris Kenol panik. Namun, kemenangan itu harus dibayar mahal. Di tengah kekacauan malam, sebuah peluru emas—senjata khusus yang diyakini mampu menembus ilmu kebal—menghantam pinggang kiri Surapati.

Secara fisik, lukanya tak seberapa. Namun, guncangan di dalam tubuhnya begitu hebat. Ia ingin mengamuk lagi, tetapi para pengikutnya yang setia memohon sambil menangis agar sang Adipati mundur. Demi mereka, Surapati menahan diri.

Luka Surapati bukan hanya berasal dari peluru. Ia terluka oleh retaknya benteng perjuangan dari dalam. Jauh di Kartasura, panggung politik Mataram sedang bergolak hebat.

Amangkurat III, sunan yang ia bela, tengah terdesak oleh pamannya, Pangeran Puger, yang didukung penuh oleh VOC dan telah naik takhta sebagai Pakubuwana I.

Di tengah situasi genting ini, Patih Sumabrata, salah satu pilar kekuatan Amangkurat III, menerima surat dari Pakubuwana I. Surat itu berisi janji pengampunan dan jabatan tinggi. Merasa perjuangan tuannya sia-sia, Sumabrata membelot. Pengkhianatan ini menjadi paku terakhir di peti mati perlawanan Amangkurat III, sekaligus mengisolasi posisi Surapati di Pasuruan.

Surapati, sang pahlawan, kini bertarung sendirian.

Dari Budak Menjadi Musuh Abadi Kompeni

Untuk memahami tragedi Surapati, kita harus kembali ke akarnya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia terlahir di Bali dengan nama Surawiraaji. Diperjualbelikan sebagai budak, ia berakhir di Batavia di tangan perwira VOC bernama van Moor. Karena tuannya merasa selalu beruntung sejak memilikinya, ia dinamai “Si Untung.”

Namun, keberuntungan itu berbalik menjadi kutukan ketika ia menjalin asmara terlarang dengan putri tuannya, Suzane. Dipenjara, Untung justru menemukan takdirnya: ia memimpin pemberontakan dan melarikan diri, menjadi buronan paling dicari.

Ironisnya, VOC sendiri yang mengasah bakat militernya. Ia direkrut sebagai letnan untuk membantu menangkap Pangeran Purbaya dari Banten. Namun, saat melihat perlakuan kasar serdadu VOC, jiwa pemberontaknya bangkit. Di Sungai Cikalong pada 28 Januari 1684, ia membantai satu detasemen Kompeni. Sejak saat itu, namanya menjadi Untung Surapati.

Puncaknya terjadi di halaman Keraton Kartasura pada Februari 1686. Di bawah restu diam-diam Amangkurat II, ia membunuh Kapten Francois Tack, penakluk Trunajaya yang legendaris. Kematian Tack adalah tamparan memalukan bagi VOC. Sejak itu, Surapati menjadi Adipati di Pasuruan, mengubahnya menjadi benteng perlawanan anti-kolonial.

Warisan di Atas Abu

Surapati akhirnya gugur karena lukanya di Bangil. Sesuai wasiatnya, kematiannya dirahasiakan dan jasadnya disamarkan di pemakaman biasa. Namun, setahun kemudian, pada 1707, pasukan VOC di bawah Herman de Wilde menemukan makamnya. Mereka membongkarnya, membakar jenazahnya, dan membuang abunya ke laut.

VOC berpikir, dengan melenyapkan jasadnya, mereka bisa menghapus legendanya. Mereka salah.

Surapati memang gugur bukan hanya oleh peluru, tetapi juga oleh kesepian sejarah: terisolasinya perjuangan, retaknya persatuan elite Jawa, dan politik adu domba yang licik. Ia adalah pahlawan tragis yang berjuang tanpa “negara” yang solid di belakangnya.

Namun, dari abunya yang larut di lautan, namanya justru menjelma menjadi mitos. Kisahnya menjadi api yang terus menyala dalam ingatan kolektif rakyat, sebuah simbol abadi bahwa perlawanan terhadap penindasan bisa lahir bahkan dari seorang budak tanpa nama. Pertempuran di Bangil bukanlah akhir, melainkan awal dari legenda panjang bernama Surapati.