Ribuan petani tebu di Situbondo merugi akibat gula tak laku di pasaran, diduga imbas rembesan gula rafinasi. APTR menolak solusi utang bank dan mendesak DPRD mencarikan investor untuk membeli hasil panen yang menumpuk.
INDONESIAONLINE – Aroma manis tebu yang baru digiling seharusnya membawa kabar gembira bagi ribuan petani di Situbondo, Jawa Timur. Namun, musim panen kali ini justru menyisakan rasa pahit. Gula hasil jerih payah mereka menumpuk di gudang, tak laku di pasaran, dan pembayaran yang dinanti tak kunjung pasti.
Keresahan ini akhirnya meledak di ruang rapat Komisi II DPRD Kabupaten Situbondo. Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) datang membawa satu suara: nasib mereka di ujung tanduk, dan pemerintah harus turun tangan sebelum semuanya terlambat.
Pertemuan yang menghadirkan perwakilan Pabrik Gula (PG), APTR, dan Bank Jatim itu menjadi ajang curahan hati sekaligus adu argumen mencari jalan keluar dari krisis yang terus berulang setiap tahun.
Biang Kerok Bernama Gula Rafinasi
Ketua Komisi II DPRD Situbondo, Jainur Ridho, mengakui persoalan ini adalah bom waktu. “Kami punya tanggung jawab moral dan politik. Petani adalah penopang ekonomi daerah, tidak bisa kita biarkan mereka merugi sendirian akibat lemahnya serapan gula lokal,” tegasnya saat membuka rapat.
Akar masalahnya, menurut para pelaku industri, sudah jelas: invasi gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga. Gula yang seharusnya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman ini “merembes” secara masif, menggerus pasar gula kristal putih (GKP) produksi petani.
General Manager PT SGN PG Panji, Norman Arifin, memberikan contoh gamblang. “Dulu kopi dan gula itu satu paket dari petani. Sekarang, produk kopi saset seperti Kapal Api atau Kopi Gajah, gulanya terpisah dan itu gula rafinasi. Ini legal, tapi dampaknya luar biasa bagi kami,” terangnya.
Rembesan ini bukan isapan jempol. Secara regulasi, melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 17 Tahun 2017, distribusi Gula Kristal Rafinasi (GKR) diatur ketat dan dilarang dijual di pasar eceran. Namun, di lapangan, gula impor yang lebih murah dan putih ini mudah ditemukan, bahkan di warung-warung kecil.
Pasalnya, harga Gula Kristal Rafinasi (GKR) di tingkat distributor bisa lebih murah 10-20% dibandingkan Gula Kristal Putih (GKP) petani, membuatnya lebih menarik bagi pedagang dan konsumen yang tidak terlalu peduli asal-usul gula.
Padahal seperti diketahui, Kabupaten Situbondo merupakan salah satu lumbung tebu utama di Jawa Timur dengan luas areal tanam mencapai puluhan ribu hektare dan melibatkan lebih dari 15.000 petani.
Sebagai langkah konkret, Jainur Ridho mengancam akan melakukan operasi pasar (sidak) bersama Satpol PP. “Kita akan sisir peredaran gula rafinasi di pasar rumah tangga. Jika ini dibiarkan, petani tebu kita semakin terjepit,” tandasnya.
Tolak Jerat Utang, Butuh Pembeli Nyata
Di tengah kebuntuan, pihak Bank Jatim menawarkan solusi klasik: fasilitas kredit bagi petani. Namun, tawaran ini sontak ditolak mentah-mentah oleh perwakilan petani.
Sekretaris APTR PG Panji Gravika Tarunasari yang akrab disapa Vika, menyebut tawaran itu bukan solusi, melainkan “jerat baru”.
“Bagaimana mungkin kami disuruh berutang dengan bunga sampai 13 persen untuk menutupi biaya hidup, sementara gula kami tidak ada yang beli? Itu bukan jalan keluar, itu justru menambah masalah baru,” tukas Vika dengan nada tinggi.
Menurutnya, yang dibutuhkan petani saat ini bukanlah utang, melainkan pembeli nyata. Ia mendesak DPRD tidak hanya menjadi mediator, tetapi juga fasilitator yang mampu mendatangkan investor atau pembeli besar (off-taker) yang berkomitmen menyerap gula petani dengan harga layak.
“Kami butuh langkah konkret, carikan kami investor. Petani hanya ingin hasil panennya dibayar agar dapur tetap bisa mengepul dan bisa tanam lagi untuk musim depan,” imbuhnya.
Jalan Buntu dan Harapan pada Rekomendasi Politik
Pertemuan itu berakhir tanpa solusi instan. Namun, Komisi II DPRD berjanji akan mengawal masalah ini hingga tuntas. Mereka akan menyusun rekomendasi komprehensif yang tidak hanya ditujukan kepada pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat.
Rekomendasi tersebut akan mencakup tiga poin krusial. Pertama, Penegakan Aturan: Mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan untuk menindak tegas peredaran ilegal gula rafinasi di pasar konsumen. Kedua, Pencarian Investor: Meminta Pemkab Situbondo proaktif mencari dan memfasilitasi pertemuan antara petani dengan calon investor atau BUMN pangan.
Terakhir, Kebijakan Afirmatif: Mendorong adanya kebijakan yang mewajibkan hotel, restoran, kafe (Horeka), dan UMKM di Situbondo untuk menggunakan gula lokal.
“Persoalan ini sistemik, tidak bisa diselesaikan secara parsial. Kami akan kawal terus hingga ada kepastian harga dan pemasaran bagi pahlawan pangan kita,” tutup Jainur Ridho.
Sementara rekomendasi politik dirumuskan, tumpukan karung gula di gudang-gudang Situbondo menjadi saksi bisu penantian panjang para petani. Mereka berharap, rasa pahit yang mereka alami musim ini bisa segera berubah manis dengan hadirnya solusi nyata, bukan sekadar janji dan wacana (wbs/dnv).