Darah Amangkurat dan Dendam Kartasura: Jejak Supriyadi, Sang Pemberontak yang Hilang

Darah Amangkurat dan Dendam Kartasura: Jejak Supriyadi, Sang Pemberontak yang Hilang
Ilustrasi silsilah Supriyadi tokoh pemberontak PETA Blitar (ai/io)

Telusuri garis darah tak terduga yang menghubungkan pemimpin pemberontakan PETA, Shodanco Supriyadi, dengan raja-raja Mataram yang terbuang, Amangkurat III dan Garendi (Amangkurat V). Kisah epik tentang perlawanan, pengkhianatan, dan warisan dendam yang membentuk nasionalisme modern Indonesia, dari Kartasura hingga Blitar.

INDONESIAONLINE – Sejarah Indonesia adalah permadani yang ditenun dari benang silsilah dan serat dendam yang diwariskan antargenerasi. Di tengah dentum gema kemerdekaan, sebuah nama muncul bagai komet: Shodanco Supriyadi, sang ikon perlawanan terhadap tirani kolonialisme Jepang.

Namun, jauh sebelum sorotan Blitar menyinari sosoknya, darah yang mengalir dalam nadinya telah menyimpan simfoni panjang perlawanan yang dimulai berabad-abad silam.

Supriyadi, pimpinan pemberontakan PETA heroik di Blitar tahun 1945, ternyata bukanlah patriot biasa. Ia adalah pewaris langsung dari Amangkurat III dan Amangkurat V (Raden Mas Garendi), dua raja Mataram yang namanya sengaja dikubur dalam nisan sejarah resmi oleh kekuasaan kolonial dan intrik elit keraton yang bersekutu.

Luka Politik: Pengasingan Sang Raja Terbuang

Amangkurat III, Raden Mas Sutikna, hanya mengecap takhta sebentar di tahun 1703 sebelum badai kudeta menerjang. Pamannya, Pangeran Puger, dengan restu VOC, merebut mahkota dan menjadi Pakubuwana I pada 1705. Kudeta berdarah ini menyulut Perang Suksesi Jawa I (1708), sebuah luka menganga bagi Mataram.

Bagi VOC, pengasingan Amangkurat III ke Ceylon (Sri Lanka) adalah langkah strategis, membungkam oposisi dinasti. Namun bagi jiwa Jawa, ini adalah pemutusan paksa dari “wahyu kekuasaan”—sebuah patah hati spiritual yang merobek hubungan antara raja dan jagadnya.

Bersama Amangkurat III, ratusan sanak famili dan loyalisnya ikut terbuang, dibuang ke negeri asing. VOC memintal narasi tentang “ketertiban,” padahal ini adalah manuver licik untuk membonsai kutub kekuasaan tandingan.

Dengan memutus akar keturunan dari tanah leluhur, Kompeni berharap Mataram yang baru akan lahir: jinak, lumpuh, dan tunduk pada bayang-bayang kuasa kolonial.

Kembalinya Darah yang Dibuang: Sebuah Rekonsiliasi Palsu

Sejarah bergerak bagai spiral. Tiga dekade setelah pengasingan Amangkurat III, sebuah peristiwa mengejutkan terjadi. Pakubuwana II di Kartasura, di bawah bisikan Patih Natakusuma, membuka kembali pintu bagi keturunan yang terbuang.

Surat diplomatik melayang ke Batavia, memohon pemulangan para eksil. Permintaan dikabulkan. Ratusan keturunan, termasuk Pangeran Teposono, Pangeran Mangkunagara, dan Pangeran Jayakusuma, kembali menginjakkan kaki di tanah Jawa.

Namun, mereka bukan kembali sebagai raja, melainkan sebagai simbol—bayangan dari kekuasaan yang dulu pernah mereka genggam.

Prosesi kepulangan ini penuh simbolisme. Pusaka-pusaka kerajaan dikembalikan, gelar dan jabatan diberikan, namun kekuasaan sejati tetap di tangan elit pro-Kompeni. Ini bukanlah rekonsiliasi murni, melainkan reintegrasi yang dikendalikan. VOC lihai memainkan politik simbol untuk meredam potensi ancaman dari dalam.

Retna Dumilah dan Kebangkitan Keluarga Tepasana

Dari abu pemulangan itulah, keluarga Tepasana, keturunan Pangeran Teposono, muncul kembali dalam pusaran sejarah Mataram. Dari garis keturunan yang pernah diasingkan, benih kekuasaan justru kembali tumbuh, perlahan namun pasti, melalui kelima anaknya yang menempuh jalan hidup berbeda namun mengarah pada satu tujuan: pemulihan martabat keluarga.

Anak sulung, Raden Wiratmaja, memilih jalur senyap bangsawan biasa, menjaga nama keluarga tetap hidup. Dua putrinya dinikahkan dengan tokoh penting: satu dengan Ki Puspadirja dari Batang (kerabat eksil), satu lagi dengan Pangeran Buminata (anggota jejaring aristokrat keraton).

Namun, di antara mereka semua, Retna Dumilah bersinar paling terang: bukan hanya jelita memesona, tapi cerdas dan berhati baja. Ia menembus pagar istana, menjadi istri Sunan Pakubuwana II. Pernikahan itu bukan sekadar ikatan darah, melainkan bisikan bahwa keluarga yang dulu dicampakkan kini telah menyusup ke jantung kekuasaan.

Lalu, muncullah Raden Mas Garendi, si bungsu, yang kelak dijuluki Sunan Kuning. Dalam dirinya, luka pengasingan bertransformasi menjadi api pemberontakan yang membara.

Ia datang bukan sebagai tamu yang mengetuk pintu, melainkan badai yang mengguncang dinding Kartasura dari dalam dan luar. Ia bukan sekadar keturunan raja yang terusir, melainkan simbol dendam sejarah yang bangkit dalam wujud politik dan perlawanan bersenjata.

Melalui kelima bersaudara ini, garis darah Amangkurat III membuktikan bahwa kekalahan bukanlah akhir, melainkan awal dari strategi panjang. Mereka tak merebut takhta dengan angkara murka, melainkan menyusup perlahan melalui pernikahan, loyalitas semu, dan jaringan sosial yang dibangun dari reruntuhan kehormatan.

Kisah keluarga Tepasana adalah epik tentang politik Jawa yang bekerja dalam diam: sabar, licin, penuh perhitungan, namun tak pernah padam bara api masa lalu.

Raden Mas Garendi, yang sempat diterima di lingkungan keraton, merasakan penerimaan yang rapuh. Di balik gestur damai, tersimpan kegelisahan di kalangan elit istana. Darah pemberontak kini hidup di dalam tembok kerajaan.

Ketika harapan penyatuan memudar, Garendi justru tampil sebagai lambang tandingan kekuasaan. Ia tak hanya membawa legitimasi darah Mataram, tetapi juga memikul harapan rakyat yang kecewa terhadap struktur feodal yang telah berkompromi dengan asing. Dalam sosoknya, muncul bayangan masa depan yang berbeda, lahir dari luka dan pengkhianatan sejarah.

Dibentuk oleh diaspora dan luka, Garendi tumbuh dalam lingkungan multikultural di Grobogan, diasuh komunitas Tionghoa. Ia menjadi simbol perlawanan saat meletusnya Geger Pecinan (1740–1743), dan pada tahun 1742 dinobatkan sebagai Amangkurat V oleh koalisi rakyat dan laskar Tionghoa.

Ia menguasai Kudus, Pati, dan Demak. Meski akhirnya ditaklukkan dan dibuang ke Sri Lanka, jejaknya hidup sebagai raja alternatif yang mewakili keadilan sosial, anti-kolonialisme, dan koreksi terhadap pengkhianatan dinasti.

Roro Rahayu: Jejak Garendi di Darah Supriyadi

Darah Raden Mas Garendi tak berhenti di Kartasura. Mengalir melintasi generasi, menembus waktu, sampai ke Blitar, menyatu dalam tubuh seorang pemuda revolusioner bernama Raden Supriyadi.

Melalui garis ibunya, Roro Rahayu, Supriyadi mewarisi bukan hanya darah biru Mataram, tetapi juga jejak sejarah panjang perlawanan, pengkhianatan, dan trauma kekuasaan yang terus hidup sejak abad ke-18.

Roro Rahayu adalah seorang ningrat Jawa berdarah Mataram, putri dari Raden Sumodihardjo (tokoh lokal Blitar). Ia menikah dengan Raden Darmadi, mantan Wedana Gorang Gareng yang kemudian menjadi Bupati Blitar. Dari merekalah lahir Raden Supriyadi, sang pemimpin pemberontakan PETA.

Garis silsilah ibu Supriyadi ini menyambung lurus ke Raden Sumodihardjo, lalu Raden Soetodirdjo (Kediri), Raden Soetowidjojo (jaksa di Wirosari, Grobogan), Raden Wirjodikromo (patih Wirosari), dan Raden Hadikusumo. Raden Hadikusumo adalah putra Kanjeng Pangeran Tohpati, putra Kanjeng Pangeran Shipan, yang tak lain adalah putra langsung Kanjeng Pangeran Kuning alias Raden Mas Garendi (Sunan Amangkurat V).

Garendi adalah putra Pangeran Teposono, putra Sunan Amangkurat III. Amangkurat III putra Amangkurat II (pemindah keraton ke Kartasura), Amangkurat II putra Amangkurat I, Amangkurat I putra Sultan Agung Hanyakrakusuma (raja terbesar Mataram, penyerbu Batavia), Sultan Agung putra Panembahan Hanyakrawati, dan cucu dari Panembahan Senapati ing Alaga, pendiri Kesultanan Mataram.

Demikianlah, garis keturunan ibu Supriyadi menghubungkannya langsung dengan raja-raja besar Mataram Islam: dari Panembahan Senapati, Sultan Agung, hingga Amangkurat V.

Supriyadi bukan hanya pewaris darah bangsawan, tetapi juga beban sejarah yang rumit: konflik raja dan rakyat, istana dan penjajah, kekuasaan dan pengkhianatan. Dalam tubuhnya, darah Garendi menjelma dalam bentuk baru: semangat nasionalisme modern yang anti-kolonial, melampaui batas etnis, kasta, dan feodalisme.

Warisan ini bukan berupa takhta atau istana, melainkan luka kolektif dan idealisme yang tumbuh dari reruntuhan harapan sejarah. Dalam diri Supriyadi, trauma pengkhianatan Kartasura dan keruntuhan dinasti Mataram menemukan ekspresi baru dalam perjuangan revolusioner melawan penjajahan Jepang.

Nasionalismenya bukan sekadar hasil pendidikan modern, melainkan kelanjutan dari konflik historis yang dialami leluhurnya: para bangsawan buangan, pangeran pemberontak, dan raja alternatif yang digulingkan kekuatan asing.

Dengan akar sedalam itu, Raden Supriyadi berdiri bukan hanya sebagai simbol perlawanan kemerdekaan, tetapi juga pewaris panjang narasi tentang hak, kehormatan, dan perlawanan—sebuah narasi yang dimulai sejak Panembahan Senapati pertama kali mengangkat kerisnya.

Shodanco Supriyadi dan Gema Revolusi Modern

Ketika Jepang membentuk PETA, banyak pemuda pribumi dilatih sebagai alat kolonial baru. Namun, Supriyadi melihatnya sebagai peluang membentuk kekuatan tandingan. Sebagai shodanco, ia menyaksikan langsung kekejaman militer Jepang, terutama dalam proyek romusha.

Pada 14 Februari 1945, Supriyadi memimpin pemberontakan di Blitar, sebuah langkah nekad yang menjadi tonggak perlawanan bersenjata di era kemerdekaan.

Pemberontakan itu gagal, Supriyadi menghilang, dan nasibnya menjadi misteri abadi. Namun secara simbolis, ia telah mengulangi jejak leluhurnya, Raden Mas Garendi, yang pada tahun 1742 memimpin pemberontakan besar mengguncang Kartasura.

Dengan dukungan Tionghoa pemberontak dan rakyat kecil, Garendi menyerbu keraton, menggulingkan Pakubuwana II, dan menduduki takhta sebelum akhirnya ditangkap dan dibuang.

Supriyadi, seperti Garendi, melawan sistem menindas, menolak tunduk pada imperialisme, dan menyerukan keadilan bagi rakyat.

Dari perspektif historiografi kritis, Supriyadi bukan hanya pahlawan revolusi, tetapi juga pewaris narasi panjang legitimasi, perlawanan, dan rekonsiliasi yang gagal. Ia tak muncul dari kehampaan, melainkan berdiri di atas jejak leluhurnya yang dilupakan.

Garendi, sebagai Amangkurat V yang tak diakui sejarah resmi, memperlihatkan bagaimana kekuasaan kolonial dan elit lokal menghapus narasi yang tak sejalan. Supriyadi menghidupkan kembali narasi itu dalam bentuk baru: nasionalisme yang lahir dari penderitaan rakyat, bukan dari klaim takhta.

Ada kesamaan mencolok antara Garendi dan Supriyadi. Keduanya memimpin pemberontakan bersenjata melawan asing, menghilang tanpa jejak, dan tak pernah duduk di kursi kekuasaan.

Namun sejarah mengenang mereka bukan karena gelar, melainkan keberanian menentang ketidakadilan. Garendi gagal merebut Kartasura, Supriyadi gagal menggulingkan Jepang. Namun keduanya menciptakan ingatan kolektif tentang perlawanan yang tak tunduk pada kekalahan.

Dendam sejarah yang diwarisi dari pengasingan Amangkurat III, kebangkitan simbolik keluarga Tepasana, dan kekalahan tragis Garendi berpadu dalam tubuh seorang pemuda Blitar yang memilih jalan berbahaya demi kemerdekaan. Sejarah, dalam hal ini, bukan sekadar catatan kronologis, tetapi transmisi nilai, luka, dan semangat lintas generasi.

Dari Kartasura ke Blitar: Gema Sunyi yang Berdenyut

Garis darah memang tak selalu menentukan nasib, tetapi ia menyimpan memori yang hidup dalam kesadaran kultural dan bawah sadar kolektif. Supriyadi tak pernah secara terbuka mengklaim keturunannya, tetapi jejak historis menunjukkan bahwa ia adalah anak zamannya, pemuda yang memikul warisan masa lalu yang tertindas. Ia mewarisi keberanian, kehalusan budi, dan semangat perlawanan dari leluhur yang pernah dibungkam sejarah.

Dari pengasingan Amangkurat III di Ceylon, kebangkitan Garendi di Pati, hingga pemberontakan Supriyadi di Blitar, narasi ini menunjukkan bahwa sejarah Indonesia tak pernah benar-benar selesai.

Ia tak mati, melainkan terus berulang, menjelma dalam bentuk baru, dan berdenyut dalam tubuh mereka yang berani menolak lupa.

Dengan demikian, Supriyadi bukan sekadar pahlawan kemerdekaan. Ia adalah simpul dari sejarah panjang perlawanan, simbol dari darah yang menolak tunduk pada kolonialisme dan feodalisme. Ia adalah gema sunyi dari Garendi yang menjelma menjadi ledakan sejarah baru (ar/dnv).