Di tengah puing dan arang pascakerusuhan, DPRD Kabupaten Kediri menolak lumpuh. Simak kisah ironis wakil rakyat yang tetap bekerja tanpa listrik, air, dan bahkan kursi di gedung yang hancur.
INDONESIAONLINE – Aroma hangus masih pekat menyengat. Kabel-kabel menjuntai tak berdaya dari langit-langit yang menghitam. Di lantai, serpihan kaca dan sisa-sisa dokumen berserakan seperti confetti dalam sebuah pesta kehancuran. Inilah wajah baru Gedung DPRD Kabupaten Kediri pasca-amuk massa pada Sabtu malam (31/8/2025) lalu.
Namun, di tengah kelumpuhan fisik itu, sebuah pernyataan tegas mengudara: roda pemerintahan tak akan berhenti berputar.
Ketua DPRD Kabupaten Kediri, Murdi Hantoro, berjalan di antara puing-puing dengan raut wajah yang tenang namun tegas. Baginya, reruntuhan ini bukanlah nisan bagi tugas legislatif, melainkan ujian ketahanan.
“Yang penting kita dapat kerja,” ujarnya pada Senin pagi, seolah menepis gambaran kehancuran di sekelilingnya.
“Setelah kami cek, ada beberapa ruangan yang masih bisa difungsikan. Dengan kondisi ini kita masih bisa kerja, kita sudah alhamdulillah,” lanjutnya.
Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi sarat makna. Ini adalah deklarasi bahwa fungsi demokrasi tidak boleh terikat pada kemegahan sebuah gedung. Bahkan ketika listrik dan air padam, ketika laptop dan sistem suara telah menjadi arang, tugas sebagai wakil rakyat harus terus berjalan.
Potret Ironi: 600 Kursi Raib dan Rapat di Ruang Darurat
Kerusuhan yang terjadi bukan sekadar perusakan, melainkan penjarahan brutal. Data yang diungkap Murdi Hantoro melukiskan gambaran yang lebih kelam. Bukan hanya aset teknologi seperti komputer dan laptop yang lenyap, tetapi juga inventaris paling mendasar.
“Termasuk kursi yang di ruang paripurna itu, 600 kursi hilang semua. Kemungkinan dijarah,” ungkap politikus PDI Perjuangan itu.
Sebuah ironi yang menusuk: lembaga tempat menyuarakan aspirasi rakyat kini kehilangan tempat duduk bagi rakyat maupun wakilnya. Ruang paripurna yang megah kini senyap dan kosong, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya simbol-simbol kekuasaan saat berhadapan dengan amarah massa.
Meski begitu, para pimpinan dewan tak mau larut dalam ratapan. Mereka segera menggelar rapat pimpinan, dilanjutkan dengan rapat bersama ketua-ketua fraksi. Agenda mereka bukan membahas siapa yang salah, melainkan “bagaimana kita melangkah ke depan dari titik nol ini.”
“Meskipun sarana dan prasarana seperti ini, kami tetap menjalankan tugas seperti biasa. Kami berharap teman-teman tetap semangat,” tambah Murdi, seolah menyuntikkan moral kepada jajarannya.
Jalan Panjang Pemulihan Bernilai Miliaran
Di balik semangat untuk terus bekerja, ada kenyataan pahit yang menanti: biaya pemulihan yang gigantis. Murdi Hantoro memperkirakan, angka yang dibutuhkan untuk membangun kembali fisik gedung saja bisa melampaui Rp 10 miliar.
“Untuk rehab ini kan tidak cukup dana 1-2 miliar. Kalau kita melihat bangunannya saja, ini di atas Rp 10 miliar. Itu belum termasuk sarana dan prasarana lain seperti komputer,” jelasnya.
Angka fantastis ini akan menjadi agenda pembahasan krusial dengan Pemerintah Kabupaten Kediri. Sementara proses itu berjalan, DPRD harus mencari solusi kreatif. Untuk kegiatan yang melibatkan banyak orang, seperti rapat pembahasan APBD yang vital, alternatif pun disiapkan.
“Nanti kita akan pakai Convention Hall SLG,” pungkas Murdi.
Pilihan ini menunjukkan bahwa meski “rumah” mereka hancur, fungsi mereka sebagai lembaga legislatif tidak akan ditunda. Keputusan-keputusan penting bagi hajat hidup orang banyak harus tetap lahir, sekalipun harus dirumuskan dari lokasi darurat.
Kisah DPRD Kediri yang berkantor di tengah puing menjadi cerminan nyata bahwa semangat pengabdian seringkali diuji dalam kondisi paling sulit. Gedung boleh hancur, aset boleh dijarah, namun denyut pemerintahan—meski tertatih—dipaksa untuk terus berdetak (bs/dnv).