Adu Narasi di Balik Penjemputan Paksa Delpedro Marhaen

Adu Narasi di Balik Penjemputan Paksa Delpedro Marhaen
Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation (Ist)

Direktur Lokataru Delpedro Marhaen ditangkap Polda Metro Jaya atas tuduhan hasutan. Lokataru sebut ini kriminalisasi dan ancaman kebebasan sipil. Simak analisis mendalam di balik dua narasi yang berlawanan ini.

INDONESIAONLINE – Senyap malam dipecah oleh sebuah tindakan yang kini menjadi episentrum perdebatan nasional. Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, sebuah lembaga yang vokal menyuarakan isu hak asasi manusia, dijemput paksa oleh aparat Polda Metro Jaya pada Senin (1/9/2025) malam.

Peristiwa ini sontak menyalakan alarm di kalangan pegiat demokrasi, sementara kepolisian menegaskan langkah mereka adalah murni penegakan hukum.

Dua narasi besar kini saling berhadapan: di satu sisi, tuduhan “kriminalisasi” dan “ancaman nyata bagi kebebasan sipil.” Di sisi lain, dalih “hasutan provokatif” dan “pelibatan anak dalam aksi anarkis.”

Versi Lokataru: Serangan Terhadap Kebebasan Sipil

Melalui kanal resminya, Lokataru Foundation menggemakan protes keras. Mereka melabeli tindakan aparat sebagai “penjemputan paksa tanpa dasar hukum yang jelas.” Bagi mereka, penangkapan ini bukan sekadar menyasar satu individu, melainkan sebuah pesan intimidasi bagi seluruh elemen masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan.

“Ini adalah bentuk kriminalisasi dan ancaman nyata bagi kebebasan sipil serta demokrasi kita,” tulis Lokataru dalam pernyataan resminya, Selasa (2/9/2025).

Pernyataan ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa ruang untuk berbeda pendapat semakin menyempit, dan aktivisme kini berada di bawah bayang-bayang ancaman pidana.

Versi Kepolisian: Hasutan dan Pelibatan Anak

Polda Metro Jaya memberikan jawaban lugas. Dalam konferensi pers, Kabid Humas Kombes Ade Ary Syam Indradi mengonfirmasi bahwa Delpedro tidak hanya ditangkap, tetapi telah ditetapkan sebagai tersangka. Tuduhannya pun berlapis dan serius.

“Saudara DMR ditangkap atas dugaan melakukan ajakan hasutan yang provokatif untuk melakukan aksi anarkis dengan melibatkan pelajar, termasuk anak,” jelas Ade Ary.

Polisi menjerat Delpedro dengan pasal-pasal yang kerap menjadi sorotan, mulai dari Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, hingga pasal “karet” dalam UU ITE, yakni Pasal 45A ayat 3 jo. Pasal 28 ayat 3.

Tak berhenti di situ, Delpedro juga dihadapkan pada UU Perlindungan Anak, sebuah tuduhan yang menambah bobot serius pada kasus ini. Menurut polisi, dugaan tindak pidana ini terjadi sejak 25 Agustus di sekitar kompleks Parlemen Senayan.

Siapa Delpedro Marhaen?

Penangkapan ini menjadi sorotan tajam juga karena profil Delpedro Marhaen sendiri. Ia bukanlah nama baru dalam dunia advokasi hukum dan HAM. Lulusan magister hukum dan politik ini memiliki rekam jejak panjang di lembaga-lembaga terkemuka seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Haris Azhar Law Office.

Jejaknya sebagai peneliti, asisten program, hingga jurnalis di media alternatif menunjukkan konsistensinya dalam mengawal isu-isu hak sipil. Posisinya sebagai Direktur Lokataru Foundation menempatkannya di garis depan dalam mengadvokasi korban ketidakadilan dan mengkritik kebijakan yang dianggap represif.

Latar belakang inilah yang memperkuat argumen para pegiat HAM bahwa penangkapannya lebih bernuansa politis ketimbang pidana murni.

Kasus ini kini menjadi pertaruhan besar. Publik akan mengawasi dengan saksama bagaimana proses hukum berjalan. Apakah penangkapan Delpedro Marhaen akan terbukti sebagai tindakan penegakan hukum yang adil terhadap hasutan berbahaya, atau justru menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia?

Jawabannya akan menentukan arah kesehatan demokrasi bangsa ini (ina/dnv).