Panembahan Juminah: Panglima Anti-VOC dan Arsitek Spiritual Dinasti Mataram

Panembahan Juminah: Panglima Anti-VOC dan Arsitek Spiritual Dinasti Mataram
Ilustrasi Panembahan Juminah saat berhadapan dengan pasukan Belanda (ai/io)

Selami kisah Panembahan Juminah, bangsawan Mataram yang menjadi paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung. Jejaknya menghubungkan Madiun ke keraton, memimpin perlawanan di Pengepungan Batavia melawan VOC, dan merancang Imogiri sebagai makam para raja. 

INDONESIAONLINE – Jawa pada awal abad ke-17 adalah kanvas intrik dan gema perlawanan. Dinasti Mataram, dengan ambisi hegemoninya, bergulat memantapkan kuasa di tengah riak politik daerah dan ancaman kolonialisme yang baru menancapkan kuku di Nusantara.

Di tengah pusaran takdir ini, seorang bangsawan mengukir jejaknya, bukan di atas singgasana utama, melainkan sebagai simpul yang mempertautkan tiga dunia: kadipaten pedalaman, keraton pusat Mataram, dan medan laga melawan Kompeni Belanda.

Dialah Panembahan Juminah, sosok yang lahir dari darah biru Madiun dan Mataram, dibesarkan dalam bayang-bayang ambisi Panembahan Senapati, dan kemudian menjadi salah satu kepercayaan utama Sultan Agung. Kisahnya adalah narasi tentang integrasi kekuasaan, dendam sejarah, spiritualitas Jawa, dan denyut perlawanan.

Jejak Darah dan Simpul Dua Dinasti: Dari Retno Dumilah ke Juminah

Panembahan Juminah, terlahir sebagai Raden Mas Bagus, membawa warisan darah yang luar biasa. Ia adalah putra Panembahan Senapati, pendiri Mataram, dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah.

Namun, siapa sang ibu? Retno Dumilah bukan sekadar permaisuri, melainkan putri sulung Pangeran Timur, Adipati Madiun I, penguasa yang menjadikan Madiun poros penting di Jawa Timur pedalaman. Pernikahan Senapati dan Retno Dumilah bukanlah asmara semata, melainkan sebuah pernikahan politik yang brilian: menyatukan trah Mataram yang sedang mengembang dengan darah bangsawan Madiun.

Ikatan ini melahirkan anak-anak yang kelak menempati posisi strategis di berbagai kadipaten penting. Bahkan, Retno Dumilah tampil di panggung militer, turut diboyong dalam penyerangan Senapati ke Pasuruan, simbol menyatunya darah “Brang Wetan” dengan ekspansi politik Mataram.

Garis darah Raden Mas Bagus semakin kaya ketika ditarik ke atas, ke kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Timur, yang terlahir sebagai Pangeran Maskumambang. Ia adalah putra bungsu Sultan Trenggono, raja Kesultanan Demak, dari permaisuri Kanjeng Ratu Pembayun—putri Sunan Kalijaga dengan Siti Zaenab, putri Syekh Siti Jenar.

Dari jalur ini, tampak jelas Panembahan Juminah mewarisi kebangsawanan ganda: trah para wali melalui Sunan Kalijaga, dan trah raja-raja Islam awal Jawa melalui Kesultanan Demak. Sebuah legitimasi politik sekaligus spiritual yang tak tertandingi.

Pangeran Maskumambang, yang kemudian bergelar Panembahan Mas atau Panembahan Timur, diangkat sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang.

Penunjukan ini diperkuat ikatan keluarga: kakaknya, Kanjeng Ratu Mas Cempaka, adalah permaisuri Sultan Pajang. Namun, hegemoninya tak berlangsung abadi. Ketika Pajang melemah, Mataram bergerak. Perlawanan rakyat Madiun terhadap Mataram, yang dikenang dalam tarian rakyat “Bedhah Madiun,” akhirnya takluk, dan Madiun diintegrasikan ke dalam Mataram melalui pernikahan politik antara Senapati dan Retno Dumilah.

Madiun, Takhta Muda, dan Strategi Mataram

Setelah Madiun resmi jatuh, Mataram menempatkan putra-putra Retno Dumilah sebagai bupati. Sebuah strategi cerdas untuk mengikat loyalitas. Pertama, Raden Mas Julig menjadi Raden Tumenggung Pringgalaya (1595–1601).

Kemudian, giliran Raden Mas Bagus, yang setelah dewasa bergelar Pangeran Balitar I, diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Adipati Juminah (1601–1613). Meskipun sempat digadang-gadang sebagai calon penerus takhta Mataram, takdir politik menempatkannya di Madiun.

Uniknya, mereka diangkat saat masih berusia belia, sehingga diperlukan pengasuh atau wali pemerintahan. Peran ini dipercayakan kepada Raden Mas Bagus Pethak, putra Pangeran Mangkubumi, kakak Panembahan Senapati, yang bahkan tercatat dalam dokumen Pemerintah Kabupaten Madiun sebagai Bupati Mangkunegara I (1601–1613).

Fenomena ini menyingkap mekanisme Mataram: memadukan legitimasi darah biru dengan mekanisme pengawasan internal keluarga, menempatkan anak-anak Senapati di wilayah strategis, tetapi tetap dalam pengawalan tokoh senior dari lingkaran istana.

Di Lingkar Dalam Sultan Agung: Penasihat dan Panglima

Tahun 1613 menjadi titik balik. Susuhunan Hanyakrawati, putra Senapati, wafat, membuka jalan bagi putranya, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1646), untuk naik takhta.

Pada masa inilah Adipati Juminah dipanggil ke istana pusat. Ia diberi posisi penting sebagai penasihat raja. Laporan De Haen, seorang utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram, mencatat bahwa Sultan Agung tidak mengambil keputusan penting tanpa meminta nasihat para sesepuh yang dituakan, termasuk Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya.

Ini menegaskan posisi Juminah bukan sekadar pejabat administratif, melainkan bagian dari lingkaran dalam penentu arah kerajaan.

Awal kekuasaan Sultan Agung diwarnai gejolak besar. Pada 1617, meletus pemberontakan di Pajang yang dipimpin Pangeran Benawa II, cucu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).

Benawa II, yang merasa mewarisi legitimasi Demak–Pajang, mengangkat senjata. Sultan Agung mengutus Pangeran Adipati Juminah bersama para pembesar Mataram memimpin pasukan. Kehadiran Juminah memberi legitimasi sekaligus kekuatan moral bagi bala Mataram.

Pertempuran berakhir dengan kekalahan Pajang, Benawa II melarikan diri, dan wilayah Pajang dihancurkan. Kisah Benawa II adalah potret aristokrat pewaris Jaka Tingkir yang tersingkir, namun namanya tetap hidup dalam ingatan lokal sebagai pangeran yang kalah, tetapi tidak hilang.

Tidak hanya Pajang, tahun 1619 Mataram juga menghadapi pemberontakan Adipati Tuban. Sumber Jawa dan Belanda menyebut keterlibatan Pangeran Juminah dalam menumpas pemberontakan ini, serta dalam menghadapi perlawanan orang Sunda.

Pola yang tampak adalah konsolidasi kekuasaan Sultan Agung dengan mengandalkan jaringan bangsawan trah Senapati-Retno Dumilah untuk memukul balik daerah yang mencoba melepaskan diri.

Bayangan Perang: Dari Batavia hingga Pengkhianatan

Namun, puncak peran politik dan militer Juminah terlihat ketika Mataram berhadapan dengan Kompeni Belanda di Batavia. Pada 1628, Sultan Agung mengirim ribuan pasukan untuk mengepung Batavia, berambisi mengusir Belanda dari Jawa.

Serangan pertama gagal. Setahun kemudian, pada 1629, serangan kedua dilancarkan. Kali ini, Pangeran Adipati Juminah mendapat peran penting sebagai salah satu pemimpin pasukan, bersama Tumenggung Singaranu dan Pangeran Mangkubumi.

Sayangnya, sejarah mencatat pahit: serangan kedua pun gagal. Pengkhianatan di dalam barisan membuat pasukan tercerai-berai. Banyak panglima yang pulang dihukum mati oleh Sultan Agung, dianggap gagal menjaga wibawa kerajaan.

Van Goens dan De Graaf mencatat pemancungan Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Namun, berbeda dengan banyak panglima lain, Juminah selamat dari hukuman. Kedudukannya yang istimewa sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung (karena ia adalah suami kedua Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung) membuat posisinya tak tergantikan.

Hal ini menunjukkan peran strategis Juminah sebagai simbol loyalitas keluarga Senapati terhadap proyek besar Sultan Agung: menyingkirkan VOC dari tanah Jawa.

Imogiri: Makam Para Raja dan Simbol Kebangkitan Spiritual

Kegagalan mengusir VOC menorehkan luka politik yang dalam. Sultan Agung harus segera memulihkan kewibawaannya. Salah satu langkah simbolik yang ditempuh adalah pembangunan kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.

Menurut Babad Alit, proyek besar ini dipercayakan kepada dua tokoh utama: Panembahan Juminah dan Pangeran Balitar. Pembangunan dimulai sekitar 1629–1630, bertepatan dengan masa sulit pasca kegagalan ekspedisi militer ke Batavia.

Dalam kosmologi politik Jawa, makam raja bukan sekadar tempat peristirahatan, melainkan pusat spiritual yang mengikat legitimasi kekuasaan. Dengan menempatkan makam di bukit tinggi, Sultan Agung menghidupkan kembali tradisi Jawa-Hindu yang menempatkan raja sebagai figur sakral, penghubung dunia atas dan dunia leluhur.

Keputusan ini juga menandai pergeseran dari tradisi lama Mataram yang memakamkan raja-raja dekat Masjid Kotagede, mengikuti praktik Islam. Dengan Imogiri, Sultan Agung menggabungkan simbolisme Hindu-Jawa lama dengan spiritualitas Islam, memperkuat klaimnya sebagai raja dunia sekaligus raja gaib.

Panembahan Juminah, atau Raden Mas Bagus Suratani, ditunjuk mengawasi pembangunan awal makam di Girilaya. Tugas ini sangat strategis, bukan sekadar administratif, tetapi juga penegasan perannya sebagai penghubung antara politik praktis dan spiritualitas dinasti.

Material terbaik dikerahkan, termasuk kayu wungle dari Palembang. Namun, sebelum proyek itu rampung, Juminah wafat pada tahun Jawa 1565 (sekitar 1643–1644 Masehi) dalam usia 52 tahun, dan dimakamkan di Bukit Girilaya atas perintah Sultan Agung.

Peristiwa ini menjadi titik balik penting: Sultan Agung kecewa karena bukan dirinya yang pertama dimakamkan di lokasi sakral itu. Kekecewaan ini mendorongnya membangun kompleks pemakaman baru di sebuah bukit yang lebih tinggi, yang kemudian dikenal sebagai Imogiri.

Sultan Agung wafat pada 1646 dan dimakamkan di Imogiri, yang sejak saat itu menjadi makam resmi raja-raja Mataram. Panembahan Juminah, meskipun wafat lebih awal, memainkan peran kunci dalam kelahiran salah satu situs paling sakral dalam sejarah Jawa. Makam Imogiri bukan hanya kuburan, melainkan monumen kosmologi politik Jawa: simbol perpaduan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi dinasti.

Legasi yang Tak Pernah Padam: Genealogi Raja-Raja Jawa

Meski wafat lebih awal, warisan Juminah tidak hilang. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, janda Panembahan Hanyakrawati sekaligus ibunda Sultan Agung, lahir keturunan yang menempati posisi penting dalam jaringan politik dan spiritual Jawa.

Dari garis keturunannya, muncul Pangeran Adipati Balitar yang menurunkan garis bangsawan Madiun, termasuk Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (dimakamkan di Kuncen, Madiun) dan Pangeran Arya Balitar IV (dimakamkan di Astana Nitikan, Yogyakarta). Lebih jauh, dari Pangeran Balitar Tumapel III lahirlah Raden Ayu Puger yang kemudian bergelar Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I Kartasura.

Dari perkawinan Ratu Mas Blitar dengan Pakubuwana I, lahirlah Sunan Amangkurat IV, yang kemudian menjadi leluhur dinasti Mangkunegaran dan Pakualaman. Amangkurat IV adalah ayah dari Pangeran Mangkubumi, yang memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta pada 1755. Salah satu putranya, Pangeran Notokusumo, mendirikan Kadipaten Pakualaman pada 1812.

Ratu Mas Blitar juga memiliki putra lain, Gusti Raden Mas Sudomo (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar), yang garis keturunannya menyambung ke Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran.

Dengan demikian, darah Panembahan Juminah mengalir dalam trah istana Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman hingga abad ke-18 dan seterusnya. Ratu Mas Blitar, cucunya, menjadi poros genealogis yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18, menjadikannya leluhur bagi dinasti-dinasti besar Jawa yang kita kenal hari ini.

Epilog: Cermin Jawa yang Berjuang

Panembahan Juminah bukanlah raja yang memerintah sendiri, tetapi jejak hidupnya menyingkap kompleksitas politik, militer, dan spiritual Jawa abad ke-17. Ia adalah cermin bagaimana kadipaten seperti Madiun diserap ke dalam tubuh kerajaan, bagaimana loyalitas keluarga menjadi alat legitimasi, dan bagaimana perang melawan VOC menjadi medan pengorbanan yang sarat simbolisme.

Perannya sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, panglima dalam pengepungan Batavia, dan pengawas pembangunan Imogiri menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan hanya soal takhta, melainkan juga tentang jaringan keluarga, simbol, dan legitimasi spiritual. Warisannya tidak hanya berupa prestasi militer atau politik, tetapi juga melalui keturunan yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18.

Melalui kisah Panembahan Juminah, kita melihat bahwa sejarah tidak hanya ditentukan oleh mereka yang duduk di atas takhta, tetapi juga oleh sosok-sosok yang berada di lingkar inti kekuasaan, yang memainkan peran strategis dalam menentukan arah politik, spiritualitas, dan nasib bangsa. Ia adalah simpul takdir yang mengukir garis sejarah Jawa, dari pedalaman Madiun hingga puncak Imogiri yang sakral (ar/dnv).