Film horor terbaru Gereja Setan resmi tayang, menguak kisah nyata kelam komedian Mongol Stres terjerumus sekte sesat.
INDONESIAONLINE – Gemuruh lonceng ketakutan mulai bergaung di bioskop seluruh Indonesia. Kamis, 11 September 2025, menjadi penanda resmi tayangnya film horor terbaru Gereja Setan. Karya sinematik yang tidak hanya menjanjikan kengerian visual, tetapi juga menyajikan cerminan gelap dari salah satu fenomena sosial paling meresahkan: jeratan sekte sesat.
Lebih dari sekadar hiburan, film ini bertransformasi menjadi peringatan keras yang menggali trauma nyata dari seorang komedian kenamaan, Rony Immanuel atau lebih dikenal sebagai Mongol Stres.
Sejak malam penayangan perdananya, Gereja Setan langsung menjadi perbincangan hangat, merajai daftar pencarian Google dan memicu diskusi intens di berbagai platform media sosial. Namun, di balik keriuhan warganet yang penasaran, tersimpan esensi mendalam yang perlu diurai: mengapa kisah seperti ini relevan, dan bagaimana ia merefleksikan kerentanan masyarakat terhadap manipulasi spiritual?
Dari Trauma Pribadi Menjadi Naskah Layar Lebar: Kisah Nyata Mongol Stres
Yang membuat Gereja Setan unik adalah fondasi ceritanya yang terinspirasi langsung dari pengalaman pahit Mongol Stres di masa lampau. Ia pernah terjerumus dalam sebuah sekte yang mengklaim kebenaran, namun pada akhirnya menjerumuskan anggotanya ke dalam praktik-praktik yang menyesatkan dan merugikan.
Keberanian Mongol untuk membagikan kisahnya bukan hanya menjadi inspirasi, tetapi juga menempatkannya sebagai salah satu pemeran utama, Hendrik, pemimpin sekte dalam film tersebut. Kehadirannya tidak hanya menambah daya tarik, tetapi juga memberikan lapisan autentisitas yang jarang ditemukan dalam genre horor.
Daniel Tito, sang sutradara, bersama deretan bintang seperti Jonas Rivanno (sebagai Lucifer), Kathleen Carolyne (Ribka), Maddy Slinger (Gladys), hingga Richard Ivander, berupaya menerjemahkan kengerian psikologis dan spiritual ini ke layar lebar.
Film ini, sebagaimana dijelaskan produser Roy Sakti, bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan membawa pesan sosial yang kuat: meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap ajaran sesat.
“Film ini digarap dengan harapan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap ajaran sesat yang kerap dibungkus tampilan religius, sehingga mereka tidak tersesat,” ungkap Roy.
Anatomi Kerentanan: Ketika Iman Dibajak
Cerita Gereja Setan berpusat pada sosok Ribka (Kathleen Carolyne), seorang perempuan yang hidupnya jungkir balik setelah menghadapi serangkaian musibah: hamil di luar nikah dan kehilangan calon suaminya, Matthew (Roy Romagny), dalam kecelakaan tragis.
Di tengah keterpurukan, ia justru diusir orang tuanya demi menjaga nama baik keluarga. Dalam pelariannya, Ribka bertemu Gladys (Maddy Slinger) yang menawarinya tempat tinggal dan kemudian memperkenalkannya kepada Hendrik (Mongol Stres) dan komunitasnya.
Inilah poin krusial yang sering dimanfaatkan oleh sekte sesat: menargetkan individu yang sedang berada di titik terendah, mencari penerimaan, dan putus asa. Komunitas Hendrik pada awalnya terlihat ramah, suportif, dan menerima Ribka tanpa memandang latar belakang. Namun, kebaikan palsu itu hanyalah kedok.
Perlahan tapi pasti, Ribka ditarik ke dalam lingkaran ritual-ritual mengerikan, hingga dipertemukan dengan sosok Lucifer (Jonas Rivanno Wattimena) dan dipersiapkan untuk menjadi “pengantin iblis.”
Kisah Ribka adalah gambaran nyata bagaimana mekanisme rekrutmen sekte bekerja. Menurut studi psikologi sosial dan laporan dari lembaga-lembaga pengawas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kerap mengeluarkan fatwa terkait aliran sesat, pola rekrutmen ini umumnya meliputi:
Love Bombing: Calon anggota dibanjiri perhatian, pujian, dan kasih sayang intens untuk menciptakan perasaan diterima dan dicintai.
Isolasi: Anggota secara bertahap dijauhkan dari keluarga, teman, atau lingkungan lama yang dianggap “negatif” atau “tidak mengerti.”
Indoktrinasi: Ajaran-ajaran khusus sekte disampaikan secara berulang, seringkali disertai manipulasi emosional dan kognitif untuk menanamkan loyalitas mutlak kepada pemimpin.
Ketergantungan: Anggota dibuat bergantung secara emosional, finansial, atau bahkan spiritual pada sekte, sehingga sulit untuk melepaskan diri.
Ribka, dalam ceritanya, mengalami hampir semua fase ini. Namun, di tengah keputusasaan, ia menemukan secercah harapan melalui pengalaman rohani yang membimbingnya kembali kepada iman yang sejati. Ini menunjukkan bahwa meskipun jeratan sekte bisa sangat kuat, selalu ada jalan keluar, seringkali melalui dukungan spiritual yang kokoh atau bantuan dari pihak luar.
Data dan Realitas Sosial: Ancaman yang Tidak Boleh Diremehkan
Fenomena ajaran sesat bukan sekadar fiksi horor. Di Indonesia, isu ini menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Kementerian Agama secara periodik mengidentifikasi dan mengedukasi masyarakat mengenai ciri-ciri aliran keagamaan yang menyimpang.
Data dari berbagai laporan, meskipun sulit untuk mendapatkan angka pasti karena sifat tertutup sekte, menunjukkan bahwa kasus-kasus penipuan berkedok agama, penggelapan dana, hingga eksploitasi seksual dan bahkan kekerasan fisik, seringkali terkait dengan keberadaan ajaran sesat.
Menurut riset Center for Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (meskipun spesifik pada isu radikalisme, namun relevan dalam konteks kerentanan), kelompok rentan yang mudah terpengaruh adalah mereka yang mencari identitas, jawaban atas krisis hidup, atau merasa terpinggirkan dari masyarakat konvensional.
Kondisi sosial-ekonomi yang sulit, ditambah dengan kemudahan akses informasi (dan disinformasi) di era digital, semakin mempercepat penyebaran ajaran-ajaran menyimpang ini.
Film Gereja Setan secara apik menggambarkan bahwa ajaran sesat tidak selalu datang dalam bentuk terang-terangan yang mencurigakan, melainkan seringkali menyusup melalui pintu kebaikan, penerimaan, dan janji-janji palsu.
Peringatan Melalui Layar Kaca
Kesuksesan Gereja Setan menjadi trending di hari perdananya menunjukkan bahwa topik ini sangat relevan dan menarik perhatian publik. Film ini tidak hanya memenuhi dahaga penonton akan tontonan horor yang mencekam, tetapi juga berhasil menjadi medium edukasi yang efektif.
Dengan menggali trauma nyata dan menghadirkan narasi yang mendalam, Gereja Setan memaksa penonton untuk tidak hanya menyaksikan kengerian di layar, tetapi juga merenungkan potensi ancaman yang mengintai di dunia nyata.
Sebagai penutup, pesan dari Roy Sakti dan pengalaman Mongol Stres adalah pengingat penting: kewaspadaan adalah kunci. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern dan pencarian makna, penting bagi setiap individu untuk kritis dalam menerima ajaran, menjaga relasi dengan keluarga dan lingkungan yang sehat, serta mencari dukungan dari lembaga keagamaan atau psikolog terpercaya jika merasa rentan.
Gereja Setan bukan sekadar film, melainkan sebuah seruan untuk membuka mata dan menjaga iman dari jeratan kegelapan yang sesungguhnya (bn/dnv).