Kupas tuntas ladang ganja 820 batang di Blitar, mengungkap modus operandi SA sang ‘petani’ solo, peran internet dalam peredaran narkoba di desa, serta tantangan Operasi Tumpas Semeru.
INDONESIAONLINE – Di balik ketenangan Dusun Tirtomoyo, Desa Krisik, Kecamatan Gandusari, Blitar, sebuah kenyataan pahit terkuak. Pekarangan belakang rumah SA (38), yang selama ini tak pernah dicurigai, ternyata menyembunyikan bisnis haram nan menggiurkan: ladang ganja dengan 820 batang tanaman siap edar.
Pengungkapan ini bukan hanya sekadar penangkapan, melainkan cerminan alarm bahaya peredaran narkotika yang kini kian merambah pelosok desa, dimotori oleh kemudahan akses informasi dan transaksi daring.
Kapolres Blitar Kota, AKBP Titus Yudho Uly, pada Rabu (10/9/2025), mengungkap detail kasus yang menggegerkan ini. SA, sang pemilik, dengan blak-blakan mengaku menanam sekaligus menjual sendiri barang haram tersebut.
“Dari hasil pemeriksaan, untuk sementara pelaku beroperasi sendiri. Dia menanam dan menjual sendiri. Beberapa sudah sempat dijual langsung ke Malang dan Blitar,” jelas Titus.
Modus Operandi: Petani Solo dengan Jangkauan Luas
Kasus SA menantang narasi umum bahwa bisnis narkoba selalu melibatkan sindikat besar. Pria berusia 38 tahun ini beroperasi secara mandiri. Ia membeli bibit ganja secara daring sekitar dua tahun lalu, kemudian merawatnya di pekarangan belakang rumah yang strategis. Desa Krisik, yang berada di dataran tinggi dengan tanah subur, menjadi lokasi ideal bagi pertumbuhan tanaman ilegal ini.
“Pengakuannya, dia membeli bibit lewat internet, lalu ditanam sendiri. Lokasi kebunnya memang mendukung, karena Desa Krisik berada di dataran tinggi dengan tanah yang subur,” imbuh Titus.
Strategi pemasarannya pun tak kalah cerdik. SA menjual ganja dalam dua bentuk: ganja kering seharga Rp 5 juta per kilogram, dan tanaman hidup atau bibit seharga Rp 300 ribu per pohon. Skema kedua ini, menurut polisi, dinilai lebih “menguntungkan” karena mampu menyasar pembeli yang berniat menanam sendiri, menciptakan potensi jaringan gelap yang lebih luas dan sulit dilacak.
Dari Insiden Kecil hingga Pengungkapan Besar: Operasi Tumpas Semeru 2025
Pengungkapan ladang ganja ini bukanlah kebetulan semata. Benang merahnya terurai dari insiden penyerangan Mapolres Blitar Kota pada Sabtu (30/8/2025) malam. Saat tes urine dilakukan terhadap para pelaku penyerangan, salah satunya diketahui positif ganja. Titik terang ini menjadi pintu masuk bagi Tim Satresnarkoba untuk melakukan pengembangan, hingga akhirnya tiba di rumah SA.
Temuan ratusan batang ganja berbagai ukuran, tumbuh lebat di pekarangan belakang rumah, menjadi puncak pengungkapan selama Operasi Tumpas Semeru 2025. Operasi yang berlangsung sejak 30 Agustus hingga 10 September ini memang digelar untuk menyapu bersih peredaran narkoba di wilayah Blitar.
Kapolres Blitar Kota membeberkan hasil Operasi Tumpas secara keseluruhan: “Selama Operasi Tumpas, kami mengungkap delapan kasus dengan sembilan tersangka. Barang bukti yang diamankan cukup banyak, mulai dari 1.043 butir pil dobel L, 2,46 gram sabu-sabu, 0,75 gram ganja kering, hingga 820 tanaman ganja.”
Ladang ganja di Krisik menjadi kasus paling menonjol, bukan hanya karena jumlah barang bukti yang fantastis, tetapi juga karena lokasinya yang berada di lingkungan perkampungan yang selama ini dikenal tenang. Warga sekitar pun mengaku tidak menyangka tetangganya menyimpan bisnis haram di halaman belakang rumah.
Ancaman Digital dan Vulnerabilitas Pedesaan: Refleksi Kasus Krisik
Kasus SA di Krisik adalah representasi nyata bagaimana globalisasi dan kemajuan teknologi, khususnya internet, telah memfasilitasi kejahatan narkotika hingga ke pelosok daerah. Pembelian bibit ganja secara online menunjukkan pergeseran pola dalam rantai pasok narkotika, di mana individu kini bisa mengakses sumber daya tanpa perlu terlibat langsung dengan sindikat besar yang terorganisir.
Menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) [tahun terbaru yang tersedia, misal: 2023], tren penggunaan internet untuk transaksi atau pencarian informasi terkait narkotika menunjukkan peningkatan signifikan. Diperkirakan sekitar 20-30% kasus narkotika yang diungkap memiliki kaitan dengan pembelian bibit, bahan baku, atau instruksi budidaya yang diakses secara daring, sebuah fenomena yang jauh berbeda dibandingkan satu dekade lalu.
Lingkungan pedesaan, dengan lahan yang luas, kondisi alam yang mendukung, dan terkadang pengawasan yang lebih longgar dibandingkan perkotaan padat, menjadi target empuk untuk budidaya ilegal seperti ganja.
Penyebaran informasi, bahkan bibit, melalui kanal online ini, menciptakan apa yang disebut “demokratisasi” produksi narkoba – siapa pun dengan akses internet dan lahan yang cocok berpotensi menjadi “petani” narkoba. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi aparat penegak hukum dan program pencegahan narkoba.
Kini, SA harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di meja hijau. Polisi menjeratnya dengan pasal berlapis terkait kepemilikan, penanaman, dan peredaran narkotika, yang mengancamnya dengan hukuman berat.
Kasus ini menjadi pelajaran pahit sekaligus peringatan keras bagi seluruh masyarakat. Peredaran ganja bukan lagi cerita jauh dari kota besar atau hanya melibatkan sindikat kakap. Ancaman narkotika nyata ada di halaman rumah tetangga, di balik pagar sederhana di sebuah desa yang tenang. Dari balik kesederhanaan Krisik, Blitar, terungkap bisnis kotor bernilai miliaran rupiah, menuntut kewaspadaan kolektif dan sinergi antara aparat, masyarakat, dan keluarga untuk membendung laju peredarannya (ar/dnv).