Selami drama sejarah abad ke-17 di Pati: kisruh asmara Adipati Pragola II, intrik politik Mataram, hingga pemberontakan tragis melawan Sultan Agung. Sebuah kisah kekuasaan, pengkhianatan, dan takdir di tanah Jawa.
INDONESIAONLINE – Di ufuk timur Jawa, kala abad ke-17 baru merangkak, sebuah kota pesisir bernama Pati menjadi saksi bisu jalinan takdir yang memadukan gemuruh asmara, ambisi tak terbatas, dan perebutan mahkota kekuasaan.
Kota ini, dengan pasir pantainya yang tenang dan riak ombaknya yang menyimpan rahasia, tiba-tiba menjelma panggung konflik epik antara seorang adipati muda yang penuh gairah dengan penguasa Mataram yang sedang menancapkan kukunya di tanah Jawa.
Kisah ini, yang terukir dalam serat-serat kuno dan laporan mata-mata Belanda, adalah narasi tentang bagaimana cinta, pengkhianatan, dan pedang membentuk peta politik di awal era keemasan Mataram.
Pati: Antara Legitimasi Kekerabatan dan Bayangan Mataram
Pati pada awal abad ke-17 dikuasai oleh Adipati Pragola II, seorang cucu dari Ki Panjawi dan putra Pragola I yang sebelumnya telah menyerahkan tampuk kepemimpinan pada 1600.
Serat Kandha, salah satu sumber historis, dengan samar menyebut Pragola II sebagai “ipar Raja yang lebih muda,” sementara istrinya disebut “ipar wanita yang lebih muda.”
Namun, penelusuran lebih lanjut mengungkap fakta yang jauh lebih krusial: istri Pragola II, Raden Ajeng Tulak (dikenal juga sebagai Ratu Sekar), adalah putri dari Kanjeng Ratu Mas Hadi dan Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati—yang tidak lain adalah Raja Mataram II, sekaligus saudara kandung dari Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Pernikahan ini, jauh dari sekadar urusan keluarga, adalah simpul perkawinan politik yang kokoh, menegaskan aliansi strategis antara Pati dan keraton Mataram. Ini adalah tradisi yang telah dijalankan oleh para pendahulunya; Pragola I, misalnya, telah menikahkan saudara perempuannya dengan Senapati, pendiri Mataram, yang kemudian menjadi ibu Hanyakrawati.
Kedua cabang keturunan Sela, yang diselimuti legenda kekerabatan dan legitimasi, saling mengikat, memperkuat jaringan kekuasaan di Jawa.
Namun, sejarah Pati antara pemberontakan pertama tahun 1600 hingga awal 1620-an masih diselimuti kabut misteri. Peta-peta Belanda awal abad ke-17 masih mencantumkan nama Pati, tetapi teks-teks Jawa justru jarang menyebutnya.
Beberapa sejarawan menduga kota ini kadang disebut sebagai Cajaon (kemungkinan Juwana), sebuah tempat yang memiliki raja sendiri, meskipun pelayaran di sekitarnya relatif sepi. Selama pemberontakan Demak pada 1602 dan tahun-tahun berikutnya, Pati tidak memainkan peran signifikan, kemungkinan karena posisi geografisnya yang terlindungi oleh tembok kota.
Bahkan serangan dari timur pada 1616 dilaporkan mengabaikan kota ini, seolah keberadaannya memang sengaja diredam dalam narasi besar Jawa.
Meski demikian, Pragola I tercatat dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang berpartisipasi dalam penaklukan Lasem dan turut serta dalam serbuan ke Tuban. Pada 1620, Adipati Pati, bersama istri dan putranya, menghadap Raja Mataram. Sebuah tindakan yang bisa dianggap penghormatan simbolis terhadap pusat kekuasaan, namun juga menunjukkan perhatian Pragola terhadap urusan regional dan posisi strategis Pati sebagai tetangga Mataram yang tak bisa diabaikan.
Nyala Api Asmara di Jepara: Pemicu Pertama 1624
Titik balik ketenangan Pati dimulai pada tahun 1624, ketika faktor personal menjelma pemicu awal konflik. Laporan Hendrick de Haen, seorang pengamat Belanda, mencatat bahwa Pragola II mulai menunjukkan gelagat sebagai penguasa mandiri, berani menantang tatanan yang ada.
Ia berseteru dengan seorang bangsawan kaya di Jepara. Bukan soal kekuasaan, melainkan soal asmara: Pragola II berhasrat untuk menikahi putri bangsawan tersebut.
Upaya diplomasi awal yang Pragola II lakukan menunjukkan keseriusannya. Ia mengirimkan dua gajah yang megah, disertai beberapa orang terkemuka yang membawa persembahan berharga berupa emas, perak, kain, dan sirih. Namun, pinangan itu ditolak mentah-mentah. Gadis itu telah dijodohkan dengan pria lain, sebuah penolakan yang tidak hanya melukai harga diri, tetapi juga menohok ambisi sang adipati.
Kemarahan Pragola II segera bereskalasi menjadi kekerasan. Esoknya, tanpa ragu, ia mengirimkan 2.000 hingga 3.000 prajurit untuk merebut putri tersebut secara paksa, merampas kekayaan keluarga bangsawan, dan meratakan rumah mereka.
Kiai Demang Laksamana, Patih Jepara, tidak tinggal diam. Ia membantu bangsawan yang teraniaya dengan 400 prajurit tambahan, sementara para pembesar lain turut membawa 300 prajurit. Mereka memandang tindakan Pragola bukan sekadar soal asmara, melainkan upaya brutal untuk memperluas kekuasaan Pati ke wilayah sekitarnya, menancapkan pengaruhnya secara paksa.
Situasi ini segera mengundang perhatian Sultan Agung di Mataram, yang saat itu tengah sibuk menghadapi perlawanan Surabaya yang tak kalah sengit. Laporan-laporan menyebutkan kemarahan Mataram terhadap tindakan Pragola II sangatlah beralasan: adipati muda ini tidak hanya menginginkan seorang gadis, tetapi juga secara terang-terangan memamerkan kekuasaannya, menggunakan gajah dan kuda tunggangan sebagai simbol ambisi politiknya. Nyala api asmara telah memicu percikan konflik yang lebih besar.
Simpul Pernikahan dan Ujian Kesetiaan: Diplomasi Gajah dan Pedang
Konflik asmara yang memanas itu kemudian diubah oleh Mataram menjadi intrik politik yang jauh lebih besar. Jan Vos, kepala perdagangan Belanda, mencatat pada 28 Agustus 1624, bahwa Raja Mataram sedang mengawinkan putranya yang berusia lima tahun dengan putri dari raja kota Pati.
Putri Pragola II, kemungkinan besar juga masih sangat muda, menjadi bidak dalam permainan catur politik ini. Perkawinan ini mencerminkan strategi diplomasi Mataram yang cerdas: konflik yang awalnya bersifat pribadi dan berpotensi memicu perang, dijadikan instrumen perdamaian politik dan upaya untuk meredam ambisi Pragola.
Namun, upaya meredam Pragola II tidak sepenuhnya berhasil. Sang adipati tetap aktif dalam upaya memperkuat pengaruhnya sendiri. Ia tercatat ikut serta dalam penaklukan Madura dan tampil sebagai pemimpin laskar pesisir dari Juwana, bahkan menjadi panglima tertinggi ketika Sujanapura gugur.
Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa Pragola tidak hanya ambisius secara personal, tetapi juga memiliki visi politik yang lebih luas, menggabungkan kekuatan militer dengan aliansi keluarga untuk menancapkan pengaruhnya di wilayah pesisir utara Jawa. Ia masih menyimpan bara kemerdekaan di dalam hatinya, meskipun telah terikat oleh ikatan kekerabatan dengan Mataram.
Gejolak di Balik Dinding Keraton: Pemberontakan Besar Pati 1627
Eksperimen Sultan Agung untuk menenangkan Adipati Pragola II melalui perkawinan politik memang berhasil sementara, namun ketegangan di antara pusat dan daerah tak pernah sepenuhnya sirna. Pemberontakan besar di Pati pada 1627, menurut catatan lisan dan Babad Jawa, terkait erat dengan desersi pejabat penting Mataram, termasuk Tumenggung Endranata.
Ini menunjukkan bahwa di balik puncak kejayaan Mataram, istana keraton Karta tetap sarat dengan ketegangan internal dan intrik politik yang rentan memicu perpecahan.
Laporan Belanda tanggal 27 Oktober 1625 bahkan menggambarkan mimpi Sultan Agung yang penuh simbolisme, di mana ia melihat bayangan seorang suci berpakaian putih. Dalam mimpi itu, ia diberitahu bahwa empat pejabat penting harus disingkirkan.
Sultan kemudian memilih empat orang tersebut dan meminta pertimbangan penasihat lainnya. Kisah ini menegaskan bahwa istana Mataram pada periode itu penuh dengan kecemasan mengenai loyalitas pejabat tinggi, dan menunjukkan hubungan internal yang rapuh meskipun kekuasaan kerajaan tampak kokoh di mata dunia luar. Sebuah mimpi yang seolah menjadi firasat buruk akan pengkhianatan yang akan terjadi.
Peristiwa pemberontakan ini menjadi titik balik dalam hubungan Mataram dengan Pati. Adipati Pragola II, yang sebelumnya berhasil “dijinakkan” melalui perkawinan politik, kini menunjukkan ambisi dan kemandirian yang membuat pihak istana harus waspada sepenuhnya.
Narasi lisan dan dokumen Belanda menggambarkan dinamika ini sebagai kombinasi intrik keluarga, kepentingan politik, dan ketegangan antara pusat dan daerah taklukan. Perlawanan Pragola II mencapai puncaknya pada tahun 1627, ketika ia secara terbuka menantang otoritas Sultan Mataram, memicu konflik berdarah yang kemudian dikenal sebagai Kematian Pragola II dan Penumpasan Pemberontakan Pati. Sebuah drama politik yang melibatkan ribuan nyawa dan mengubah lanskap kekuasaan di tanah Jawa.
Palagan Pati: Darah, Pusaka, dan Akhir Sang Adipati
Tahun 1627 menjadi titik penting dalam sejarah Jawa Tengah, ketika Adipati Pragola II dari Pati memutuskan untuk menantang otoritas Sultan Mataram, membuka lembaran perang yang berdarah.
Peristiwa ini bukan sekadar konflik lokal, melainkan cerminan kompleksitas politik, sosial, dan spiritual Jawa pada awal abad ke-17, ketika legitimasi kekuasaan dipertaruhkan melalui persekutuan keluarga, sumpah setia, dan pertempuran terbuka yang mengguncang bumi.
Pragola II, dikenal sebagai penguasa yang sangat ambisius, berhasil menguasai sebagian besar daerah utara Jawa. Untuk memperkuat posisinya, ia mengangkat enam bupati, yaitu Mangunjaya, Kanduruwan, Raja Menggala, Toh Pati, Sawunggaling, dan Sindureja, sebagai pendukung setianya.
Semua bupati tersebut, kecuali Mangunjaya, bersumpah setia hingga mati. Pragola tidak ragu menyiapkan pasukan besar setiap hari, memperlihatkan keseriusan dan kesiapan militernya yang luar biasa. Ia siap menumpahkan darah demi kemerdekaan Pati.
Kabar tentang pemberontakan ini segera sampai ke istana Mataram. Pada Hari Raja, Sultan Agung, dengan sorot mata tajam, menanyakan ketidakhadiran Pragola II. Tumenggung Endranata, dengan berani, melaporkan bahwa seluruh wilayah utara, kecuali Demak, telah tunduk pada Pragola.
Kemarahan Sultan Agung memuncak. Ia memutuskan untuk memimpin sendiri pasukan menumpas pemberontakan, sebuah tanda bahwa ia menganggap ancaman ini sangat serius. Persiapan dilakukan secara detail: sayap kanan dipimpin Adipati Martalaya, kiri oleh Pangeran Sumedang, sementara orang Madura memimpin bagian tengah.
Di belakang, rakyat Kedu, Bagelen, dan Pamijen mengikuti, ditambah 2.000 pengawal kerabat Sultan. Setiap kapendak dan prajurit diikutsertakan. Dengan barisan menggetarkan bumi, pasukan Mataram bergerak menuju Pati melewati Taji dan Pajang.
Kedatangan pasukan Mataram memicu kepanikan di desa-desa sekitar Pati. Penduduk berhamburan mencari perlindungan di kota, sementara Pragola mempersiapkan “Hari Kaja” sebagai bentuk legitimasi dan perayaan kemenangan lokal.
Ia menyambut tamu dari daerah taklukannya dan memaparkan alasan perlawanan secara panjang lebar. Namun, di balik narasi heroik ini, tampak ada unsur propaganda: Babad Tanah Djawi sengaja menonjolkan keberanian Pragola, sekaligus mereduksi dampak kekerasan internal, seperti pengkhianatan Tumenggung Endranata yang akan datang.
Pada malam menjelang pertempuran, Sultan Agung mempersiapkan diri dengan penuh simbolisme. Ia mandi, mengenakan pakaian pusaka, dan jimat-jimat yang diyakini membawa keberanian dan perlindungan ilahi.
Pagi berikutnya, pasukan Mataram berbaris rapi, sementara Sultan Agung, dengan strategis, bersembunyi di balik pagar tanaman jarak untuk mengamati musuh. Pertempuran dimulai dengan serangan Pragola ke sayap kanan, di bawah pimpinan Martalaya dan Endranata, yang awalnya menimbulkan kerugian besar bagi Mataram.
Raja Niti, Mangun Oneng, dan Kartajaya gugur, dan Tumenggung Endranata melarikan diri, meninggalkan kesan pengkhianatan yang akan menjadi isu moral yang menggerogoti hati pasukan.
Meski awalnya Mataram mengalami kerugian, getaran gong pusaka Kiai Bicak tiba-tiba menggelegar, dibunyikan untuk membangkitkan semangat pasukan. Suara gong yang nyaring seakan menjadi doa kolektif, menggerakkan prajurit yang sempat mundur untuk maju kembali, mengoyak rasa takut.
Strategi dan simbolisme ini menunjukkan bagaimana spiritualitas dan kepercayaan terhadap pusaka memainkan peran krusial dalam memobilisasi pasukan. Pragola II, walau masih optimis, mulai kehilangan kendali atas jalannya pertempuran. Sultan Agung lantas mengarahkan pengawal dan keluarganya untuk menyerang, termasuk Pangeran Purbaya yang memimpin pasukan keluarga Mataram.
Pertempuran mencapai klimaks dan berakhir tragis bagi Pragola II. Banyak pemimpin Pati tewas, termasuk Adipati Kanduruwan, Prawirataruna, Toh Pati, Tumenggung Sindureja, dan Raja Menggala, sementara Tumenggung Sawunggaling ditangkap hidup-hidup.
Pragola II sendiri jatuh akibat tusukan Naya Derma dengan tombak keramat Kiai Baru, meski hanya luka ringan pada awalnya. Namun, tusukan itu menandai runtuhnya struktur kekuasaan Pati dan kemenangan mutlak Mataram.
Pasca-pertempuran, Sultan Agung melakukan pembersihan sistematis. Pasukan Pragola yang tersisa dihancurkan, jenazah Pragola II ditegakkan sebagai simbol kemenangan, dan pusaka serta jimat-jimatnya diambil alih.
Istana Pati dirampok oleh Tumenggung Alap-Alap dan pasukannya; para wanita priayi dibawa ke Mataram dengan tandu, menjadi tawanan perang. Sultan Agung juga memerintahkan eksekusi Tumenggung Endranata, yang dianggap sebagai penghasut utama pemberontakan, dengan perutnya dipertontonkan di Pasar Gede sebagai peringatan mengerikan bagi siapa pun yang berniat menentang pusat kekuasaan Mataram.
Analisis historis menunjukkan bahwa pemberontakan Pragola II tidak hanya merupakan konflik politik semata. Legitimasi kekuasaan, dendam sejarah, dan simbolisme spiritual memainkan peran sentral.
Gong Kiai Bicak dan tombak Kiai Baru bukan sekadar senjata, melainkan media moral dan spiritual yang mengikat pasukan kepada kesetiaan dan keberanian. Cerita lisan Jawa dan Babad Tanah Djawi, walau literer dan dramatik, mengungkapkan bagaimana perlawanan lokal sering dimediasi oleh kepentingan simbolik dan moral, bukan hanya strategi militer.
Sumber Belanda, seperti laporan Coen dan Van Goens, memperkuat inti cerita Jawa: kemenangan mutlak Mataram atas Pati. Van Goens mencatat bahwa kota Pati yang dikelilingi tembok tebal mengalami kehancuran total, dan korban jiwa mencapai ratusan ribu. Namun, detail tentang pengepungan dan eksekusi massal berbeda dengan narasi Jawa, menunjukkan perbedaan fokus historiografis: Jawa menekankan heroisme dan drama moral, sedangkan Belanda menekankan statistik dan kerusakan material.
Melampaui Medan Perang: Kisah Rara Mendut dan Warisan yang Tak Padam
Di tengah kehancuran Pati yang mengerikan, di antara puing-puing istana dan ratapan para janda, muncul sebuah kisah yang humanis dan menyentuh jiwa: kisah Rara Mendut. Seorang wanita priayi dari Pati yang menjadi tawanan perang, keindahan dan keberaniannya menonjol di antara lautan kesedihan dan kehancuran. Ia bukan hanya sekadar korban, tetapi simbol ketahanan dan martabat yang abadi.
Jejak kisahnya diabadikan dalam puisi Pranacitra, sebuah karya sastra yang menegaskan bagaimana perang tidak hanya memengaruhi peta kekuasaan, tetapi juga kehidupan pribadi dan identitas sosial, meninggalkan bekas budaya yang tetap hidup melalui tradisi lisan dan karya sastra.
Rara Mendut tidak hanya menjadi saksi kekejaman perang, tetapi juga simbol bagaimana perempuan priayi, terpaksa masuk dalam pusaran kekerasan politik, namun tetap berjuang mempertahankan martabat dan keberadaan mereka di tengah kehancuran. Kisahnya menjadi elegi yang tak lekang oleh waktu, tentang keindahan yang bertahan di tengah kehancuran, dan spirit yang tak pernah padam.
Pemberontakan Pragola II menegaskan bahwa kekuasaan di Jawa abad ke-17 tidak dapat dipahami hanya melalui kekuatan militer semata. Faktor sosial-politik, ideologi kerajaan, spiritualitas, dan reputasi pribadi menjadi determinan utama.
Kematian Pragola II adalah simbol runtuhnya tantangan terhadap otoritas Mataram sekaligus pengingat bahwa perlawanan lokal selalu diwarnai oleh campuran ambisi, dendam, dan legitimasi spiritual. Dalam konteks historiografi, peristiwa ini mengilustrasikan bagaimana Babad dan laporan Belanda saling melengkapi: satu menekankan moral dan heroisme, yang lain mencatat fakta material dan korban perang.
Dengan demikian, penumpasan pemberontakan Pati pada 1627 bukan sekadar cerita tentang kekalahan seorang adipati, tetapi juga refleksi kompleksitas hubungan pusat-daerah, nilai simbolik pusaka, dan peran spiritualitas dalam membentuk keberanian serta kesetiaan.
Pragola II tetap hidup dalam narasi sejarah sebagai tokoh yang menantang Mataram, sementara pelajaran dari peristiwa ini terus mempengaruhi pemahaman kita tentang kekuasaan, legitimasi, dan konflik di Jawa pada masa awal kerajaan Mataram.
Referensi Primer dan Sekunder:
Serat Kandha: Naskah klasik Jawa yang mencatat silsilah dan narasi kerajaan.
Babad Tanah Jawi: Salah satu sumber historiografi utama Jawa yang merekam sejarah Jawa dari masa awal hingga Mataram Islam.
Laporan-laporan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie): Catatan-catatan dari Hendrick de Haen, Jan Vos, Coen, dan Van Goens yang memberikan perspektif eksternal tentang peristiwa di Jawa pada abad ke-17. Sumber-sumber ini umumnya tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) atau Arsip Nasional Belanda (Nationaal Archief).
Pranacitra: Puisi Jawa yang mengabadikan kisah Rara Mendut.
De Jonge, J.K.J. De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië, 1862-1888. (Berisi banyak laporan VOC yang dikutip).
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2008. (Analisis komprehensif sejarah Indonesia, sering merujuk pada sumber-sumber Jawa dan Belanda).
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Pembangunan di Jawa Masa Lampau dan Sekarang. Grafiti Press, 1990. (Membahas struktur kekuasaan dan legitimasi di Mataram).
Brandes, J.L.A. De Babad Tanah Djawi in Proza-Javaansch. Batavia: Landsdrukkerij, 1898-1900. (Edisi kritis Babad Tanah Jawi).
Pigeaud, Th. G. Th. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. Martinus Nijhoff, 1960. (Meskipun fokusnya abad ke-14, Pigeaud sering memberikan konteks linguistik dan kultural untuk sumber-sumber Jawa berikutnya).