Tiga Mahkota di Pulau Garam: Jejak Dinasti dan Perebutan Pengaruh di Madura Abad ke-17 dan ke-18

Tiga Mahkota di Pulau Garam: Jejak Dinasti dan Perebutan Pengaruh di Madura Abad ke-17 dan ke-18
Ilustrasi para tokoh Madura zaman Majapahit, VOC Belanda (ai/io)

Selami sejarah Madura yang terpecah menjadi tiga kadipaten otonom: Bangkalan (Cakraningrat), Pamekasan (Trunajaya), dan Sumenep (Arya Wiraraja).

INDONESIAONLINE – Pulau Madura, sebidang tanah yang terpisah oleh selat namun kaya akan sejarah, bukanlah sekadar narasi tunggal. Sejak abad ke-17, pulau garam ini bermetamorfosis menjadi panggung intrik politik, keberanian militer, dan adaptasi kultural yang memukau.

Bangkalan (Madura Barat): Jejak Cakraningrat, Ambisi yang Bergelora

Puncak keemasan Bangkalan tiba bersama Cakraningrat I (Raden Prasena, wafat 1648). Dialah tokoh pertama yang menyandang gelar “Cakraningrat” yang kini melegenda.

Loyalitasnya kepada Sultan Agung Mataram tak diragukan. Ia menjadi sekutu penting dalam ekspedisi militer Mataram, termasuk penaklukan Surabaya. Atas jasanya, Mataram menganugerahinya gelar dan kekuasaan yang lebih besar di Madura Barat (De Graaf, 1958). Di bawah kepemimpinannya, dasar-dasar kekuatan politik Bangkalan dibangun kokoh.

Generasi berikutnya, Cakraningrat II (Raden Undagan, wafat 1707), berlayar di tengah badai intrik antara Mataram dan VOC. Perannya dalam Pemberontakan Trunajaya (1674-1681), keponakannya sendiri dari Sampang, sangat ambigu.

Awalnya ia mendukung Trunajaya, namun demi kelangsungan kekuasaan, ia berbalik mendukung Mataram dan VOC. Pergerakan politiknya yang cair menunjukkan pragmatisme penguasa Madura dalam menghadapi kekuatan eksternal (Ricklefs, 2008). Di masanya pula, benih-benih hubungan dengan VOC mulai tumbuh, yang kelak akan mengubah wajah Madura.

Cakraningrat IV (Raden Abdul Kadir, wafat 1745) adalah nama yang paling bersinar dalam dinasti ini. Ambisinya melampaui batas. Ia tak hanya ingin membebaskan Madura dari Mataram, tetapi juga dari cengkeraman VOC.

Memanfaatkan kekacauan Geger Pecinan (1740-1743), ia memimpin pemberontakan besar, berhasil menguasai sebagian besar Jawa Timur, termasuk Surabaya, bahkan mengancam ibu kota Mataram.

Ia adalah salah satu penguasa lokal terkuat yang berani menantang hegemoni VOC di Jawa. Namun, gelombang pasang kekuasaannya surut, ia kalah, ditangkap VOC, dan dibuang ke Kaap de Goede Hoop, Afrika Selatan, di mana ia menghembuskan napas terakhirnya (Ricklefs, 2008).

Setelah Cakraningrat IV, Bangkalan secara de facto menjadi protektorat VOC, diperintah oleh penguasa-penguasa yang lebih tunduk.

Pamekasan (Madura Tengah): Pusat Perlawanan dan Adaptasi

Pamekasan, yang seringkali mencakup Sampang, adalah episentrum perlawanan terhadap kekuasaan yang lebih besar. Dari sinilah lahir tokoh paling ikonik dalam sejarah Madura: Pangeran Trunajaya (Raden Antamarta, wafat 1680). Meski bukan raja dalam pengertian dinasti Pamekasan yang berkelanjutan, ia adalah simbol keberanian Madura.

Trunajaya memimpin pemberontakan yang nyaris meruntuhkan Mataram. Ia berhasil merebut ibu kota Mataram, Plered, dan mengusir raja (Amangkurat I). Dengan berani ia mendeklarasikan diri sebagai pewaris sah Majapahit dan mendirikan keraton baru di Kediri (Ricklefs, 2008).

Namun, pemberontakannya akhirnya dipadamkan oleh aliansi Mataram-VOC. Trunajaya, setelah dikhianati sekutunya, dihukum mati oleh Amangkurat II. Meski tragis, namanya abadi sebagai simbol perlawanan Madura yang tak kenal menyerah.

Setelah penumpasan Trunajaya, Panembahan Rama (Raden Abdul Rachman) ditunjuk untuk menstabilkan Pamekasan di bawah pengaruh Mataram dan VOC. Selanjutnya, Pamekasan diperintah oleh adipati-adipati yang lebih tunduk, peran mereka lebih banyak dalam administrasi lokal, beradaptasi dengan realitas politik yang ada.

Sumenep (Madura Timur): Dinasti Arya Wiraraja yang Bertahan

Sumenep adalah kadipaten yang memiliki garis keturunan paling tua, langsung dari Arya Wiraraja, seorang tokoh penting dalam pendirian Majapahit. Garis keturunan ini terus bertahan, menenun kisah otonomi dan identitas lokal yang kuat.
Para penguasa Sumenep, kerap bergelar “Adipati” atau “Panembahan,” seringkali mampu menjaga jarak yang lebih otonom dari pengaruh Jawa dibandingkan Bangkalan dan Pamekasan.

Tokoh awal yang menonjol adalah Pangeran Jimat (Raden Wirosari, wafat 1626), yang gigih mempertahankan kemerdekaan Sumenep dari Mataram. Kemudian, Pangeran Cokronegoro I (Raden Anggadipa, wafat 1678), diangkat oleh Amangkurat I Mataram, memainkan peran hati-hati namun penting dalam menghadapi Pemberontakan Trunajaya. Kebijakan ini dilanjutkan oleh putranya, Cokronegoro II (Raden Yudonegoro, wafat 1705), yang terus mendukung Mataram dan VOC.

Salah satu penguasa wanita berpengaruh di Sumenep adalah Panembahan Notokusumo I (Raden Ayu Tirtanegara, wafat 1750). Di masanya yang krusial, ia berhasil menjaga stabilitas Sumenep.

Namun, puncaknya adalah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Asirudin, wafat 1811). Ia adalah Adipati Sumenep yang dianugerahi gelar Sultan oleh VOC pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ini adalah pengakuan atas otonomi Sumenep, meskipun dalam kerangka kolonial.

Sultan Abdurrahman dikenal sebagai penguasa yang sangat berpengaruh dan modern, bahkan melakukan reformasi administrasi dan militer yang signifikan pada zamannya.

Madura, dengan tiga mahkotanya—Bangkalan yang ambisius, Pamekasan yang heroik, dan Sumenep yang otonom—adalah cerminan dinamika politik di Nusantara pada masa pra-kolonial dan awal kolonial.

Kisah-kisah dinasti Cakraningrat, keberanian Trunajaya, dan kelanggengan Arya Wiraraja di Sumenep, bukan hanya catatan sejarah, melainkan pelajaran tentang adaptasi, perlawanan, dan upaya tak henti untuk mempertahankan identitas di tengah gelombang kekuasaan yang silih berganti. Madura bukan sekadar pulau, ia adalah saksi bisu dari pergolakan sejarah yang membentuk kepribadiannya hingga kini.


Referensi:

  • De Graaf, H. J. (1958). De Regering van Sultan Agung, Amangkurat I en Amangkurat II van Mataram. VKI 23. Martinus Nijhoff. (Relevant untuk Cakraningrat I dan hubungan awal Mataram-Madura).

  • Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Palgrave Macmillan. (Referensi utama untuk Pemberontakan Trunajaya, Cakraningrat II, dan Cakraningrat IV, serta konteks VOC di Jawa dan Madura).

  • Babad Tanah Jawi (berbagai versi dan interpretasi). Meskipun bukan sumber primer dalam arti modern, Babad Tanah Jawi memberikan kerangka naratif awal dan genealogi yang relevan bagi figur-figur seperti Panembahan Senopati dan hubungan Mataram-Madura.

  • Sumber-sumber Lokal dan Arsip VOC: Data mengenai Adipati Sumenep dan Adipati Pamekasan selanjutnya dapat diperkaya melalui penelitian arsip VOC (seperti Daghregister) dan catatan-catatan lokal yang dihimpun oleh sejarawan Madura.