Haji Adil: Gus Irfan Dorong Antrean 26,4 Tahun Merata di Seluruh Provinsi

Haji Adil: Gus Irfan Dorong Antrean 26,4 Tahun Merata di Seluruh Provinsi
Ilustrasi haji, di mana Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhajum) gencar mendorong kebijakan fundamental: penyeragaman masa tunggu haji menjadi 26,4 tahun secara merata di seluruh provinsi di Indonesia (ai/io)

Gus Irfan dari Kementerian Haji dan Umrah mengusulkan kebijakan penyeragaman masa tunggu haji menjadi 26,4 tahun nasional. Inisiatif ini bertujuan menciptakan keadilan dan pemerataan, serta memprioritaskan lansia di tengah disparitas antrean yang mencapai 40 tahun.

INDONESIAONLINE – Impian menunaikan ibadah haji seringkali dihadapkan pada realitas antrean panjang yang berbeda-beda di setiap daerah. Namun, harapan baru kini muncul dari Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhajum) yang dipimpin oleh Mochamad Irfan Yusuf, atau akrab disapa Gus Irfan.

Kemenhajum tengah gencar mendorong kebijakan fundamental: penyeragaman masa tunggu haji menjadi 26,4 tahun secara merata di seluruh provinsi di Indonesia. Inisiatif ini diklaim sebagai langkah konkret untuk menciptakan keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji, sesuai amanat undang-undang.

Mengapa Pemerataan Masa Tunggu?

Gus Irfan menegaskan bahwa urgensi kebijakan ini lahir dari ketimpangan sistem pembagian kuota haji yang telah berlangsung lama. “Selama ini pembagian kuota tidak sesuai dengan undang-undang dan kami upaya supaya sesuai. Untuk pembagian kuota per provinsi sesuai antrean, dengan begitu akan sama dari Aceh sampai Papua 26,4 tahun. Jadi ada keadilan di sana,” terang Gus Irfan, Minggu (5/10/2025).

Saat ini, disparitas masa tunggu antarprovinsi memang sangat mencolok. Data menunjukkan bahwa di beberapa wilayah, calon jemaah harus menunggu puluhan tahun lebih lama dibandingkan daerah lain.

“Terpanjang tahun ini Sulawesi Selatan 40 tahun. Kalau yang untuk Jawa Timur masih sekitar 30 tahun,” ungkap Gus Irfan, menyoroti jurang perbedaan yang jauh.

Sebagai perbandingan, berdasarkan data historis dari Kementerian Agama (Kemenag) dan Pusat Informasi Haji pada tahun-tahun sebelumnya, masa tunggu haji di Indonesia secara nasional rata-rata memang berkisar antara 20 hingga 40 tahun, bahkan ada yang mencapai 47 tahun di Bantaeng, Sulawesi Selatan (data per 2023).

Ketimpangan inilah yang ingin diakhiri oleh kebijakan baru ini. Dengan skema 26,4 tahun yang seragam, setiap calon jemaah haji, dari Sabang sampai Merauke, akan merasakan kesempatan yang setara.

Prioritas Lansia dan Manfaat Kebijakan

Selain pemerataan masa tunggu, kebijakan ini juga akan memberikan perhatian khusus pada calon jemaah lanjut usia (lansia). Gus Irfan menyebutkan bahwa kelompok usia lansia kini mencapai sekitar tujuh persen dari total pendaftar haji nasional. Mereka akan menjadi prioritas utama dalam skema baru ini.

Prioritas lansia sudah menjadi amanat yang diperkuat pasca-haji 2023 yang mengusung tagline “Haji Ramah Lansia,” di mana lebih dari 60.000 jemaah lansia (usia di atas 65 tahun) diberangkatkan. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi risiko penundaan keberangkatan bagi para lansia yang memiliki keterbatasan waktu dan kondisi fisik.

Kebijakan penyeragaman masa tunggu ini diprediksi akan membawa manfaat yang luas, terutama bagi masyarakat yang selama ini menghadapi ketidakpastian waktu keberangkatan. Dengan kepastian waktu, calon jemaah dapat merencanakan ibadah mereka dengan lebih baik, baik dari segi persiapan finansial maupun mental.

Proses Legislasi dan Opsi Alternatif

Usulan kebijakan pemerataan masa tunggu ini telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas lebih lanjut. “Kami sudah ajukan ke DPR dan masih menunggu pembahasan lebih lanjut. Harapannya bisa segera disetujui agar masyarakat merasakan manfaatnya,” ujar Gus Irfan.

Persetujuan DPR menjadi kunci implementasi kebijakan ini dalam sistem pendaftaran dan penentuan kuota haji nasional.

Gus Irfan juga menjelaskan bahwa sebenarnya ada alternatif lain untuk mengurangi antrean, yaitu dengan metode campuran – sebagian berdasarkan antrean dan sebagian disesuaikan dengan jumlah penduduk. Namun, ia menilai pendekatan tersebut belum mencerminkan asas keadilan sepenuhnya.

“Kalau pakai metode campuran, hasilnya belum tentu adil. Karena itu, kami fokus pada pemerataan masa tunggu agar semua daerah punya kesempatan yang sama,” jelasnya, mempertegas komitmen terhadap asas keadilan.

Jika disetujui, kebijakan penyeragaman masa tunggu ini akan menjadi tonggak sejarah baru dalam penyelenggaraan haji di Indonesia, membawa angin segar keadilan bagi jutaan calon jemaah yang merindukan panggilan Baitullah. Inilah gambaran bagaimana keadilan masa tunggu haji akan merata di seluruh Indonesia (bn/dnv).