Gaza Membara: Saat Negosiasi Damai Dimulai, Serangan Israel Justru Meningkat Drastis

Gaza Membara: Saat Negosiasi Damai Dimulai, Serangan Israel Justru Meningkat Drastis
Israel terus menyerang Gaza di saat adanya negosiasi gencatan senjata. 2warga sipil Palestina dikabarkan tewas dalam serangan terbaru Israel (Al Jazeera)

Gempuran Israel kembali telan 24 nyawa di Gaza jelang negosiasi gencatan senjata di Mesir. Analisis mendalam ironi di balik diplomasi, krisis kemanusiaan memburuk, dan tuntutan Hamas.

INDONESIAONLINE – Sementara meja perundingan gencatan senjata di Sharm El Sheikh, Mesir, baru akan disiapkan, Jalur Gaza justru kembali menjadi saksi bisu kebrutalan agresi Israel. Pada Minggu (5/10), gempuran tanpa henti menghantam Rafah dan sejumlah titik di Gaza, menewaskan sedikitnya 24 warga Palestina.

Sebagian besar dari mereka adalah pengungsi yang mencari perlindungan di sekitar pusat distribusi bantuan, ironisnya, lokasi yang digempur Israel adalah “zona aman.”

Pembuka Luka Baru di Tengah Harapan Semu

Serangan udara dan artileri Israel, yang menurut jurnalis Al Jazeera, Hami Mahmoud, telah menghilangkan setiap “tempat aman” bagi warga sipil, terjadi hanya beberapa jam sebelum delegasi Hamas dan Israel dijadwalkan duduk bersama.

“Warga Palestina berharap bisa tidur nyenyak di malam hari, tapi itu tak terjadi,” ujar Mahmoud, mencerminkan keputus asaan kolektif di tengah eskalasi yang tak kunjung usai.

Data mengejutkan dari Oktober 2023 hingga saat ini menunjukkan skala kehancuran yang tak terbayangkan: lebih dari 66.000 warga Palestina tewas. Angka ini mencakup 1.015 bayi di bawah satu tahun1.670 tenaga medis254 jurnalis, dan 140 petugas pelindung sipil.

Setiap angka ini bukan sekadar statistik, melainkan kisah hidup yang direnggut, masa depan yang dipupus, dan trauma yang tak terobati.

Negosiasi Penuh Bayang-Bayang Pertumpahan Darah

Di sisi lain, harapan sempat muncul dari Sharm El Sheikh. Delegasi Hamas, dipimpin Khalil Al Hayya, dan perwakilan Israel, Ron Dermer, bertemu di bawah mediasi Amerika Serikat yang mengutus Steve Witkoff dan Jared Kushner. Agenda utama mencakup: mekanisme pelaksanaan gencatan senjata yang efektif, penarikan penuh pasukan pendudukan Israel dari Gaza, dan pertukaran tahanan dan sandera yang krusial bagi kedua belah pihak.

Hamas secara tegas menyatakan kesiapan untuk membebaskan semua sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Namun, mereka juga menegaskan, langkah ini mustahil dilakukan selama Israel terus melancarkan agresinya di Gaza. Sebuah posisi yang menegaskan bahwa pertumpahan darah harus berhenti sebelum kesepakatan bisa terwujud.

Kondisi di Gaza telah melampaui batas kritis. Rumah sakit-rumah sakit runtuh di bawah beban korban yang terus berjatuhan. Akses bantuan internasional terhambat parah oleh blokade ketat dan serangan tanpa henti, yang secara efektif mencekik pasokan vital.

Ribuan warga masih terperangkap di bawah reruntuhan, sementara puluhan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal, merana di tengah puing-puing.

Para pengamat internasional seragam dalam penilaian mereka: eskalasi serangan Israel saat negosiasi damai hendak dimulai adalah indikasi lemahnya komitmen terhadap proses perdamaian yang berkelanjutan. Ini bukan hanya manuver militer, melainkan juga pesan politik yang jelas tentang dominasi dan kurangnya keseriusan terhadap solusi diplomatik.

Dalam pusaran kekerasan dan diplomasi yang kontradiktif ini, dunia menanti dengan cemas hasil perundingan di Mesir. Apakah pertemuan ini akan menjadi tonggak sejarah menuju perdamaian, atau hanya sekadar episode lain dalam siklus penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Palestina?

Yang jelas, harapan tipis ini kini dipertaruhkan di tengah gempuran yang terus menghantam, di mana darah terus menetes di saat kata “damai” mencoba dirajut (ina/dnv).