Pameran “Jeda Sejenak dari Riuh” di Galeri Raos sajikan kritik sosial pedas dari 48 seniman Malang Raya. Soroti korupsi, keserakahan, dan kesenjangan ekonomi. Simak bagaimana seni menjadi suara hati nurani di tengah hiruk-pikuk kehidupan!
INDONESIAONLINE – Galeri Raos menjadi episentrum suara hati 48 seniman Malang Raya yang berani menelanjangi borok sosial lewat karya-karya lukisan. Dalam pameran bertajuk “Jeda Sejenak dari Riuh” yang berlangsung 11-18 Oktober 2025, puluhan kanvas itu bukan sekadar pajangan, melainkan cermin tajam yang memantulkan keresahan mendalam atas fenomena sosial, mulai dari korupsi hingga kesenjangan ekonomi yang kian menganga.
Pameran ini adalah sebuah deklarasi artistik, di mana setiap seniman diberi kebebasan penuh berekspresi tanpa batasan tema. Ini adalah ajakan untuk berhenti sejenak, merenung, dan melihat kembali nilai-nilai yang perlahan terkikis di tengah hiruk-pikuk modern.
Watoni Soeid, salah seorang pelukis, secara gamblang menampilkan kritik melalui karyanya. Lukisan manusia berkepala kerbau, misalnya, bukan sekadar imaji, melainkan simbol telanjang dari keserakahan yang merajalela—sebuah gambaran yang akrab di telinga publik Indonesia.
Data Transparency International (TI) pada 2023 menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34, jauh di bawah rata-rata global, mengindikasikan masalah korupsi yang tak kunjung usai.
“Sulitnya mencari sumber penghidupan di era sekarang dan gambaran kesucian yang sudah tercemar,” tutur Watoni, menjelaskan lebih lanjut makna di balik karyanya.
Tak hanya itu, patung tokoh pewayangan Gareng yang sakit stroke turut menjadi alegori gejolak batin dan observasi mendalam terhadap realitas yang carut-marut.
Dari Berita Negatif ke Inspirasi Kreatif
Ide kritik sosial ini, menurut Yunus Tupai, salah seorang penggagas pameran, berangkat dari “banjirnya” berita negatif yang setiap hari membanjiri ruang publik. “Mulai dari kasus korupsi yang tak berkesudahan, masifnya eksploitasi sumber daya alam yang mengancam keberlanjutan ekosistem, dan kesenjangan ekonomi yang makin tampak seperti jurang menganga,” ungkapnya saat ditemui di Galeri Raos.
Faktanya, laporan Oxfam (2020) pernah menyebut bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin, menunjukkan betapa parahnya ketimpangan yang terjadi.
Sementara itu, isu lingkungan juga terus menjadi sorotan, dengan laporan KLHK (2023) yang menyoroti deforestasi dan kerusakan ekosistem di berbagai wilayah.
Pameran ini juga menjadi kado reflektif bagi ulang tahun Kota Batu. “Ini juga berbarengan dengan ulang tahun Kota Batu. Jadi, kita mencoba untuk merenungkan apa yang belum terwujudkan. Kita kumpulkan yang muda-muda itu untuk berkarya menyambut ulang tahun Batu,” kata Yunus.
Kehadiran 48 seniman dalam satu atap membuktikan semangat kolektif yang kuat serta menegaskan pentingnya regenerasi seniman muda. Dukungan pemerintah daerah pun tak surut.
“Wakil wali kota dan dinas pariwisata juga datang dan berpesan agar ada stabilitas kegiatan pameran,” ujar Yunus, seraya menambahkan harapan agar Pondok Seni, yayasan yang menaungi Galeri Raos, terus mewadahi para seniman. Pemerintah bahkan mendorong pelibatan pelajar dari SD hingga SMA, demi pembinaan regenerasi seni sejak dini.
Pondok Seni, sebagai motor penggerak seni rupa di Kota Batu, tak hanya menyediakan ruang, tetapi juga menjadi inkubator bagi talenta-talenta baru.
Dalam kuratorialnya, Watonisays (Visual Artist Studio Pictolo) menggambarkan “Liburan Oktober: Jeda Sejenak” sebagai sebuah oase visual—titik pemberhentian yang tenang di tengah laju yang terburu-buru. Pameran ini tidak menawarkan solusi instan, tetapi mengajak setiap pengunjung untuk introspeksi, mempertanyakan nilai-nilai, dan menemukan kembali keseimbangan.
Setiap kanvas diharapkan menjadi cermin yang memantulkan kerinduan akan keadilan dan kedamaian di tengah riuh rendahnya kehidupan (pl/dnv).