Melintasi narasi heroik, artikel ini menelusuri kisah tersembunyi Hulptroepen—pasukan pribumi yang bersekutu dengan Belanda—dalam Perang Jawa (1825-1830). Sebuah lensa baru untuk memahami kompleksitas kolonialisme dan identitas bangsa.
INDONESIAONLINE – Sejarah, sebagaimana sungai yang mengalir, seringkali menyimpan arusnya yang tersembunyi di balik permukaan yang terlihat. Dalam catatan kolonialisme Belanda di bumi Nusantara, narasi perlawanan heroik para pahlawan seringkali menjadi sorotan utama.
Namun, di antara pekik perang dan semangat juang, terselip kisah-kisah kompleks yang tak kalah memilukan: kisah tentang Hulptroepen, pasukan pribumi yang, entah karena paksaan, siasat politik, atau iming-iming materi, berdiri di sisi penjajah.
Perang Jawa (1825-1830), sebuah epik perlawanan Pangeran Diponegoro, menjadi panggung utama bagi drama loyalitas yang terpecah ini, membuka tabir tentang siapa sebenarnya yang diuntungkan dan siapa yang menjadi korban sejati.
Pada awal pecahnya Perang Jawa, militer Belanda pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, yang terdesak menghadapi kegigihan pasukan Diponegoro, membutuhkan sokongan tenaga tempur. Dalam situasi genting, mata mereka tertuju pada para bangsawan dan pemuka masyarakat di berbagai wilayah Nusantara.
Di sinilah intrik politik kolonial beraksi: menciptakan aliansi, memecah belah, dan memanfaatkan setiap celah.

Jawa dan Madura: Di Persimpangan Loyalitas
Di jantung Mataram, empat keraton Surakarta dan Yogyakarta berada dalam posisi dilematis. Secara terang-terangan berpihak pada Diponegoro berarti menantang kekuatan Belanda secara langsung, sebuah pilihan yang berisiko tinggi. Maka, ketika permintaan pasukan tambahan datang, mereka tak punya pilihan selain memenuhinya.
Legiun Pakualam dari Yogyakarta dan Legiun Mangkunegaran dari Surakarta, dua entitas militer pribumi yang dibentuk Belanda, menjelma menjadi bagian dari Hulptroepen. Ironisnya, mereka dipersenjatai untuk memerangi saudara sebangsa sendiri.
Salah satu bukti tragis tercatat ketika pasukan Belanda, di bawah komando Kapten Roeps, menyergap pengikut Diponegoro yang dipimpin Djojo-Mongolo di perbukitan timur Yogyakarta. Dalam barisan penyerang, terpampang jelas keberadaan Legiun Mangkunegaran dan Barisan Sumenep.
Keberanian individu pun tercatat, seperti Sersan Jawa Soerio-Dento dari Barisan Sumenep yang tanpa senjata memanjat pohon raksasa demi misi militer.
AG van Poelje dalam Nederlanders in Indie mencatat aksi ini: “Tanpa bersenjata apa pun (kecuali kerisnya), Sersan Jawa pemberani Soerio-Dento memanjat pohon raksasa itu melalui akarnya, dan yang lain mengikuti teladannya dengan penuh semangat, tetapi banyak dari mereka mencoba dengan sia-sia dan jatuh menuruni lereng curam.”
Barisan Sumenep sendiri adalah bagian dari Korps Barisan Madura, yang juga menjadi Hulptroepen asal Madura.

Dari Utara ke Timur: Mozaik Pasukan Bantuan
Tak hanya Jawa dan Madura, tangan-tangan Belanda juga merangkul wilayah-wilayah lain di Nusantara. Dari Minahasa, Sulawesi Utara, Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat berhasil melobi para pemuka suku, menghasilkan Pasukan Tulungan.
Pasukan ini, di bawah kepemimpinan Mayor Herman Dotulong, berangkat menuju Jawa pada 29 Maret 1829, seperti yang dicatat Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Prestise Pasukan Tulungan begitu tinggi, bahkan Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie tanggal 6 September 1939 mengabarkan bahwa Diponegoro konon hanya ingin menyerah kepada Pasukan Tulungan—meskipun pada akhirnya Diponegoro ditangkap saat mengunjungi Jenderal de Kock di Magelang.
Gorontalo, yang saat itu bagian dari Keresidenan Manado, juga menyumbang Hulptroepen di bawah pimpinan Hassan Monwarfa, putra sulung raja Gorontalo. Hendrik Merkus de Kock dan August Wilhelm Philip Weitzel dalam De Oorlog op Java van 1835 tot 1830 memuji loyalitas mereka:
“Orang Gorontalo dan Manado sangat setia kepada Belanda, di antara bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia, mereka sama sekali bukan yang paling tidak beradab; mereka memiliki sifat terbuka dan umumnya dianggap memiliki semangat perang.”
Sulawesi Tenggara tak ketinggalan. Sultan Buton mengirimkan saudaranya, Raja Hadji Suleiman, berpangkat mayor, memimpin 700 pasukannya yang tiba di Semarang pada 1 Agustus 1828. Kock dan Weitzel menggambarkan mereka: “Orang Buton berkulit cokelat tua, bertubuh kecil, dan berpenampilan garang; konon mereka ambisius dan, ketika dihina, sangat haus darah. Mereka dikirim ke Bagelen, di mana, bersenjata tombak, kapak, atau senapan, mereka tampil gemilang sebagai infanteri ringan.”
Dari Maluku Utara, rivalitas abadi Tidore dan Ternate sejenak dikesampingkan demi memenuhi panggilan kolonial. Sultan Tidore mengirim 285 personel, mayoritas orang Alfuria (Alfur), yang tiba di Semarang pada 9 Agustus 1828.
Sementara itu, Sultan Ternate mengirim 502 orang di bawah pimpinan Koelabath, Ahkim Senghadji, dan Adipati Agung Ternate Sabtoe, tiba lebih awal pada 24 Juni 1828. Pasukan dari kedua kesultanan ini, juga banyak dihuni orang Alfur, dikenal sebagai prajurit yang tangguh dan berani dalam pertempuran jarak dekat.
Motivasi dan Imbalan: Harga Sebuah Loyalitas
Apa yang mendorong para prajurit Nusantara ini untuk bergabung dengan Hulptroepen dan bertempur di bawah bendera kolonial? Selain tekanan politik dan strategi devide et impera, iming-iming materi tentu menjadi daya tarik tersendiri.
Pemerintahan kolonial membayar para prajurit Hulptroepen ini. Menurut de Kock dan Weitzel, sistem penggajiannya bervariasi. Seorang mayor Buton yang memimpin pasukan besar dapat menerima 500 gulden, sedangkan mayor Ternate dan Tidore 300 gulden.
Para kapten yang memimpin sekitar 100 orang digaji 115 gulden. Letnan yang memimpin puluhan orang mendapat antara 20 hingga 40 gulden, sementara pembantu letnan hanya 8 gulden. Prajurit pembawa senapan dibayar 5-6 gulden, dan prajurit bersenjata tombak hanya 2 gulden.
Gaji ini, meskipun mungkin terkesan kecil di mata modern, bisa jadi merupakan jumlah yang signifikan bagi sebagian masyarakat pribumi pada masa itu, di tengah kesulitan ekonomi dan ketidakpastian hidup.
Cermin Reflektif: Pelajaran dari Jejak Hulptroepen
Kisah Hulptroepen adalah cermin reflektif yang memaksa kita melihat sejarah kolonialisme dari sudut pandang yang lebih kompleks. Mereka bukan sekadar “penghianat” atau “kolaborator” dalam definisi hitam-putih.
Mereka adalah manusia-manusia yang terjebak dalam pusaran kekuasaan, politik, dan pilihan hidup yang sulit. Ada yang terpaksa, ada yang melihatnya sebagai kesempatan, ada pula yang termotivasi oleh loyalitas lama atau keuntungan pribadi.
Pada akhirnya, Hulptroepen adalah bagian integral dari Perang Jawa, sebuah fragmen yang sering terlupakan dalam narasi besar perlawanan. Memahami mereka bukan berarti membenarkan tindakan kolonialisme, melainkan untuk memperkaya pemahaman kita tentang betapa rumitnya sejarah, tentang bagaimana identitas dan loyalitas bisa diuji dalam badai kekuasaan.
Kisah mereka adalah pengingat bahwa di balik setiap konflik besar, ada ribuan cerita individu yang membentuk mozaik sejarah yang tak pernah sederhana.
Referensi:
Poelje, A. G. van. (1938). Nederlanders in Indië. J.B. Wolters. (Untuk referensi modern, seringkali kutipan ini muncul dalam karya-karya yang mengkaji peran pribumi dalam militer kolonial).
Wenas, Jessy. (2007). Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni Indonesia. (Cek edisi terbaru untuk halaman spesifik).
Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie, 6 September 1939. (Akses ke arsip koran periode tersebut akan mengkonfirmasi detail ini).
Kock, H.M. de, & Weitzel, A.W.P. (1875). De Oorlog op Java van 1825 tot 1830. Martinus Nijhoff. (Cek volume dan halaman spesifik).













