Batu Siap Moratorium: Ultimatum Keras bagi 66 Perumahan Tanpa Izin

Batu Siap Moratorium: Ultimatum Keras bagi 66 Perumahan Tanpa Izin
Ilustrasi pembangunan perumahan di Kota Batu, Jatim yang semakin marak tanpa mempedulikan perizinan yang ada (io)

Pemkot Batu keluarkan ultimatum bagi 66 pengembang perumahan ilegal. Moratorium izin pembangunan siap diberlakukan tahun depan demi selamatkan tata ruang dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD).

INDONESIAONLINE – Wajah Kota Batu sebagai destinasi wisata dan hunian sejuk kini tengah berada di persimpangan jalan yang krusial. Di balik pesona kabut dan pegunungan yang menarik investor, tersimpan bom waktu tata ruang yang siap meledak jika tidak segera dijinakkan.

Pemerintah Kota (Pemkot) Batu kini menabuh genderang perang terhadap ketidaktertiban administrasi properti yang kian meresahkan.

Data terbaru yang dirilis Pemkot Batu bagaikan tamparan keras bagi sektor properti lokal: tercatat masih ada 66 kawasan perumahan yang berdiri tanpa kelengkapan perizinan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari carut-marutnya kepatuhan pengembang terhadap regulasi tata ruang.

Menanggapi situasi mendesak ini, Wakil Wali Kota Batu, Heli Suyanto, mengeluarkan ultimatum yang tidak main-main. Tenggat waktu telah ditetapkan hingga akhir tahun ini bagi para pengembang untuk membereskan pekerjaan rumah administratif mereka. Jika abai, sanksi tegas berupa moratorium—atau pembekuan izin pembangunan—siap diberlakukan mulai tahun depan.

Di Balik Layar: Modus “Jalan Pintas” Pengembang

Fenomena menjamurnya perumahan tak berizin di Kota Batu bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Investigasi mendalam menunjukkan adanya pola sistematis yang kerap dilakukan oleh oknum pengembang “nakal”. Heli Suyanto menyoroti bahwa akar permasalahan sering kali bermula dari proses akuisisi lahan yang tidak transparan.

Banyak pengembang yang tergiur dengan harga tanah miring dan melakukan transaksi pembelian langsung tanpa melalui verifikasi pemerintah daerah. Langkah “potong kompas” ini, meski menguntungkan secara finansial di awal, sering kali menabrak aturan peruntukan lahan yang fatal.

“Akibatnya, baru diketahui setelah ada kejadian. Mereka (pengembang) sering abai dan menyepelekan pengurusan administrasi yang legal,” ungkap Heli belum lama ini.

Dampak dari kelalaian ini sangat serius. Perumahan-perumahan baru tumbuh bak cendawan di musim hujan di lokasi yang haram untuk dijadikan hunian, seperti Lahan Sawah Dilindungi (LSD).

Alih fungsi lahan produktif menjadi beton perumahan tidak hanya mengancam ketahanan pangan lokal, tetapi juga merusak ekosistem resapan air yang vital bagi Kota Batu untuk mencegah banjir dan longsor.

Moratorium: Langkah Putus Asa atau Strategi Penyelamatan?

Rencana penerapan kebijakan moratorium perizinan pada tahun depan memicu perdebatan hangat. Bagi sebagian pelaku usaha, ini mungkin terdengar sebagai lonceng kematian bagi iklim investasi. Namun, dari kacamata tata kota, ini adalah langkah “pengereman darurat” yang mutlak diperlukan.

Moratorium ini dirancang bukan untuk mematikan ekonomi, melainkan sebagai instrumen pengendalian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah mulai melenceng. Pemkot Batu mengendus adanya pergeseran fungsi hunian yang signifikan.

Banyak unit yang izin awalnya diajukan sebagai rumah tinggal, namun dalam praktiknya berubah fungsi menjadi vila komersial atau objek investasi pasif yang tidak dihuni pemiliknya.

“Moratorium sebagai wujud pengendalian rencana tata ruang wilayah. Termasuk memastikan peruntukannya sebagai hunian dan tidak berubah fungsi menjadi objek investasi maupun vila,” tegas Heli.

Langkah ini diharapkan dapat mereset ulang peta pembangunan di Kota Batu, memastikan bahwa setiap jengkal tanah yang dibangun benar-benar sesuai dengan kapasitas lingkungan dan regulasi yang berlaku.

Solusi Dua Sisi: Cambuk dan Gula-Gula Regulasi

Pemerintah Kota Batu menyadari bahwa pendekatan represif semata tidak akan cukup. Oleh karena itu, strategi “stick and carrot” (hukuman dan hadiah) mulai diterapkan. Di satu sisi, ancaman moratorium menjadi “cambuk” bagi pengembang yang bandel. Di sisi lain, pemerintah sedang menyiapkan “gula-gula” berupa kemudahan birokrasi.

Saat ini, Pemkot Batu tengah merumuskan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi. Regulasi ini diproyeksikan menjadi angin segar bagi pengembang yang taat aturan.

“Maka Perda ini bisa menjadi acuan resmi. Mulai tahun depan tidak ada lagi kesulitan dalam perizinan selama memenuhi syarat,” tambah Heli.

Ini adalah sinyal jelas bahwa Batu tidak anti-investasi. Sebaliknya, kota ini ingin membangun ekosistem investasi yang sehat, legal, dan berkelanjutan. Pengembang yang mengikuti aturan main akan diberikan karpet merah, sementara yang melanggar akan tergilas oleh kebijakan moratorium.

Urgensi Penyerahan PSU: Melindungi Konsumen

Aspek lain yang tak kalah krusial dalam polemik ini adalah penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU). Heli Suyanto mendesak para pengembang untuk segera menyerahkan aset fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial) kepada pemerintah daerah.

Masalah PSU ini sering kali menjadi bom waktu bagi konsumen atau pembeli rumah. Ketika jalan perumahan rusak, drainase mampet, atau lampu jalan mati, warga sering kali mengadu ke Pemkot. Namun, jika PSU tersebut belum diserahterimakan secara resmi dari pengembang ke pemerintah, Pemkot Batu secara hukum tidak bisa menganggarkan dana APBD untuk perbaikannya.

“Tujuannya agar Pemkot Batu dapat ambil bagian untuk menyempurnakan fasilitas umum seperti pembangunan jalan, drainase, dan sebagainya,” jelas Heli.

Penyerahan PSU adalah bentuk jaminan keamanan dan kenyamanan jangka panjang bagi warga Kota Batu. Tanpa itu, penghuni perumahan akan terombang-ambing dalam ketidakjelasan status infrastruktur lingkungan mereka.

Sisa waktu hingga akhir tahun ini adalah masa-masa kritis. Bagi 66 pengembang yang masuk dalam daftar merah, pilihannya sederhana: legalkan atau hadapi pembekuan.

Kebijakan keras Pemkot Batu ini harus dilihat sebagai upaya penyelamatan masa depan kota. Pertumbuhan ekonomi melalui properti memang penting, namun tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan dan tata ruang.

Jika moratorium benar-benar diberlakukan tahun depan, tahun 2025 akan menjadi titik balik sejarah tata kota Batu—sebuah transisi dari pembangunan yang ugal-ugalan menuju pertumbuhan yang tertata dan beradab.

Masyarakat dan calon pembeli properti di Kota Batu juga diimbau untuk lebih cerdas. Jangan tergiur harga murah. Pastikan legalitas lahan dan perizinan sebelum membeli, atau Anda akan turut menjadi korban dari carut-marutnya benang kusut perizinan ini (pl/dnv).