Analisis mendalam kekalahan Manchester United dari Everton di Old Trafford. Ruben Amorim frustrasi taktiknya gagal menembus 10 pemain lawan usai insiden kartu merah Idrissa Gueye.
INDONESIAONLINE – Di bawah lampu sorot Stadion Old Trafford yang lembap pada Selasa (25/11/2025) dini hari, sebuah ironi sepak bola terjadi. Manchester United, raksasa yang tengah mencoba bangkit di bawah asuhan pelatih visioner Ruben Amorim, justru tersungkur di hadapan Everton—tim yang bermain dengan 10 orang selama lebih dari 75 menit.
Skor akhir 0-1 untuk kemenangan The Toffees bukan sekadar angka di papan skor. Ini adalah manifestasi dari kekacauan taktis, kegagalan mentalitas, dan anomali sejarah yang jarang terjadi di panggung Premier League.
Kronologi Kehancuran: Dari Perkelahian hingga Kebobolan
Drama dimulai sangat dini pada matchday ke-12 Liga Inggris musim 2025-2026 ini. Jarum jam baru menunjuk menit ke-13 ketika Old Trafford disuguhi pemandangan yang membingungkan. Idrissa Gueye, gelandang bertahan Everton, terlibat konfrontasi fisik bukan dengan pemain lawan, melainkan dengan rekan setimnya sendiri, Michael Keane.
Insiden bermula dari kesalahan operan sederhana. Frustrasi Gueye meledak; ia menilai Keane tidak bergerak membuka ruang. Adu mulut berubah menjadi kontak fisik ketika tangan Gueye menyambar wajah Keane.
Jordan Pickford, kiper sekaligus kapten Everton, berusaha melerai, namun wasit bertindak tegas sesuai regulasi FA mengenai Violent Conduct. Kartu merah melayang. Everton lumpuh, atau setidaknya begitulah teori di atas kertas.
Data historis mencatat, insiden rekan setim berkelahi hingga berujung kartu merah adalah fenomena langka. Kasus paling ikonik sebelumnya terjadi pada tahun 2008, saat Ricardo Fuller dari Stoke City menampar kaptennya sendiri, Andy Griffin, dalam laga melawan West Ham.
Tujuh belas tahun kemudian, sejarah berulang di “Theater of Dreams”, namun kali ini dengan plot twist yang menyakitkan bagi tuan rumah.
Hanya beberapa menit setelah insiden memalukan itu, tepatnya saat Manchester United seharusnya mulai mendominasi penguasaan bola, gawang Andre Onana justru bobol. Kiernan Dewsbury-Hall menjadi mimpi buruk lewat gol semata wayangnya. Sebuah serangan balik cepat mengeksploitasi transisi negatif United yang lamban, membungkam 73.000 pendukung tuan rumah.
Analisis Taktis: Kegagalan Sistem Amorim Melawan Blok Rendah
Kekalahan ini menyoroti lubang menganga dalam adaptasi taktik Ruben Amorim di Inggris. Pelatih asal Portugal yang dikenal dengan formasi 3-4-3 dinamisnya ini tampak kehabisan akal menghadapi low-block (pertahanan rendah) Everton yang dipaksa bermain pragmatis karena kekurangan jumlah pemain.
Dalam konferensi pers pasca-laga, Amorim tidak bersembunyi di balik alibi wasit atau nasib buruk. Ia secara terbuka mengakui “kebutaan” taktis timnya.
“Kami seharusnya frustrasi dengan cara kami memulai pertandingan dan cara kami tidak memahami cara bermain melawan 10 pemain,” ujar Amorim dengan nada getir.
Secara teknis, melawan 10 pemain seharusnya memberikan keleluasaan bagi wing-back United untuk melebarkan permainan (stretching the pitch), memaksa pertahanan Everton merenggang. Namun, data lapangan menunjukkan sebaliknya. Para pemain United justru sering menumpuk di area sentral, memudahkan Michael Keane dan James Tarkowski melakukan sapuan bola.
Statistik pertandingan (berdasarkan tren performa) menunjukkan Manchester United mendominasi penguasaan bola hingga angka di atas 70% pasca kartu merah. Namun, penguasaan ini bersifat steril. Amorim menyoroti ketidakmampuan timnya dalam mengontrol “transisi” dan memenangkan “bola kedua” (second balls).
“Setelah kartu merah itu, saya berharap kami akan menguasai bola dalam waktu lama dan menekan lawan. Namun, kami tidak mengontrol transisi. Kami memberi mereka ruang yang luas untuk merebut bola kedua, jadi pemahaman akan setiap situasi dalam permainan belum ada,” tambah mantan pelatih Sporting CP tersebut.
Kegagalan memenangkan bola kedua melawan tim yang kalah jumlah pemain adalah dosa besar dalam sepak bola modern. Ini menandakan kurangnya intensitas dan agresivitas, dua elemen yang justru menjadi identitas Everton di bawah asuhan David Moyes—yang kembali menunjukkan magisnya di Old Trafford sebagai lawan.
Dampak Psikologis dan Posisi Klasemen
Kekalahan ini memberikan pukulan ganda bagi Setan Merah. Secara psikologis, kalah dari tim yang bermain 10 orang karena “perang saudara” adalah bentuk penghinaan tersendiri. Ini menunjukkan bahwa United tidak cukup kejam (ruthless) untuk membunuh pertandingan saat keuntungan ada di pihak mereka.
Secara matematis, dampaknya pun signifikan. Everton, yang datang sebagai underdog, kini merangkak naik ke posisi 11 klasemen sementara dengan 18 poin. Angka ini menyamai perolehan poin Manchester United yang berada satu strip di atasnya hanya karena selisih gol.
Fakta bahwa Everton mampu menyamai poin United di pekan ke-12, dengan segala keterbatasan skuad dan drama internal yang terjadi di lapangan, menjadi alarm bahaya bagi manajemen di Old Trafford. Target empat besar tampak semakin menjauh jika konsistensi tidak segera ditemukan.
Data dan Fakta Relevan
Untuk memberikan konteks lebih dalam mengenai betapa buruknya hasil ini bagi Manchester United, kita perlu melihat beberapa data komparatif:
Efektivitas Serangan: Meskipun mencatatkan banyak peluang di babak kedua (seperti yang diklaim Amorim), rasio konversi gol (conversion rate) United musim ini berada di salah satu titik terendah dalam lima tahun terakhir. Kualitas pengambilan keputusan di sepertiga akhir lapangan menjadi sorotan utama.
Rekor Kandang: Old Trafford tidak lagi menjadi benteng angker. Kekalahan dari Everton ini menambah daftar panjang tim papan tengah yang berhasil mencuri poin penuh di Manchester, sebuah tren yang gagal dihentikan oleh Ten Hag sebelumnya dan kini berlanjut di era Amorim.
Disiplin Everton: Meski Gueye diusir, sisa 10 pemain Everton mencatatkan statistik defensif yang luar biasa. Blok, intersep, dan sapuan bola mereka meningkat 40% dibandingkan rata-rata pertandingan mereka musim ini, menunjukkan betapa solidnya organisasi pertahanan yang dibangun David Moyes dalam situasi krisis.
Ujian Berat Revolusi Amorim
Ruben Amorim datang ke Inggris dengan reputasi mentereng sebagai pelatih muda berbakat yang mampu mematahkan duopoli di Portugal. Namun, Premier League adalah monster yang berbeda. Pertandingan melawan Everton ini menjadi reality check yang brutal.
Masalah United bukan sekadar taktik, melainkan pemahaman mendasar tentang manajemen situasi pertandingan (game management). Ketika lawan melemah, insting membunuh harus muncul. Sebaliknya, United justru terlihat bingung, panik, dan akhirnya dihukum oleh efisiensi Everton.
“Kualitas dan pengambilan keputusan kami kurang baik. Everton adalah tim yang lebih baik,” aku Amorim.
Pengakuan jujur ini adalah langkah awal, namun waktu tidak berpihak padanya. Di Manchester United, kesabaran adalah komoditas yang paling langka. Jika tidak segera memperbaiki kemampuan timnya dalam menghadapi blok rendah dan transisi lawan, “Tragedi Old Trafford” semacam ini mungkin akan menjadi cerita berulang di musim 2025-2026.
Bagi Everton, kemenangan ini adalah kisah heroik tentang bertahan hidup. Bagi Manchester United dan Ruben Amorim, ini adalah peringatan keras bahwa nama besar dan keunggulan jumlah pemain tidak menjamin apa-apa di liga paling kompetitif di dunia.













