Ira Puspadewi dan Drama Keppres: Menanti Ujung Rehabilitasi Prabowo

Ira Puspadewi dan Drama Keppres: Menanti Ujung Rehabilitasi Prabowo
Ira Puspadewi Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) (ist/io)

Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi menanti kebebasan usai menerima rehabilitasi Presiden Prabowo. Birokrasi Keppres jadi penghalang, memicu diskusi relasi eksekutif dan yudikatif.

INDONESIAONLINE – Pintu gerbang Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih masih tertutup rapat bagi Ira Puspadewi hingga Kamis (27/11/2025) siang. Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) itu terjebak dalam limbo birokrasi, sebuah jeda yang menyiksa antara keputusan politik tingkat tinggi dan administrasi prosedural di lapangan.

Seharusnya, Ira bersama dua terdakwa lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, sudah menghirup udara bebas sejak Rabu (26/11/2025). Alasannya kuat: Presiden Prabowo Subianto telah memberikan rehabilitasi pada Selasa (25/11/2025).

Namun, di negara hukum yang birokratis, titah presiden sekalipun membutuhkan selembar kertas bernama Keputusan Presiden (Keppres) untuk membuka gembok sel tahanan.

Birokrasi “Kertas” yang Menahan Kebebasan

Ironi terjadi di lapangan. Di satu sisi, hak prerogatif Presiden telah diumumkan, namun di sisi lain, eksekusi fisik terhambat oleh keberadaan fisik dokumen.

Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengakui adanya keterlambatan estafet dokumen tersebut. Ketidakhadirannya di Istana saat pengumuman rehabilitasi membuat salinan Keppres belum sampai ke tangannya, yang secara prosedur merupakan pengusul rehabilitasi tersebut.

“Nanti setelah kami terima, baru kemudian kami antarkan ke KPK. Tapi sampai hari ini saya belum terima,” ujar Supratman di Jakarta Selatan, Rabu (26/11/2025) kemarin. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam kasus ini sekalipun, prosedur administratif tetap menjadi panglima.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan posisi lembaganya yang pasif namun taat prosedur. KPK tidak bisa melepaskan tahanan korupsi hanya berdasarkan berita pengumuman. “Dokumen Keppres itu akan menjadi dasar untuk pembebasan. Sehingga kami masih menunggu surat tersebut untuk kemudian bisa melaksanakan tindak lanjutnya,” tegas Budi.

Data dan Konteks: Rehabilitasi dalam Bingkai Konstitusi

Pemberian rehabilitasi kepada terdakwa korupsi seperti Ira Puspadewi merupakan langkah yang menarik dicermati dari perspektif ketatanegaraan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Presiden memang memiliki hak memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Kasus yang menjerat Ira sendiri bukanlah kasus kecil. Ia terseret dalam pusaran dugaan korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP tahun 2019-2022. Nilai akuisisi yang mencapai triliunan rupiah tersebut sempat menjadi sorotan tajam karena dugaan mark-up dan kerugian negara.

Fakta bahwa rehabilitasi diberikan di tengah proses hukum yang telah melalui uji praperadilan dan persidangan Tipikor, memunculkan diskursus tersendiri.

Meski demikian, Juru Bicara MA, Yanto, dan Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, kompak menepis kekhawatiran publik. Mereka menegaskan bahwa rehabilitasi ini adalah hak istimewa Presiden yang terpisah dari substansi penegakan hukum yang telah dilakukan penyidik.

“Bagi kami itu bukan merupakan preseden buruk, karena ini berbeda. Tugas kami secara pembuktian formal maupun materiil sudah selesai,” ujar Asep Guntur.

Pernyataan ini menyiratkan pesan: KPK telah menyelesaikan tugasnya membuktikan kesalahan, namun Presiden menggunakan haknya untuk memulihkan status hukum subjek tersebut.

Respons Ira dan Sinyal Masa Depan

Di balik jeruji, kabar rehabilitasi ini disambut dengan sujud syukur. Soesilo Ariwibowo, kuasa hukum Ira, menggambarkan kliennya terkejut dan tidak pernah membayangkan akan menerima rehabilitasi.

“Habis buka puasa katanya, dia lihat itu (pengumuman). Ya senanglah, Alhamdulillah,” ungkap Soesilo.

Pembebasan Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono kini hanya tinggal menunggu kurir dokumen dari Kementerian Hukum ke Kuningan. Namun, peristiwa ini meninggalkan catatan penting bagi publik: bahwa dalam pemberantasan korupsi, terdapat pintu darurat bernama hak prerogatif Presiden yang sah secara konstitusi, namun selalu memantik perdebatan tentang rasa keadilan.

Apakah ini akan menjadi tren baru dalam penyelesaian kasus korupsi di era pemerintahan Presiden Prabowo? Waktu yang akan menjawab, seiring dengan terbukanya gerbang Rutan KPK bagi Ira Puspadewi nanti.