Darah Makassar di Jantung Jawa: Tragedi Galesong, Dilema Naba, dan Ironi Lahirnya Pahlawan Mataram

Darah Makassar di Jantung Jawa: Tragedi Galesong, Dilema Naba, dan Ironi Lahirnya Pahlawan Mataram
Ilustrasi Karaeng Galesong dalam kancah sejarah Jawa (io)

Menelusuri kisah epik Karaeng Galesong dan Karaeng Naba dalam huru-hara Mataram abad ke-17. Sebuah narasi tentang pengasingan, pengkhianatan Trunajaya, dan bagaimana darah Makassar justru melahirkan Pangeran Diponegoro. Simak sejarah lengkapnya di sini.

INDONESIAOLINE – Langit di atas Plered, ibu kota Mataram, merah membara pada pertengahan 1677. Bukan oleh senja, melainkan oleh api yang melalap istana. Di tengah kekacauan itu, berakhir sudah era absolutisme Amangkurat I, raja yang ditakuti namun rapuh di hadapan intrik politik.

Namun, sejarah kehancuran Mataram ini tidak ditulis oleh orang Jawa sendirian. Di balik derap kuda dan dentum meriam, terdapat jejak para pelaut ulung yang terusir dari tanah kelahirannya: orang-orang Bugis-Makassar. Ini adalah kisah tentang bagaimana Karaeng Galesong dan Karaeng Naba—dua bangsawan Gowa dengan darah yang sama—memilih jalan takdir yang berlawanan di tanah rantau, mengubah peta politik Nusantara selamanya.

Diaspora Pasca-Bongaya: Harga Sebuah Kehormatan

Untuk memahami kemarahan Karaeng Galesong, kita harus mundur ke tahun 1667–1669. Jatuhnya Benteng Somba Opu dan penandatanganan Perjanjian Bongaya adalah titik nadir bagi Kerajaan Gowa. Sejarawan M.C. Ricklefs mencatat bahwa perjanjian ini memaksa Gowa melepaskan hegemoni maritimnya kepada VOC.

Bagi Karaeng Galesong (I Manindori), putra Sultan Hasanuddin, tunduk pada Belanda adalah kematian jiwa. Bersama ribuan pengikut setianya, ia memilih menjadi “bajak laut” dalam kacamata Belanda, atau “ksatria laut” dalam kacamata perlawanan.

Mereka membawa dendam maritim itu ke Jawa, berlabuh di Banten, sebelum akhirnya terseret arus politik Mataram yang tengah membusuk dari dalam.

Data kolonial mencatat kekuatan armada Galesong saat bergabung dengan Trunajaya sangat signifikan: sekitar 800 orang Makassar, 300 Bugis, dan 1.000 Melayu dengan 150 perahu. Ini bukan sekadar gerombolan, melainkan mesin perang terlatih yang menggabungkan taktik gerilya laut dengan ambisi agraris Trunajaya.

Dua Saudara, Dua Kiblat Kesetiaan

Puncak drama sejarah ini bukan pada pertempuran fisik, melainkan pada perang psikologis antara dua saudara. Ketika Amangkurat II—putra mahkota yang oportunis—naik takhta dengan bantuan VOC, ia menyadari bahwa kekuatan senjata saja tidak cukup untuk mematahkan aliansi Trunajaya-Galesong. Di sinilah Karaeng Naba (saudara/kerabat dekat Galesong) masuk ke dalam panggung sejarah.

Berbeda dengan Galesong yang memilih jalur konfrontasi total, Naba memilih realisme politik: bersekutu dengan Mataram dan VOC untuk mengamankan posisi klan Makassar di Jawa.

Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan momen pertemuan Naba dan Galesong di Kediri yang sarat emosi. Naba datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai saudara yang membawa tawaran pengampunan (amnesti) dari Amangkurat II.

“Darah kita terlalu mahal untuk tumpah di tanah orang demi ambisi Trunajaya,” mungkin demikian esensi pesan Naba.

Namun, Galesong terikat oleh siri’ (harga diri) dan sumpah setianya pada Trunajaya, yang bahkan telah menikahkannya dengan keponakannya. Penolakan Galesong adalah manifestasi dari tragisme pahlawan klasik: ia tahu ia mungkin kalah, namun mundur adalah pengkhianatan terhadap identitasnya sebagai pejuang anti-VOC.

Sumur Ngantang: Akhir Tragis Sang Panglima

Ironi terbesar dalam hidup Galesong adalah ia tidak mati di tangan Belanda atau Mataram, melainkan di tangan sekutunya sendiri. Trunajaya, yang mulai paranoid melihat diplomasi antara Naba dan Galesong, mencurigai adanya pengkhianatan.

H.J. de Graaf, sejarawan terkemuka tentang Jawa, menganalisis bahwa keretakan ini juga dipicu oleh perbedaan budaya. Pasukan Makassar yang egaliter dan maritim sulit menyatu sepenuhnya dengan struktur feodal Jawa pedalaman ala Trunajaya.

Akhirnya, di Ngantang, Malang, riwayat Galesong tamat. Legenda dan catatan tutur menyebut ia dibunuh dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur—sebuah penghinaan bagi seorang bangsawan tinggi.

Makam keramat di Desa Sumberagung, Ngantang, kini menjadi saksi bisu betapa kejamnya politik kekuasaan. Kematian Galesong mematahkan sayap angkatan laut Trunajaya, mempercepat kekalahannya pada akhir 1679.

Genealogi Emas: Bagaimana “Pengkhianat” Melahirkan Pahlawan

Di sinilah sejarah menunjukkan wajahnya yang paling paradoksal. Karaeng Naba, yang oleh sebagian pihak mungkin dianggap “antek Kompeni” karena memihak Amangkurat II, justru menjadi leluhur bagi para penentang kolonialisme terbesar di Jawa dua abad kemudian.

Berdasarkan penelusuran silsilah dari Trah Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta, integrasi Karaeng Naba (yang kemudian bergelar Kyai Ageng Sulaiman di Mlati, Sleman) ke dalam aristokrasi Jawa sangatlah mendalam.

Berikut adalah data silsilah yang merekonstruksi warisan darah Makassar tersebut:

  1. Generasi I: Karaeng Naba (Kyai Ageng Sulaiman) menikah dengan putri Jawa.

  2. Generasi II: Putrinya, Roro Widuri (Nyai Ageng Derpoyudo), menikah dengan Kyai Ageng Derpoyudo (cucu keponakan Sultan Agung).

  3. Generasi III: Dari pasangan ini lahir Ratu Ageng Tegalrejo.

  4. Generasi IV: Ratu Ageng Tegalrejo menjadi permaisuri Sultan Hamengkubuwono I dan nenek buyut sekaligus pengasuh utama Pangeran Diponegoro.

Tanpa keputusan pragmatis Karaeng Naba untuk berdamai dengan Mataram, garis keturunan ini mungkin terputus. Pangeran Diponegoro, yang mengobarkan Perang Jawa (1825–1830) dan membuat Belanda bangkrut, memiliki darah Makassar yang mengalir deras di tubuhnya.

Keteguhan, keberanian, dan semangat perlawanan Diponegoro diyakini banyak sejarawan merupakan warisan genetik dan spiritual dari leluhur Bugis-Makassarnya, yang dipadukan dengan kearifan Jawa.

Selain itu, cucu Naba yang lain, Raden Ronggo Prawirodirjo I (Bupati Madiun), menjadi panglima perang legendaris yang membangun fondasi Keraton Yogyakarta.

Makam Karaeng Galesong di Ngantang dan makam keturunan Karaeng Naba di Yogyakarta/Madiun adalah dua sisi mata uang sejarah Nusantara.

Galesong mewakili api perlawanan yang menyala terang namun padam dengan cepat dan tragis. Sementara Naba mewakili strategi bertahan hidup, asimilasi, dan perjuangan jangka panjang yang hasilnya baru dipetik ratusan tahun kemudian melalui keturunannya.

Kisah abad ke-17 ini mengajarkan kita bahwa dalam geopolitik Nusantara, tidak ada batas tegas antara “pahlawan” dan “pengkhianat”. Yang ada hanyalah pilihan-pilihan sulit di tengah badai perubahan zaman. Darah Makassar yang tumpah dan yang bertahan di Tanah Jawa telah membuktikan bahwa persilangan budaya ini adalah fondasi bagi identitas bangsa yang lebih besar.


Referensi 

  1. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi. (Validasi konteks Perjanjian Bongaya dan kemunduran Mataram).

  2. De Graaf, H.J. (1987). Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Grafitipers. (Detail militer pasukan Trunajaya dan peran VOC).

  3. Babad Tanah Jawi. (Sebagai sumber primer narasi tradisional Jawa mengenai pertemuan Naba-Galesong dan mimpi Amangkurat).

  4. Carey, Peter. (2014). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG. (Validasi silsilah Ratu Ageng Tegalrejo dan pengaruh darah Makassar pada Diponegoro).

  5. Silsilah Keluarga Besar Trah Prawirodirjan & Mangkunegaran. (Data genealogis keturunan Karaeng Naba/Kyai Ageng Sulaiman).

  6. Catatan VOC (Daghregister). Laporan Residen Pieter van Goens dan Laksamana Cornelis Speelman mengenai pergerakan pasukan Makassar di Jawa Timur.