Menyingkap Fakta Ribuan Kayu Berstiker Kemenhut di Pesisir Barat Lampung

Menyingkap Fakta Ribuan Kayu Berstiker Kemenhut di Pesisir Barat Lampung
Kayu-kayu gelondongan yang terdampar di Pantai Tanjung, Pesisir Barat, Lampung (Humas Polda Lampung)

Investigasi mendalam penemuan ribuan kayu gelondongan berstiker Kemenhut di Lampung. Benarkah illegal logging atau murni kecelakaan laut? simak fakta PT Minas Pagai Lumber dan sistem SVLK di sini.

INDONESIAONLINE – Pemandangan tak lazim menyelimuti garis Pantai Tanjung, Pesisir Barat, Lampung, pada awal Desember 2025. Ribuan batang kayu gelondongan (log) memenuhi bibir pantai, seolah dimuntahkan oleh laut.

Pemandangan ini seketika memicu spekulasi liar di tengah publik, mengingat pada saat yang hampir bersamaan, bencana banjir bandang yang membawa material kayu tengah meluluhlantakkan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Publik yang trauma dengan bencana ekologis langsung menuding: ini adalah bukti nyata illegal logging yang hanyut terbawa arus banjir lintas provinsi. Namun, sebuah stiker kuning kecil yang menempel pada batang-batang kayu tersebut menceritakan kisah yang berbeda—kisah tentang legalitas, badai laut, dan sistem pelacakan yang bekerja.

Jejak Barcode dan Stiker Kuning

Di tengah tumpukan kayu tersebut, terdapat identitas yang mencolok. Stiker kuning dengan kop “Kementerian Kehutanan Republik Indonesia” lengkap dengan barcode bertuliskan PT Minas Pagai Lumber (MPL).

Identitas ini menjadi kunci pembuka tabir misteri. Ade Mukadi, Direktur Iuran dan Penatausahaan Hasil Hutan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, menegaskan bahwa kayu-kayu tersebut bukan “sampah” bencana banjir, melainkan komoditas legal yang mengalami nasib nahas.

“Kayu yang ditemukan di Lampung bukan kayu hanyut akibat banjir di Sumatera. Kayu berasal dari kecelakaan kapal tugboat kayu dari PBPH (HPH) PT Minas Pagai Lumber di Mentawai,” ungkap Ade dalam keterangan resminya, Selasa (9/12/2025) kemarin.

Kronologi: Melawan Badai di Selat Mentawai

Investigasi mendalam menelusuri perjalanan kayu-kayu ini. Berdasarkan data manifest, muatan tersebut memiliki volume masif mencapai 4.800 meter kubik. Jika dikonversikan ke dalam satuan angkutan darat, volume ini setara dengan muatan sekitar 800 hingga 900 truk tronton.

Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Yuni Iswandari, memaparkan kronologi kejadian yang bermula pada 2 November 2025. Kapal tongkang yang ditarik tugboat tersebut berangkat dari wilayah konsesi di Sumatera Barat. Namun, Samudra Hindia sedang tidak bersahabat.

Pada 6 November 2025, mesin tugboat mati total di tengah hantaman badai. Situasi memburuk ketika tali pengikat kapal terlilit, menyebabkan tongkang kehilangan kendali (out of control) dan terombang-ambing selama berhari-hari sebelum akhirnya kandas dan memuntahkan muatannya di Pesisir Barat.

“Cuaca saat itu sangat ekstrem. Ada tali kapal yang terlilit, sehingga mengakibatkan tongkang terdampar,” jelas Yuni.

Membedah Legalitas PT Minas Pagai Lumber

Di tengah sensitivitas isu lingkungan, validitas izin perusahaan menjadi sorotan utama. Berdasarkan penelusuran data perizinan kehutanan, PT Minas Pagai Lumber (MPL) bukanlah pemain baru.

Perusahaan ini tercatat memegang izin pengusahaan hutan yang sah dan telah beroperasi puluhan tahun. Berikut data legalitas yang terverifikasi:

  1. Izin Awal: SK Menteri Kehutanan Nomor 550/1995 tertanggal 11 Oktober 1995.

  2. Perpanjangan Izin: SK Nomor 502/Menhut-II/2013 tertanggal 18 Juli 2013.

Keberadaan stiker barcode pada kayu adalah bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini dirancang sebagai mekanisme traceability (ketelusuran) untuk memastikan bahwa setiap potong kayu yang beredar berasal dari sumber yang legal dan berkelanjutan, sekaligus menutup celah bagi kayu hasil pembalakan liar masuk ke rantai pasok industri.

Anomali di Tengah Bencana

Kepanikan publik dapat dimaklumi. Penemuan kayu ini terjadi bertepatan dengan momen emosional ketika ribuan kubik kayu gelondongan menghancurkan pemukiman dalam banjir bandang di tiga provinsi Sumatera lainnya.

Dalam peristiwa banjir tersebut, kayu-kayu yang hanyut memang diduga kuat berasal dari illegal logging di hulu sungai yang gundul, yang kini sedang disidik ketat oleh Kemenhut dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Namun, kasus di Pesisir Barat adalah anomali. Ia adalah kecelakaan logistik industri, bukan residu kejahatan lingkungan.

“Mesin tugboat mati dan terkena badai sejak 6 November 2025 sehingga ada banyak kayu yang jatuh dari tugboat tersebut,” tegas Ade Mukadi, memisahkan fakta insiden maritim ini dengan bencana hidrometeorologi yang terjadi di daratan Sumatera.

Peristiwa terdamparnya ribuan kayu milik PT MPL di Lampung menjadi pelajaran penting tentang dua hal: dahsyatnya cuaca ekstrem di perairan Indonesia pada akhir tahun 2025, dan pentingnya sistem penandaan kayu (SVLK).

Tanpa adanya label dan barcode resmi Kementerian Kehutanan, tumpukan kayu tersebut mungkin akan selamanya dicap sebagai barang bukti kejahatan lingkungan, alih-alih korban dari keganasan alam di laut lepas.

Pemerintah kini berfokus pada evakuasi material kayu agar tidak mengganggu ekosistem pantai, sembari memastikan proses hukum atas kecelakaan laut ini berjalan sesuai prosedur.