Mendagri tetapkan deadline 24 Desember untuk upah minimum 2026. Analisis mendalam pertarungan nilai indeks alfa 0,5-0,9 dan dampaknya bagi buruh serta pengusaha di tengah dinamika ekonomi nasional.
INDONESIAONLINE – Jam pasir bagi para gubernur di 38 provinsi Indonesia hampir habis. Hanya tersisa hitungan jari sebelum palu diketuk untuk menentukan nasib jutaan pekerja di tahun 2026. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian telah menarik garis merah yang tegas: seluruh penetapan upah minimum, mulai dari tingkat provinsi hingga sektoral, harus rampung paling lambat 24 Desember 2025.
Instruksi ini bukan sekadar formalitas birokrasi tahunan. Di balik tenggat waktu yang sempit, terdapat pertarungan sengit di ruang-ruang sidang Dewan Pengupahan mengenai variabel sensitif bernama “Indeks Alfa“.
Dalam Sosialisasi Kebijakan Penetapan Upah Minimum Tahun 2026 yang digelar secara daring dari Kantor Pusat Kemendagri, Rabu (17/12/2025), Tito menegaskan posisi gubernur sebagai “titik sentral”. Namun, yang membuat penetapan upah kali ini berbeda dan berpotensi memanas adalah rentang indeks tertentu yang menjadi variabel pengali pertumbuhan ekonomi.
Menelisik “Perang” Indeks Alfa 0,5 hingga 0,9
Jika pada tahun-tahun sebelumnya—pasca berlakunya UU Cipta Kerja—formula upah sering kali terkunci pada angka alfa yang rendah (maksimal 0,3 atau 0,5 dalam kondisi tertentu), tahun ini dinamikanya berubah drastis. Tito mengungkapkan bahwa Dewan Pengupahan memiliki kewenangan menentukan nilai indeks atau alfa pada rentang 0,5 hingga 0,9.
“Nilai alfa ditentukan oleh Dewan Pengupahan. Jadi, nilai alfa nanti yang 0,5 sampai 0,9,” ujar Tito.
Pergeseran angka ini memiliki implikasi ekonomi yang masif. Secara teknis, formula upah minimum umumnya menghitung inflasi ditambah (pertumbuhan ekonomi dikali alfa). Nilai alfa mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mari kita bedah menggunakan data makroekonomi terkini. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga triwulan III 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,05% dengan tingkat inflasi tahunan (y-o-y) yang terkendali di angka 2,6%.
Skenario Alfa 0,5 (Batas Bawah): Jika Dewan Pengupahan menggunakan alfa 0,5, maka komponen pertumbuhan ekonomi yang dihitung hanya 2,52%. Ditambah inflasi 2,6%, kenaikan upah mungkin hanya berkisar di angka 5,1%. Ini adalah angka yang cenderung disukai oleh asosiasi pengusaha demi menjaga cashflow di tengah ketidakpastian global.
Skenario Alfa 0,9 (Batas Atas): Sebaliknya, jika serikat pekerja berhasil mendesak penggunaan alfa 0,9, maka komponen pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 4,54%. Ditambah inflasi, kenaikan upah bisa menembus angka 7,1% atau lebih. Bagi pekerja, selisih 2% ini sangat krusial untuk mengejar daya beli yang tergerus harga bahan pokok.
Rentang yang lebar antara 0,5 hingga 0,9 inilah yang menjadikan tujuh hari terakhir menjelang 24 Desember sebagai periode paling krusial. Negosiasi tripartit diprediksi akan berjalan alot, di mana gubernur harus berdiri di tengah-tengah dua kepentingan yang saling tarik-menarik.
Gubernur di Ujung Tanduk: Antara UMP, UMK, dan Sektoral
Tanggung jawab gubernur tahun ini lebih berat karena cakupan penetapan yang komprehensif. Tito menegaskan bahwa tenggat 24 Desember tidak hanya berlaku untuk Upah Minimum Provinsi (UMP), tetapi juga menyapu bersih hingga Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), serta Upah Minimum Sektoral (UMSP/UMSK).
“Gubernur dapat menetapkan upah minimum untuk kabupaten/kota dan upah minimum sektoral kabupaten (atau kota), tapi ‘dapat’,” jelas Tito.
Kata “dapat” di sini merupakan bahasa hukum yang memberikan diskresi, namun dalam praktiknya, tekanan politik dari serikat pekerja di daerah industri seperti Karawang, Bekasi, dan Sidoarjo akan memaksa gubernur untuk menggunakan kewenangan tersebut.
Pemberlakuan kembali atau penguatan Upah Minimum Sektoral (UMS) menjadi angin segar bagi pekerja di sektor-sektor unggulan seperti pertambangan, otomotif, dan energi, yang selama beberapa tahun terakhir merasa upahnya disamaratakan dengan sektor yang labanya lebih kecil. Namun, ini juga menjadi “lampu kuning” bagi investor di sektor padat karya yang margin keuntungannya tipis.
Urgensi Stabilitas Keamanan dan Ekonomi
Mendagri Tito, dengan latar belakang kepolisiannya yang kental, sangat memahami bahwa isu upah bukan sekadar isu ekonomi, melainkan isu keamanan nasional (Kamtibmas). Kegagalan komunikasi dalam penetapan upah berpotensi memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran di akhir tahun, momen di mana masyarakat seharusnya menikmati liburan Natal dan Tahun Baru.
Oleh karena itu, instruksi Tito kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) untuk berkoordinasi intensif bukan sekadar imbauan normatif. “Kita akan memantau progres dari 38 provinsi ini. Mana yang selesai dengan baik, mana yang kira-kira belum,” tegasnya.
Kemendagri menempatkan prinsip keseimbangan sebagai pilar utama. Melindungi kesejahteraan pekerja adalah mandat konstitusi, namun menjaga keberlanjutan dunia usaha adalah prasyarat agar lapangan kerja tidak hilang. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa meskipun angka pengangguran turun, sektor informal masih mendominasi serapan tenaga kerja.
Kenaikan upah yang terlalu drastis tanpa diimbangi produktivitas dikhawatirkan memicu layoff (PHK) di sektor formal atau menahan ekspansi bisnis di 2026.
Kilas Balik dan Harapan 2026
Jika melihat tren lima tahun ke belakang, kenaikan upah minimum di Indonesia mengalami fluktuasi yang tajam. Pada tahun 2021 dan 2022, kenaikan sangat minim akibat dampak pandemi Covid-19. Baru pada 2023 dan 2024, kenaikan mulai terasa meski masih di bawah ekspektasi buruh yang kerap menuntut kenaikan 10-15%.
Penetapan Upah Minimum 2026 ini menjadi ujian bagi pemerintahan daerah untuk membuktikan kemampuannya menerjemahkan data statistik menjadi kebijakan yang humanis. Batas waktu 24 Desember adalah garis finis administratif, namun dampak dari keputusan tersebut akan dirasakan sepanjang 12 bulan di tahun 2026.
Apakah Gubernur berani mengambil risiko dengan menetapkan alfa mendekati 0,9 demi popularitas dan kesejahteraan buruh? Atau mereka akan bermain aman di angka 0,5 demi menjaga iklim investasi daerah?
Satu hal yang pasti, tujuh hari ke depan, ruang-ruang rapat Dewan Pengupahan di seluruh Indonesia tidak akan sepi. Kalkulator akan terus berhitung, dan argumen akan terus beradu, sebelum palu gubernur menentukan angka final yang akan masuk ke rekening para pekerja mulai Januari mendatang.
Mendagri telah membunyikan peluit peringatan. Kini, bola panas ada di tangan para gubernur. Akurasi data, kebijaksanaan bernegosiasi, dan kepekaan sosial menjadi kunci agar 24 Desember 2025 tidak menjadi hari yang kelabu bagi salah satu pihak, melainkan menjadi titik temu yang—meminjam istilah Tito—kondusif, tertib, dan tidak menimbulkan kegaduhan.












