Bupati Malang HM Sanusi pastikan hibah tempat ibadah berlanjut di 2026. Analisis strategi ‘politik anggaran’ demi rawat kerukunan, data realisasi Rp 5,3 miliar, dan tantangan di akar rumput.
INDONESIAONLINE – Di tengah dinamika sosial yang kerap menguji tenun kebangsaan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang memilih jalur diplomasi anggaran untuk merawat kerukunan. Bukan sekadar retorika di atas podium, komitmen ini diwujudkan melalui alokasi dana nyata dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bupati Malang, HM. Sanusi, secara tegas menyatakan bahwa program hibah untuk tempat ibadah tidak akan berhenti, melainkan terus berlanjut hingga tahun anggaran 2026.
Pernyataan strategis ini disampaikan Sanusi usai menghadiri silaturahmi tokoh lintas agama di Ruang Paripurna DPRD Kabupaten Malang, Rabu (17/12/2025). Di hadapan para pemuka agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Sanusi menegaskan bahwa negara harus hadir di setiap ruang spiritual warganya, tanpa memandang mayoritas atau minoritas.
“Semua (tempat ibadah) mendapatkan hibah, dapat Rp 15 juta per tempat ibadah,” ujar Sanusi.
Angka ini mungkin terlihat sederhana bagi korporasi besar, namun bagi pengurus musala kecil di pelosok desa atau pura di lereng gunung, dana ini adalah nafas segar untuk renovasi fisik maupun operasional kegiatan keumatan.
Bedah Data: Politik Anggaran yang Inklusif
Kebijakan hibah ini bukanlah program “kaget”, melainkan sebuah desain kebijakan yang berkelanjutan (sustainable policy). Untuk memahami signifikansi komitmen 2026, kita perlu membedah data realisasi tahun-tahun sebelumnya.
Merujuk data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Malang, pada tahun anggaran 2024, Pemkab Malang telah menggelontorkan dana hibah tempat ibadah sebesar total Rp 5,32 miliar. Dengan asumsi besaran Rp 15 juta per titik, artinya dana tersebut telah terdistribusi ke sekitar 355 tempat ibadah yang tersebar di 33 kecamatan.
Distribusi ini mencakup spektrum yang luas: Masjid dan Musala bagi umat Islam, Gereja Kristen dan Katolik, Pura bagi umat Hindu yang banyak tersebar di wilayah seperti Wagir dan Ngantang, Vihara bagi umat Buddha, hingga Klenteng. Inklusivitas ini menjadi kunci. Sanusi tidak menggunakan pendekatan proporsionalitas yang kaku, melainkan pendekatan kebutuhan dan pemerataan.
“Kami lanjut, tergantung kemampuan APBD dan Bakesbangpol,” tambah Sanusi, memberikan catatan kaki yang realistis mengenai ketergantungan program ini pada kesehatan fiskal daerah.
Ini mengindikasikan bahwa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) harus bekerja keras memastikan pos belanja hibah sosial ini tetap aman di tengah fluktuasi pendapatan daerah pada 2026 mendatang.
Diplomasi FKUB dan “Harmony Award”
Langkah Sanusi mempertahankan hibah ini tidak lepas dari prestasi makro yang diraih Kabupaten Malang. Pada tahun 2025, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia menyematkan penghargaan bergengsi Harmony Award kepada Kabupaten Malang. Penghargaan ini bukan hadiah cuma-cuma, melainkan pengakuan atas stabilitas indeks kerukunan umat beragama di wilayah terluas kedua di Jawa Timur ini.
Pertemuan di Gedung DPRD hari itu, yang diinisiasi oleh FKUB, menjadi bukti hidup bagaimana komunikasi menjadi jembatan. Sanusi menyadari, uang hibah hanyalah stimulus fisik. Namun, software atau perangkat lunak kerukunan ada pada dialog antar tokoh.
“Silaturahmi ini agendanya FKUB. Tujuannya untuk menjalin silaturahmi antar umat beragama sekaligus untuk merumuskan lebih lanjut terkait kebersamaan dan kerukunan. Sehingga bisa ditingkatkan untuk mengisi pembangunan,” jelas politisi PDI Perjuangan tersebut.
Dalam perspektif sosiologi konflik, peran FKUB seringkali vital namun tak terlihat. Mereka bekerja dalam senyap meredam percikan api sebelum menjadi kebakaran besar. Dukungan anggaran operasional dan hibah tempat ibadah dari Pemkab Malang dapat dilihat sebagai bentuk “investasi keamanan sosial”.
Ketika tokoh agama merasa diperhatikan oleh pemerintah, mereka cenderung menjadi mitra efektif dalam mendinginkan suasana (cooling system) di akar rumput, terutama menjelang tahun-tahun politik atau saat isu SARA dihembuskan di media sosial.
Menuntaskan Residu Konflik Pendirian Rumah Ibadah
Salah satu isu paling sensitif dalam kerukunan beragama di Indonesia adalah pendirian rumah ibadah. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 seringkali menjadi dalil yang diperdebatkan di lapangan.
Sanusi tidak menutup mata terhadap sejarah konflik ini di wilayahnya. Ia mengakui, riak-riak penolakan pernah terjadi. “Secara langsung tidak ada perselisihan, tapi pada awal ketika pendirian tempat ibadah pernah ada pro-kontra,” ungkapnya jujur.
Fenomena “pro-kontra” ini biasanya melibatkan penolakan warga sekitar atau masalah perizinan administratif. Namun, Sanusi mengklaim bahwa dengan pendekatan persuasif dan mediasi yang melibatkan FKUB serta aparat kewilayahan, residu masalah tersebut kini telah tuntas. “Akhirnya saat ini sudah saling mendukung,” klaimnya.
Hibah Rp 15 juta per tempat ibadah pada 2026 nanti juga bisa dimaknai sebagai alat legitimasi. Ketika sebuah tempat ibadah—baik gereja, pura, atau masjid—mendapatkan hibah resmi dari pemerintah daerah, secara tidak langsung legalitas dan eksistensi tempat ibadah tersebut diakui oleh negara. Ini memberikan rasa aman psikologis bagi jemaah, sekaligus meredam potensi gangguan dari kelompok intoleran yang mungkin mempertanyakan status tempat ibadah tersebut.
Tantangan Implementasi 2026
Meskipun komitmen telah terucap, tantangan di tahun 2026 tidaklah ringan. Pertama, adalah masalah validasi data. Dengan luas wilayah Kabupaten Malang yang memiliki topografi pegunungan hingga pesisir selatan, Bakesbangpol memiliki tugas berat untuk memverifikasi proposal pengajuan.
Jangan sampai hibah jatuh ke tangan yayasan fiktif atau tempat ibadah yang sebenarnya sudah tidak aktif. Transparansi dan akuntabilitas menjadi harga mati agar niat baik ini tidak berujung pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kedua, adalah fluktuasi kemampuan APBD. Tahun 2026 diprediksi masih akan menghadapi tantangan ekonomi global yang berdampak pada Dana Transfer Pusat ke Daerah. Sanusi harus memastikan bahwa “belanja kerukunan” ini tidak tergerus oleh belanja rutin birokrasi atau proyek infrastruktur fisik semata.
Ketiga, pemerataan. Dengan ribuan masjid dan musala di Malang (sebagai mayoritas), serta ratusan tempat ibadah agama lain, kuota 300-an penerima per tahun berarti masih banyak tempat ibadah yang harus mengantre. Pemkab perlu membuat skema prioritas yang adil, misalnya memprioritaskan bangunan yang rusak berat atau berada di kantong-kantong kemiskinan ekstrem.
Janji Bupati Sanusi untuk melanjutkan hibah tempat ibadah di tahun 2026 adalah sebuah strategi cerdas yang menggabungkan pembangunan fisik dan pembangunan manusia. Dengan nominal Rp 15 juta, pemerintah tidak hanya membeli semen atau cat dinding, tetapi sedang “membeli” rasa memiliki dan rasa aman dari warganya.
Harmony Award 2025 adalah bukti bahwa strategi ini berjalan di jalur yang benar. Namun, ujian sesungguhnya bukan pada piala yang dipajang di lemari pemkab, melainkan pada senyum rukun para jemaah di musala desa dan jemaat di gereja kota yang bisa beribadah dengan tenang, dibantu oleh tangan negara yang hadir lewat kebijakan anggaran yang memanusiakan. Malang sedang memberi contoh, bahwa toleransi butuh investasi, dan Sanusi siap membayarnya (al/dnv).













