Rani Jambak guncang Melbourne lewat Inter.Sonix 06. Komposisi “Regang” jadi saksi bisu tewasnya 1000 korban banjir Sumatera & kehancuran Batang Toru di panggung global.
INDONESIAONLINE – Di tengah hiruk-pikuk distrik bisnis (CBD) Melbourne yang modern, sebuah klub bernama Miscellania menjadi saksi kontras yang memilukan pada pertengahan Desember 2025. Di sana, lampu-lampu sorot dan dentuman sound system canggih tidak digunakan untuk merayakan pesta akhir tahun, melainkan untuk mengantar sebuah kabar kematian.
Rani Jambak, seniman suara dan komposer asal Medan, Sumatera Utara, berdiri di panggung internasional bukan untuk menghibur, tetapi untuk memberikan kesaksian.
“Saya tidak datang membawa kegembiraan,” ucap Rani dengan nada datar namun menusuk, menatap audiens multikultural yang memadati ruangan.
“Saya datang membawa kabar duka dari Sumatera,” lanjutnya.
Malam itu, dalam gelaran Inter.Sonix 06, Rani tidak sedang bermetafora. Ia membawa serta hantu-hantu dari tanah kelahirannya: deru banjir bandang, patahan kayu gelondongan, dan jeritan terakhir satwa langka yang terhimpit beton pembangunan.
Penampilannya bertajuk “Sounds from Sumatera in Melbourne” menjadi sebuah intervensi kultural yang radikal, mengubah ruang seni eksperimental menjadi pengadilan moral atas krisis ekologi yang sedang mencabik-cabik Pulau Emas.

Politik Mendengar: Ketika Suara Menjadi Senjata
Kehadiran Rani di benua kangguru ini difasilitasi oleh Liquid Architecture (LA), sebuah organisasi seni nirlaba berbasis di Naarm (Melbourne) yang didirikan sejak 1999. LA bukan sekadar penyelenggara konser; selama lebih dari dua dekade, mereka telah memposisikan diri sebagai platform kritis yang membedah “politik pendengaran” (politics of listening).
Dalam kuratorial Inter.Sonix 06, suara dipahami sebagai entitas yang tidak netral. Ia memiliki keberpihakan. Program ini secara khusus menyoroti praktik sonik kontemporer dari Asia Tenggara, memberikan panggung bagi narasi-narasi dari Global South yang seringkali tenggelam dalam wacana seni barat.
Sebelum Rani, nama-nama besar skena eksperimental Indonesia seperti Sipaningkah (Aldo Ahmad), Rully Shabara, hingga kolektif Yes No Klub telah lebih dulu menjajal panggung ini.
Namun, momentum kedatangan Rani kali ini terasa berbeda. Ia hadir tepat ketika Sumatera sedang berada di titik nadir. “Inter.Sonix memberi saya ruang untuk bicara jujur,” ungkap Rani kepada awak media setibanya kembali di Tanah Air.
“Di sini, suara tidak harus netral. Ia boleh sedih, marah, dan berpihak,” tegasnya.
Di panggung yang sama, Rani berbagi energi dengan RP Boo, legenda musik Footwork dari Chicago, dan Will Guthrie, perkusionis eksperimental Australia. Namun, jika RP Boo memacu adrenalin lewat kecepatan ritme kaki, Rani justru memacu detak jantung lewat kecemasan ekologis.
Selama 40 menit, ia merajut komposisi yang terdiri dari Kincia Aia (Malenong M(A)so), Suara Minangkabau, Distortion Journey, Orang Piaman, Kembang Mengembang, dan Joget Sumatera.
“Regang”: Napas Terakhir Swarnadwipa
Puncak emosional dari pertunjukan tersebut terkristalisasi dalam karya berjudul “Regang”. Dalam bahasa Indonesia, kata ini merujuk pada kondisi sakaratul maut—detik-detik ketika nyawa ditarik keluar dari raga.
Secara musikal, Regang dibangun di atas struktur ritmis yang kompleks, namun secara filosofis, ia adalah sebuah requiem (lagu kematian). Karya ini lahir dari kolaborasi Rani dengan desainer mode Toton Januar, berangkat dari refleksi historis tentang Sumatera sebagai Swarnadwipa atau Pulau Emas.
Ironinya, kemakmuran yang dijanjikan oleh nama tersebut kini dibayar mahal dengan “nyawa yang meregang” akibat eksploitasi hutan yang membabi buta.
Bunyi elektronik yang dihasilkan Rani seolah merepresentasikan deru mesin-mesin berat yang merangsek masuk ke jantung hutan hujan tropis, beradu dengan elemen bunyi organik yang terdengar seperti napas yang tersengal-sengal. Di sinilah musik berfungsi melampaui estetika; ia menjadi arsip dokumenter atas kehancuran.
Fakta Keras di Balik Bunyi: Bencana November 2025
Apa yang disuarakan Rani di Melbourne bukanlah fiksi distopia, melainkan realitas horor yang baru saja terjadi. Duka yang ia bawa berakar pada tragedi ganda yang menghantam Sumatera Utara pada akhir tahun 2025.
Bencana pertama yang menjadi latar belakang kegelisahan Rani adalah banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi pada akhir November 2025. Data lapangan yang mengerikan mencatat lebih dari 1.000 lebih nyawa melayang. Bencana ini tidak datang sendirian; ia membawa serta bukti kejahatan lingkungan berupa ribuan kayu gelondongan sisa penebangan liar yang menghantam pemukiman warga.
Secara spesifik, hampir 100 korban jiwa ditemukan di kawasan Batang Toru, sebuah wilayah yang selama bertahun-tahun menjadi pusat sengketa ekologis.
Tragedi kedua adalah konflik berkepanjangan terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Proyek berkapasitas 510 Megawatt (MW) ini dibangun tepat di jantung Ekosistem Batang Toru, satu-satunya rumah bagi spesies kera besar paling langka di dunia, Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Para ahli konservasi memperkirakan populasi satwa ini hanya tersisa sekitar 500 hingga 700 individu. Pembangunan bendungan dan terowongan air dinilai telah memfragmentasi habitat mereka, mendorong spesies purba ini ke jurang kepunahan. Kekalahan gugatan hukum para aktivis lingkungan pada tahun 2019 seolah menjadi “lampu hijau” bagi percepatan kerusakan ini.
Tekanan publik pasca-bencana November akhirnya memaksa pemerintah pusat turun tangan. Pada 6 Desember 2025—hanya beberapa hari sebelum Rani tampil di Melbourne—Kementerian Lingkungan Hidup resmi menghentikan sementara operasional PT North Sumatera Hydro Energy serta sejumlah korporasi ekstraktif lainnya di kawasan tersebut untuk keperluan audit investigatif.
Kincia Aia: Teknologi Leluhur sebagai Kritik
Selain membawa narasi kehancuran, Rani juga menawarkan perspektif tandingan melalui instrumen ciptaannya, Kincia Aia. Instrumen ini terinspirasi dari kincir air tradisional Minangkabau yang lazim ditemui di pedesaan Sumatera Barat.
Bagi Rani, Kincia Aia bukan sekadar alat penghasil bunyi drone atau noise. Ia adalah manifestasi fisik dari kearifan lokal dalam mengelola energi. Kincir air tradisional bekerja selaras dengan aliran sungai, tidak membendungnya, tidak mematikannya. Ini adalah antitesis dari proyek PLTA raksasa yang mengubah bentang alam secara drastis dan destruktif.
Filosofi ini sejalan dengan pengalaman Rani tujuh tahun silam saat menempuh studi magister di Macquarie University, Sydney. Dalam diskusi publik bertajuk Li( )stening Exchange: Sonic Heritage di CY Space pada 9 Desember, Rani menceritakan momen epifani-nya saat mengunjungi Melbourne Museum.
Ia tertegun membaca filosofi hidup suku Gunditjmara, klan Aborigin di Victoria: “You should never take more than you need” (Kamu seharusnya tidak mengambil lebih dari yang kamu butuhkan).
“Kalimat itu sederhana, tapi menyentak saya,” kenang Rani di hadapan audiens Melbourne.
“Saya langsung membandingkannya dengan apa yang terjadi di Sumatera—kita mengambil terlalu banyak, terlalu cepat, tanpa memberi waktu alam untuk pulih,” ungkapnya.
Prinsip Gunditjmara yang berkelanjutan bertabrakan keras dengan realitas kapitalisme ekstraktif di Sumatera, di mana hutan hujan tropis—yang sejak 2004 berstatus Situs Warisan Dunia UNESCO dan masuk daftar Bahaya (In Danger) sejak 2011—diperlakukan semata-mata sebagai komoditas.
Ketika Seni Menolak Bungkam
Penampilan Rani Jambak di Inter.Sonix 06 Melbourne membuktikan bahwa seni sonic memiliki daya tawar politik yang kuat. Ia tidak berteriak dengan slogan di jalanan, tetapi merasuk ke alam bawah sadar penonton melalui frekuensi dan getaran.
Ia membawa isu lokal Sumatera—yang seringkali hanya menjadi statistik di berita televisi—menjadi pengalaman emosional yang personal bagi audiens global.
Langkah Kementerian Lingkungan Hidup yang menghentikan sementara proyek di Batang Toru adalah kemenangan kecil, namun “Regang” yang didendangkan Rani mengingatkan bahwa pertempuran belum usai. Hutan yang hilang butuh puluhan tahun untuk kembali, dan nyawa yang hilang tak akan pernah kembali.
“Kalau hutan tidak lagi punya suara, biarlah musik yang berbicara,” tutup Rani, menutup sebuah babak diplomasi budaya yang penuh luka.
Di Melbourne, tepuk tangan mungkin membahana usai pertunjukan. Namun di balik riuh rendah itu, pesan Rani tertinggal jelas: Sumatera sedang memanggil, napasnya semakin pendek, dan dunia tidak punya pilihan selain mulai mendengarkan sebelum hening kematian benar-benar datang.













