Natal di Palestina diwarnai kekerasan Israel. Dari Haifa hingga Betlehem, umat Kristen hadapi teror dan eksodus. Simak data konflik dan analisis demografinya.
INDONESIAONLINE – Lagu Silent Night yang biasanya menggema syahdu di lorong-lorong batu tua Palestina, tahun ini tenggelam oleh deru sirine dan ketegangan mencekam. Natal, yang sejatinya menjadi simbol harapan dan kelahiran sang Juru Selamat, justru menjadi panggung represifitas aparat keamanan Israel terhadap komunitas Kristen Palestina.
Di tengah sorotan dunia pada kehancuran Gaza, realitas pahit juga menghantam warga di Haifa dan Tepi Barat. Perayaan keagamaan berubah menjadi kekacauan, menandai salah satu periode paling suram dalam sejarah modern komunitas Kristen di Tanah Suci.
Teror di Wadi al-Nisnas
Insiden paling mencolok terjadi di Wadi al-Nisnas, sebuah lingkungan Kristen bersejarah di Haifa utara. Wilayah yang seharusnya menjadi pusat sukacita Natal ini berubah menjadi arena kekerasan ketika kepolisian Israel melakukan penyerbuan mendadak.
Rekaman video dan kesaksian mata yang beredar luas menunjukkan tindakan tangan besi aparat. Warga yang tengah mempersiapkan dekorasi dan perayaan dipukuli dan ditangkap.
Tindakan ini bukan sekadar insiden keamanan biasa, melainkan cerminan dari pola intimidasi sistematis. Bagi otoritas Israel, perayaan identitas Palestina—bahkan dalam konteks agama—kerap dianggap sebagai ancaman keamanan.
Betlehem: Kota Mati Tanpa Turis
Bergeser ke selatan, di Betlehem, tempat kelahiran Yesus, suasana tak kalah muram. Kota yang biasanya dipadati ribuan peziarah mancanegara kini sunyi senyap. Keterpurukan ekonomi menjadi pukulan ganda di samping ancaman fisik.
Patriark Latin Yerusalem, Pierbattista Pizzaballa, dalam misa malam Natalnya menyampaikan pesan yang sarat emosi. “Kita memutuskan untuk menjadi terang, dan terang Betlehem adalah terang dunia,” ujarnya di hadapan jemaat yang jumlahnya menyusut drastis.
Georgette Jackaman, seorang pemandu wisata lokal, menjadi potret nyata dari dampak konflik ini. Natal kali ini adalah perayaan pertama bagi kedua anaknya yang masih kecil, namun ironisnya, ia harus merayakannya di tengah ketakutan dan hilangnya mata pencaharian akibat pariwisata yang lumpuh total.
Kekerasan yang terus berulang memicu gelombang migrasi yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa umat Kristen di Tepi Barat kini tersisa kurang dari dua persen dari total populasi. Angka ini adalah penurunan drastis dibandingkan tahun 1948, di mana populasi Kristen mencapai sekitar 18 persen di wilayah bersejarah Palestina.
Pejabat setempat mencatat, setidaknya 4.000 warga telah meninggalkan Betlehem baru-baru ini karena himpitan ekonomi dan keamanan. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) juga melaporkan rekor tertinggi serangan pemukim Israel di Tepi Barat sejak pencatatan dimulai pada 2006.
Serangan ini mencakup perusakan properti, kebun zaitun, hingga kekerasan fisik yang seringkali terjadi di bawah perlindungan militer Israel.
Pelanggaran Status Quo Yerusalem
Ketegangan tidak hanya terjadi di wilayah pemukiman, tetapi juga merembet ke situs suci. Al Jazeera melaporkan bahwa lebih dari 570 pemukim ilegal Israel menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur saat periode liburan ini, dikawal ketat oleh polisi.
Tindakan provokatif ini dinilai melanggar status quo yang telah lama berlaku di Yerusalem, yang mengatur hak beribadah bagi Muslim, Kristen, dan Yahudi. Pelanggaran ini memperkeruh suasana, menyeret dimensi agama ke dalam konflik politik yang sudah panas.
Natal 2025 di Palestina menjadi saksi bisu bahwa di tanah kelahiran perdamaian, damai itu sendiri sedang disandera oleh pendudukan, tembok pemisah, dan arogansi senjata. Bagi warga Palestina, bertahan hidup di tanah leluhur kini menjadi bentuk perlawanan paling nyata.













