Darah yang Tak Pernah Tidur: Dari Leher Tepasana Hingga Pemberontakan Supriyadi

Darah yang Tak Pernah Tidur: Dari Leher Tepasana Hingga Pemberontakan Supriyadi
Ilustrasi pembunuhan Pangeran Tepasena atas perintah Pakubuwana II (io)

INDONESIAONLINE – Kartasura pada pertengahan abad ke-18 adalah seekor binatang buas yang sedang sakit. Ia megah dari luar, dengan benteng bata merah yang menjulang dan alun-alun yang luas, namun di dalam perutnya, cacing-cacing pengkhianatan sedang menggerogoti usus kekuasaan.

Di sanalah Pakubuwana II bertahta, seorang raja yang konon berhati lembut namun memiliki nasib yang ditulis dengan tinta darah oleh para pujangga Babad Tanah Jawi.

Istana itu tidak dibangun di atas pondasi batu kali semata, melainkan di atas tumpukan bangkai kecurigaan. Di balik tembok-tembok tebal yang seharusnya melindungi wahyu keprabon, angin berhembus membawa bau amis—bukan dari pasar daging, melainkan dari ruang-ruang tertutup di mana nyawa para pangeran dicabut tanpa suara.

Sejarah mencatat masa itu sebagai zaman ketika “rahayu” (keselamatan) minggat dari tanah Jawa, dan fitnah menjadi mata uang yang lebih berharga daripada ringgit Kompeni.

Kepulangan yang Membawa Petaka

Segalanya bermula dari hantu masa lalu yang dipanggil pulang. Pangeran Tepasana, putra Amangkurat III, adalah sisa dari sebuah dendam lama. Ayahnya adalah raja yang dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) oleh VOC, mati di tanah asing di mana pohon kelapa tumbuh lebih tinggi dari harapan.

Tepasana tumbuh dengan ingatan tentang laut dan pengasingan, tentang sebuah takhta yang dirampas oleh pamannya sendiri, Pangeran Puger.

Namun, politik adalah permainan dadu yang dimainkan oleh orang-orang gila. Pada tahun-tahun awal pemerintahan Pakubuwana II, muncul gagasan rekonsiliasi. Atas desakan Patih Natakusuma—seorang birokrat licin yang lidahnya setajam keris—VOC memulangkan keluarga buangan itu.

Mereka mendarat di Semarang, diarak menuju Kartasura dengan sengkalan Janma Kawayang Karengeng Bumi, seolah bumi Jawa merindukan anak-anaknya yang hilang.

Tepasana, yang kini telah sepuh dan lebih suka berzikir daripada memegang tombak, diberi tanah lungguh dan dinikahkan kembali ke dalam lingkaran istana. Putrinya, Retna Dumilah, diperistri oleh Pakubuwana II.

Di permukaan, ini adalah pernikahan agung: penyatuan kembali darah Amangkurat III yang terbuang dengan darah Pakubuwana yang berkuasa. Namun, di bawah permukaan, ini adalah upaya menjinakkan harimau dengan memberinya daging busuk.

Lidah Bercabang Patih Natakusuma

Di telinga Pakubuwana II yang peragu, Patih Natakusuma meniupkan racun. Sang Patih tahu bahwa raja muda itu seperti pohon pisang: lunak dan mudah ditebas. Ia membisikkan bahwa Tepasana, meski tampak seperti resi yang saleh, sebenarnya sedang mengumpulkan kekuatan. Bahwa di balik zikirnya, ada mantra untuk merebut kembali takhta ayahnya.

Ketakutan adalah hantu yang paling nyata bagi seorang raja. Sebelum Tepasana, dua pangeran lain—Puspadirja dan Puspitanaya—telah lebih dulu dihabisi. Mereka dipanggil menghadap, dituduh makar tanpa bukti, dan leher mereka dijerat tali di hadapan raja.

Babad Tanah Jawi mencatat peristiwa itu dengan dingin, seolah nyawa bangsawan tak lebih mahal dari nyawa ayam sabung.

Giliran Tepasana pun tiba. Bukan di medan perang ia menemui ajal, melainkan di kediamannya sendiri, dikepung oleh prajurit yang diperintahkan untuk “jangan membuat keributan”. Tepasana, yang mungkin sudah mencium bau kematian sejak ia meninjakkan kaki kembali di Jawa, tidak melawan.

Ia dicekik. Tanpa darah yang muncrat, tanpa teriakan perang. Mayatnya diseret keluar dalam gelap, diangkut dengan kereta kuda menuju Kediri, dan dikuburkan di Setono Gedong, bersanding dengan makam ayahnya, Amangkurat III—yang menurut kepercayaan lokal, sebenarnya berhasil pulang dan wafat di Kediri, bukan di Sri Lanka.

Kematian Tepasana adalah tumbal. Ia dibunuh bukan karena ia bersalah, tapi karena ia ada. Keberadaannya adalah ancaman bagi legitimasi Pakubuwana II yang rapuh. Namun, raja lupa satu hal: membunuh orang tua mungkin bisa menyembunyikan tubuhnya, tapi tidak bisa membunuh bayangannya.

Geger Pecinan dan Lahirnya Amangkurat V

Langit Kartasura menjadi kelabu setelah pembunuhan itu. Alam seolah menolak merestui kekuasaan yang dibangun di atas mayat kerabat. Rahayu sirna. Wahyu keraton meredup. Dan benar saja, dari arah pesisir, api mulai menyala.

Etnis Tionghoa yang dibantai di Batavia oleh Gubernur Jenderal Valckenier pada 1740 lari ke timur. Mereka bukan lagi pedagang yang menghitung laba, melainkan pendekar yang menuntut balas. Di tengah kekacauan itu, muncul seorang pemuda kurus dengan sorot mata yang menyimpan badai. Namanya Raden Mas Garendi.

Ia adalah putra Pangeran Tepasana. Ia adalah anak laki-laki yang melihat ayahnya dicekik, yang merasakan penghinaan pengasingan, dan yang kini berdiri di atas barikade bersama laskar Tionghoa dan Jawa. Usianya baru belasan tahun, tapi dendam mendewasakannya lebih cepat daripada arak.

Rakyat dan kaum pemberontak mengangkatnya sebagai raja. Ia bergelar Sunan Amangkurat V, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kuning (karena kedekatannya dengan kaum “kulit kuning” Tionghoa).

Ini adalah ironi terbesar bagi Pakubuwana II: ia membunuh Tepasana untuk mencegah kudeta, tapi justru menciptakan musuh yang jauh lebih mengerikan dari tulang belulang Tepasana. Garendi menyerbu Kartasura, menjebol benteng yang angkuh itu, dan memaksa Pakubuwana II lari tunggang langgang ke Ponorogo.

Untuk sesaat, Kartasura jatuh. Garendi duduk di singgasana leluhurnya, meski hanya seumur jagung. Ia adalah simbol perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan feodalisme yang korup. Meski akhirnya ia dikalahkan, dibuang ke Ceylon (mengulang takdir kakeknya), dan mati dalam sepi, benih perlawanan itu sudah tertanam.

Benang Merah Menuju Supriyadi

Sejarah seringkali dianggap garis lurus, padahal ia adalah lingkaran setan yang terus berulang. Darah Tepasana dan Garendi tidak menguap begitu saja. Ia merembes ke dalam tanah, mengalir lewat sungai-sungai bawah tanah silsilah, bersembunyi di desa-desa, menyamar menjadi petani dan priyayi kecil, menunggu waktu untuk bangkit kembali.

Silsilah itu berjalan senyap. Dari Garendi, darah itu turun ke wilayah Grobogan dan Jawa Timur. Melalui Kanjeng Pangeran Shipan, Pangeran Tohpati, hingga Raden Wirjodikromo. Di Blitar, garis itu bertemu dalam diri seorang wanita bernama Roro Rahayu. Ia menikah dengan Raden Darmadi, seorang priyayi yang menjadi Bupati Blitar.

Dari rahim Roro Rahayu, lahirlah Raden Supriyadi pada tahun 1923.

Supriyadi tidak lahir di istana, tapi ia mewarisi “pulung” perlawanan itu. Wajahnya tampan, matanya tajam namun seringkali menerawang jauh, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.

Ketika Jepang datang dan mendirikan PETA (Pembela Tanah Air), Supriyadi masuk ke dalamnya. Ia dididik disiplin militer, diajari cara memegang pedang samurai dan senapan Arisaka. Tapi Jepang lupa, seperti Pakubuwana II lupa: senjata yang kau berikan kepada seseorang yang hatinya terluka, suatu saat akan berbalik mengarah ke lehermu.

Sebagai Shodanco di Daidan Blitar, Supriyadi melihat penderitaan rakyat yang dipaksa menjadi romusha. Ia melihat kelaparan, penyiksaan, dan kematian yang sia-sia. Pemandangan itu membangkitkan memori purba dalam darahnya.

Mungkin, di malam-malam sepi barak militer, arwah Tepasana dan Garendi datang membisikkan kata-kata pemberontakan. Bahwa kekuasaan tanpa welas asih adalah kejahatan, dan diam di hadapan penindasan adalah pengkhianatan terhadap leluhur.

Pada 14 Februari 1945, di bawah langit Blitar yang mendung—semendung langit Kartasura dua abad silam—Supriyadi memimpin pasukannya memberontak.

“Kita tidak bisa menunggu kemerdekaan diberikan sebagai hadiah,” teriaknya. Tembakan meletus. Mortir diledakkan. Pasukan PETA Blitar melawan tentara Kekaisaran Jepang yang perkasa.

Pemberontakan itu gagal secara militer. Pasukannya ditumpas, teman-temannya ditangkap dan dihukum mati di Ancol. Tapi Supriyadi menghilang.

Ia lenyap seperti asap dupa. Ada yang bilang ia tewas di lereng Gunung Kelud. Ada yang bilang ia moksa. Ada pula yang percaya ia masih hidup, bersembunyi di balik kabut sejarah, menunggu panggilan berikutnya.

Namun satu hal yang pasti: Supriyadi mengulang takdir leluhurnya, Raden Mas Garendi. Keduanya adalah pemimpin muda yang melawan raksasa, keduanya dikhianati oleh keadaan, dan keduanya menghilang tanpa kubur yang jelas.

Epilog: Hantu yang Menolak Mati

Kisah Pangeran Tepasana, Garendi, dan Supriyadi adalah sebuah novel gotik yang ditulis oleh takdir di atas tanah Jawa. Ini adalah kisah tentang bagaimana kekuasaan yang korup di Kartasura memakan anaknya sendiri, namun gagal membunuh roh perlawanannya.

Pakubuwana II mungkin mengira ia telah memenangkan permainan catur politik dengan mencekik Tepasana. Namun, ia tidak sadar bahwa darah yang menetes dari leher pangeran tua itu menjadi tinta yang menulis sejarah revolusi Indonesia dua ratus tahun kemudian.

Di makam Setono Gedong Kediri, di bawah pohon kamboja yang berbunga putih, jasad Tepasana dan Amangkurat III mungkin telah menjadi tanah. Namun di udara, di sela-sela angin yang meniup bendera Merah Putih, ada bisikan yang tak pernah mati: bahwa darah bangsawan sejati tidak diukur dari mahkota yang dipakai, melainkan dari keberaniannya menolak tunduk pada kelaliman.

Dan Supriyadi, sang Shodanco yang hilang, adalah bukti pamungkas bahwa hantu masa lalu akan selalu kembali untuk menagih janji kemerdekaan.


Referensi:

  1. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi. (Sumber utama mengenai intrik politik Kartasura, peran VOC, dan silsilah Mataram).
  2. Babad Tanah Jawi. (Naskah klasik yang mencatat genealogi raja-raja Jawa, termasuk peristiwa pembunuhan para pangeran di masa Pakubuwana II).
  3. Daradjadi. (2013). Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas. (Data mendalam mengenai peran Raden Mas Garendi/Sunan Kuning).
  4. Arsip Nasional Republik Indonesia. Data mengenai Pemberontakan PETA di Blitar dan silsilah Raden Supriyadi yang terhubung dengan trah Mataram melalui jalur Bupati Blitar.
  5. Graaf, H.J. de. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. (Sebagai pembanding konteks kekuasaan Mataram).
  6. Situs Cagar Budaya Setono Gedong, Kediri. (Bukti arkeologis makam Pangeran Tepasana dan Amangkurat III yang menjadi basis data lokal).