Geopolitik Tanduk Afrika: Israel Akui Somaliland, Al Shabaab Mengancam

Geopolitik Tanduk Afrika: Israel Akui Somaliland, Al Shabaab Mengancam
Pria memegang bendera Somaliland di depan monumen Peringatan Perang Hargeisa di Hargeisa pada 7 November 2024. (AFP/LUIS TATO)

Israel akui kemerdekaan Somaliland memicu ancaman Al Shabaab. Analisis mendalam geopolitik Tanduk Afrika, reaksi Mesir-Turki, dan potensi perang baru.

INDONESIAONLINE – Peta geopolitik di Tanduk Afrika (Horn of Africa) mengalami guncangan seismik pada akhir tahun 2025. Keputusan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mengakui kemerdekaan Somaliland secara resmi pada Jumat (26/12/2025), bukan sekadar manuver diplomatik biasa.

Ini adalah pemantik api di salah satu wilayah paling fluktuatif di dunia, yang kini menyeret kelompok milisi Al Shabaab ke dalam konflik frontal dengan Negara Yahudi tersebut.

Langkah Israel menjadikan Tel Aviv sebagai entitas negara pertama yang mengakui pemisahan Somaliland dari Somalia sejak deklarasi sepihak tahun 1991. Namun, di balik perayaan di Hargeisa (ibu kota Somaliland), bayang-bayang perang proksi baru mulai menyelimuti wilayah yang menjadi gerbang Laut Merah ini.

Transformasi Narasi Al Shabaab: Dari Lokal ke Global

Sabtu (27/12/2025), hanya 24 jam setelah pengumuman Netanyahu, Al Shabaab merilis pernyataan perang. Juru bicara mereka, Ali Dheere, menegaskan bahwa kelompoknya akan “menentang segala bentuk upaya Israel memanfaatkan wilayah Somaliland.”

Bagi pengamat terorisme, pernyataan ini menandai pergeseran berbahaya. Selama hampir dua dekade, Al Shabaab—afiliasi Al-Qaeda di Afrika Timur—fokus pada penggulingan pemerintah pusat Somalia yang didukung Barat dan penerapan hukum syariah yang ketat. Musuh utama mereka adalah pasukan Uni Afrika (ATMIS) dan pemerintah federal di Mogadishu.

Namun, masuknya Israel ke gelanggang memberikan Al Shabaab “bahan bakar ideologis” baru. Narasi perlawanan kini bukan lagi sekadar perang saudara sesama Muslim, melainkan jihad melawan entitas asing yang sering mereka labeli sebagai “penjajah Zionis.”

“Kami tidak akan menerimanya, dan kami akan melawannya,” ujar Ali Dheere.

Pernyataan ini berpotensi menjadi alat rekrutmen yang ampuh bagi Al Shabaab, yang menurut estimasi Dewan Keamanan PBB (2024), masih memiliki antara 7.000 hingga 12.000 petempur aktif. Masuknya narasi anti-Israel dapat menarik simpati dari elemen radikal lintas batas yang sebelumnya tidak tertarik dengan konflik lokal Somalia.

Kepentingan Strategis: Mengapa Israel Memilih Somaliland?

Mengapa Netanyahu mengambil risiko diplomatik sebesar ini? Jawabannya terletak pada geografi dan keamanan maritim.

Somaliland memiliki garis pantai sepanjang 850 kilometer yang menghadap langsung ke Teluk Aden, jalur pelayaran vital menuju Laut Merah dan Terusan Suez. Data World Shipping Council mencatat bahwa sekitar 12% perdagangan global dan 30% lalu lintas peti kemas dunia melewati jalur sempit Bab el-Mandeb yang berdekatan dengan wilayah ini.

Dengan ancaman Houthi di Yaman yang terus membayangi kapal-kapal Israel dan Barat, Tel Aviv membutuhkan sekutu strategis di sisi Afrika. Pelabuhan Berbera di Somaliland, yang telah dimodernisasi dengan investasi jutaan dolar dari DP World (UEA), menawarkan pangkalan logistik dan potensi militer yang strategis bagi Israel untuk memantau pergerakan musuh di Laut Merah.

Langkah ini mirip dengan “Doktrin Periferi” Israel di masa lalu, di mana mereka mencari sekutu non-Arab atau non-musuh di pinggiran Timur Tengah untuk mengimbangi isolasi regional.

Somaliland: Stabilitas di Tengah Kekacauan

Di sisi lain, bagi Somaliland, pengakuan ini adalah “Cawan Suci” yang telah mereka cari selama 34 tahun. Berbeda dengan Somalia selatan yang dirongrong perang saudara, Somaliland relatif stabil. Mereka memiliki mata uang sendiri, militer, parlemen, dan telah menyelenggarakan pemilihan umum presiden secara berkala—sebuah anomali demokratis di kawasan tersebut.

Presiden Somaliland menyambut langkah Netanyahu sebagai kemenangan bersejarah. Namun, harga yang harus dibayar adalah permusuhan abadi dari Mogadishu dan kini, ancaman langsung dari Al Shabaab.

Keputusan Israel memicu efek domino diplomatik. Pemerintah Federal Somalia di Mogadishu menyebut langkah ini sebagai “pelanggaran kedaulatan nasional.” Kemarahan Somalia bukan tanpa alasan; pengakuan internasional terhadap Somaliland dikhawatirkan akan memicu balkanisasi (pecahnya negara menjadi negara-negara kecil) di Afrika, sebuah preseden yang sangat ditakuti oleh Uni Afrika.

Kepala Uni Afrika, Mahamoud Ali Youssouf, dengan tegas menyatakan, “Setiap upaya untuk merusak persatuan, kedaulatan, dan integritas teritorial Somalia berisiko menciptakan preseden berbahaya.”

Penolakan keras juga datang dari dua pemain besar regional: Turki dan Mesir.

Turki, yang memiliki pangkalan militer luar negeri terbesarnya di Mogadishu (Camp TURKSOM) dan telah menginvestasikan miliaran dolar dalam infrastruktur Somalia, melihat langkah Israel sebagai ancaman terhadap pengaruhnya. Ankara menyebut ini sebagai “campur tangan terang-terangan.”

Sementara itu, Mesir melihat manuver ini melalui lensa persaingan Sungai Nil dengan Ethiopia. Ethiopia, negara tetangga yang terkurung daratan (landlocked), sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman kontroversial dengan Somaliland untuk akses laut—langkah yang membuat marah Somalia dan Mesir. Dengan Israel masuk ke dalam poros Somaliland, Kairo merasa semakin terkepung. Kementerian Luar Negeri Mesir menekankan bahwa integritas wilayah Somalia adalah “pilar fundamental stabilitas sistem internasional.”

Potensi Eskalasi: Medan Tempur Baru

Dengan peta aliansi yang semakin rumit—Israel dan kemungkinan Ethiopia mendukung Somaliland, sementara Turki, Mesir, dan Qatar mendukung Somalia federal—Tanduk Afrika berisiko menjadi medan perang proksi (proxy war) yang kompleks.

Masuknya Al Shabaab sebagai aktor yang menargetkan kepentingan Israel menambah lapisan bahaya baru. Jika milisi ini mulai menargetkan aset Israel atau warga negara Yahudi di Afrika Timur sebagai balasan, konflik ini akan meluas jauh melampaui perbatasan Somaliland.

Daftar musuh Israel kini bertambah panjang. Setelah Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi pro-Iran di Suriah-Irak, kini Al Shabaab di Afrika Timur siap membuka front baru. Bagi Netanyahu, pengakuan Somaliland mungkin merupakan kemenangan strategis di atas kertas, namun di lapangan, hal itu telah membuka kotak pandora yang dapat membakar stabilitas kawasan Tanduk Afrika yang sudah rapuh.

Dunia kini menahan napas, menanti apakah Laut Merah akan menjadi semakin merah oleh darah konflik baru ini.