Polda Jatim tetapkan tersangka kasus Nenek Elina. Simak investigasi mendalam sengketa lahan, arogansi premanisme, dan urgensi perlindungan lansia.
INDONESIAONLINE – Di balik gemerlap pembangunan kota metropolitan Surabaya, tersimpan kisah kelam tentang perebutan ruang yang mengorbankan sisi kemanusiaan. Video viral yang memperlihatkan Elina Widjajanti, seorang lansia berusia 80 tahun, diseret paksa dari rumahnya di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, bukan sekadar potongan gambar bergerak. Itu adalah manifestasi nyata dari brutalnya sengketa agraria yang bercampur dengan aksi premanisme jalanan.
Senin, 29 Desember 2025, menjadi titik balik bagi perjuangan keadilan Nenek Elina. Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur akhirnya mengambil langkah tegas dengan menetapkan dua orang tersangka: Samuel Ardi Kristanto (SAK) dan Muhammad Yasin (MY).
Namun, penetapan tersangka ini hanyalah puncak gunung es dari permasalahan yang jauh lebih kompleks mengenai hukum properti, perlindungan lansia, dan keberanian sipil melawan intimidasi.
Jerat Hukum dan Arogansi Eksekusi Sepihak
Penetapan Samuel dan Yasin sebagai tersangka didasarkan pada Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini secara spesifik mengatur tentang kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum terhadap orang atau barang.
Dirreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menegaskan bahwa tindakan para tersangka telah memenuhi unsur pidana tersebut. “Melakukan secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang dan barang,” ujarnya tegas.
Ancaman hukuman 5 tahun 6 bulan penjara menanti mereka.
Namun, yang menarik untuk dibedah adalah motif di balik tindakan ini. Samuel, yang kini telah ditahan dengan tangan terborgol, mengklaim memiliki hak atas tanah tersebut berdasarkan pembelian tahun 2014. Di sinilah letak krusial perdebatan hukumnya.
Dalam sistem hukum Indonesia, kepemilikan sertifikat atau klaim jual beli tidak serta merta memberikan hak kepada seseorang untuk melakukan eksekusi pengosongan secara paksa (eigenrichting), apalagi dengan kekerasan.
Mengacu pada data Ombudsman Republik Indonesia, sengketa lahan memang kerap menjadi pintu masuk tindakan maladministrasi dan kekerasan. Eksekusi pengosongan lahan sejatinya adalah kewenangan pengadilan melalui juru sita, bukan kewenangan individu yang dibantu oleh kelompok masyarakat sipil atau ormas.
Tindakan Samuel yang menggunakan “tangan” orang lain untuk mengusir paksa Elina adalah bentuk pelanggaran serius terhadap due process of law.
Jejak Ormas dan Batas Tanggung Jawab Pidana
Keterlibatan Muhammad Yasin (MY) menambah dimensi sosial dalam kasus ini. Yasin, yang disebut-sebut berafiliasi dengan organisasi masyarakat (Ormas) Madura Asli (Madas), kini berstatus buron. Kehadiran elemen ormas dalam sengketa tanah warga sipil menjadi fenomena yang meresahkan di berbagai kota besar, termasuk Surabaya.
Dalam rekaman video yang beredar, Yasin terlihat tidak bekerja sendiri. Setidaknya ada tiga orang lain yang terekam kamera turut serta mengangkat tubuh renta Nenek Elina keluar dari kediamannya. Polisi pun membuka peluang adanya tersangka baru.
Terkait afiliasi organisasi, Polda Jatim mengambil sikap hati-hati namun tegas. Kombes Pol Widi Atmoko menekankan prinsip individual criminal liability atau pertanggungjawaban pidana perorangan. “Jadi barang di KUHP itu barang siapa. Jadi seseorang individu yang melakukan ya, bukan lagi kelompok,” jelasnya.
Pernyataan ini penting untuk memutus rantai impunitas yang seringkali berlindung di balik nama besar organisasi. Di sisi lain, DPP MADAS telah mengambil langkah “cuci tangan” dengan menyatakan telah menonaktifkan Yasin sejak 24 Desember 2025, beberapa hari sebelum penetapan tersangka resmi diumumkan polisi.
Hal ini menunjukkan pola umum di mana organisasi cenderung melepaskan diri ketika anggotanya terjerat kasus hukum viral, meskipun publik kerap mempertanyakan apakah tindakan anggota tersebut benar-benar inisiatif pribadi atau “pesanan” yang direstui.
Penghancuran Aset: Lebih dari Sekadar Kekerasan Fisik
Aspek yang tak kalah mengerikan dari kasus ini adalah pembongkaran rumah Nenek Elina hingga rata dengan tanah. Polisi kini tengah mendalami kasus perusakan properti ini secara terpisah namun beriringan. Rumah yang dihancurkan menggunakan alat berat oleh pihak Samuel pada Agustus lalu bukan sekadar bangunan fisik, melainkan tempat bernaung seorang warga negara yang dilindungi undang-undang.
Keluarga Elina membantah keras klaim pembelian tanah oleh Samuel. Jika benar terjadi sengketa kepemilikan, seharusnya jalur perdata di pengadilan menjadi solusi, bukan buldoser. Tindakan perataan rumah ini mengindikasikan adanya upaya menghilangkan penguasaan fisik korban atas lahan tersebut secara paksa—sebuah modus operandi yang kerap ditemukan dalam praktik mafia tanah.
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sengketa pertanahan memang masih menjadi “penyakit kronis”. Menteri ATR/BPN dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa praktik mafia tanah seringkali melibatkan premanisme untuk menguasai fisik tanah sebelum legalitasnya teruji di pengadilan. Kasus Nenek Elina menjadi contoh textbook dari modus ini.
Urgensi Perlindungan Lansia
Kasus ini juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan, khususnya lansia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengamanatkan perlindungan bagi lansia dari perlakuan yang tidak wajar.
Tindakan menyeret, mengangkat paksa, dan mengusir seorang nenek berusia 80 tahun jelas mencederai rasa kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia. Dampak psikologis trauma pasca-kejadian pada usia senja seringkali berdampak fatal bagi kesehatan fisik korban.
Publik kini menanti kerja keras aparat kepolisian. Penangkapan Samuel adalah awal yang baik, namun pengejaran terhadap Yasin dan potensi tersangka lain harus terus digalakkan. Publik tidak hanya menuntut hukuman bagi pelaku lapangan, tetapi juga keadilan substantif bagi Nenek Elina: pemulihan haknya, kompensasi atas kerugian materiil dan immateriil, serta kepastian hukum atas tanah yang disengketakan.
Kasus Nenek Elina adalah alarm keras bagi penegak hukum dan pemerintah kota. Bahwa di era modern ini, hukum rimba tidak boleh lagi mendapat tempat. Kekerasan atas nama sengketa lahan harus dihentikan, dan martabat manusia—terlebih seorang lansia—harus diletakkan di atas segala klaim sertifikat tanah manapun. Jika hukum tidak berpihak pada yang lemah dan teraniaya, maka keadilan hanyalah ilusi belaka.













