INDONESIAONLINE – Akademisi Universitas Negeri Malang (UM) Nuruddin Hady menyoroti fenomena menarik pada kontestasi Pilkada Kota Malang 2024. Menurutnya, partai politik (parpol) di Kota Malang menunjukkan indikasi gagal melakukan kaderisasi.
Indikasi tersebut terlihat dari ketiga pasangan calon (paslon) yang bertarung memperebutkan kursi N1 dan N2, bukan merupakan kader asli parpol pengusung. Ketiga paslon tersebut adalah:
Mochammad Anton-Dimyati Ayatullah yang diusung 4 parpol
Wahyu Hidayat-Ali Muthohirin yang diusung koalisi 14 parpol
Heri Cahyono-Ganis Rumpoko yang diusung PDI Perjuangan.
“Pak Wahyu bukan kader Gerindra dan malah produk birokrat. Sam HC apalagi, bukan kader PDIP, Abah Anton pernah kena kasus,” ujar Hady.
Hady menilai, idealnya parpol mengusung kader yang telah lama berkiprah di internal partai. Kader tersebut tentu telah memiliki jaringan politik yang kuat, berpengalaman dalam organisasi, dan memahami struktur partai.
“Ini salah satu gagalnya partai untuk melakukan proses kaderisasi,” tegas Hady.
Ia mencontohkan PDI Perjuangan yang tiba-tiba mengusung Heri Cahyono yang berpasangan dengan Ganis Rumpoko. Meskipun Ganis merupakan kader PDIP, ia bukan berasal dari Kota Malang.
Hady meyakini bahwa tingkat elektabilitas menjadi pertimbangan utama DPP partai dalam menjatuhkan rekom kepada seorang tokoh, meskipun bukan kader internal.
“Parpol itu ya harusnya mendorong kadernya untuk maju. Masalah menang atau kalah, itu kan persoalan biasa,” tegasnya.
Lebih lanjut, Hady menilai bahwa fenomena gagal kaderisasi ini bukan hanya terjadi di Kota Malang, melainkan juga di tingkat nasional. Ia mencontohkan kasus Anies Baswedan yang diusung PKS dan Nasdem pada Pilpres lalu, meskipun Anies bukan kader partai tersebut.
Hady mengingatkan bahwa kegagalan kaderisasi berdampak pada lemahnya ikatan ideologis partai. Calon yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang ideologi partai, berpotensi mengurangi konsistensi dalam memperjuangkan visi misi partai (rw/dnv).