Akhir Antiklimaks Kasus Korupsi Nikel Konawe Utara Rp 2,7 Triliun

Akhir Antiklimaks Kasus Korupsi Nikel Konawe Utara Rp 2,7 Triliun
Ilustrasi kasus penambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang akhirnya di SP3-kan KPK karena kurang bukti (io)

KPK resmi hentikan penyidikan korupsi nikel Konawe Utara. Kasus Rp 2,7 triliun yang menjerat Aswad Sulaiman berakhir antiklimaks akibat kurang bukti.

INDONESIAONLINE – Di balik gemerlap revolusi kendaraan listrik dunia yang memburu nikel sebagai “emas baru”, tersimpan cerita kelam di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Tanah yang kaya akan bijih nikel laterit itu pernah menjadi saksi bisu atas dugaan skandal perizinan tambang raksasa yang nilainya mengguncang akal sehat: Rp 2,7 triliun.

Angka kerugian negara yang fantastis itu sempat menjadi berita utama delapan tahun silam, menjanjikan sebuah pengungkapan besar tentang bagaimana sumber daya alam dieksploitasi secara ugal-ugalan.

Namun, pada Jumat yang basah di penghujung tahun 2025 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengetuk palu yang suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk berita bencana alam. Palu itu bukan tanda vonis penjara, melainkan tanda berhenti.

Lembaga antirasuah tersebut menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.

“Benar, KPK telah menerbitkan SP3 dalam perkara tersebut,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dengan nada datar namun tegas.

Pernyataan singkat ini menutup buku tebal penyidikan yang telah berdebu selama bertahun-tahun, menyisakan tanda tanya besar tentang batas antara kejahatan kerah putih dan celah hukum yang menganga.

Benang Kusut Pembuktian

Keputusan KPK untuk menghentikan kasus ini bukanlah langkah yang diambil dalam semalam. Budi menjelaskan bahwa setelah penyidik melakukan pendalaman intensif hingga ke akar-akarnya, dinding tebal bernama “kecukupan bukti” tak kunjung bisa ditembus.

Kasus yang tempus delicti-nya (waktu kejadian) berada di rentang tahun 2007 hingga 2009 ini seolah kehilangan jejak utamanya seiring berjalannya waktu.

“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” tambah Budi.

Kalimat ini menyiratkan sebuah prinsip hukum universal: in dubio pro reo, jika ada keraguan, maka hal itu harus menguntungkan terdakwa. Namun, bagi publik yang mengingat gembar-gembor kasus ini pada tahun 2017, keputusan ini terasa seperti sebuah antiklimaks yang getir.

Kala itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dengan lantang mengumumkan penetapan tersangka Aswad Sulaiman. Sang mantan bupati dituduh menerima suap sebesar Rp 13 miliar dan menyebabkan kerugian negara yang setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebuah provinsi kecil.

Namun, pembuktian aliran dana dan kerugian negara dalam kasus perizinan tambang memang kerap kali rumit, berkelindan dengan diskresi pejabat publik dan tumpang tindih regulasi pusat-daerah.

Anatomi Sengketa di Tanah Nikel

Untuk memahami mengapa kasus ini begitu pelik, kita harus memutar waktu ke tahun 2007. Saat itu, Konawe Utara adalah “gadis cantik” yang baru mekar—sebuah daerah otonom baru hasil pemekaran yang memegang kunci kekayaan mineral Sulawesi. Aswad Sulaiman, yang saat itu menjabat sebagai Penjabat (Pj) Bupati, memegang pena kekuasaan yang sangat menentukan.

Di atas meja kerjanya, terhampar peta wilayah yang sebagian besar “perutnya” mengandung nikel kadar tinggi. Mayoritas wilayah tersebut sejatinya berada dalam kuasa pertambangan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah lama bercokol di sana.

Dugaan korupsi bermula dari goresan tanda tangan Aswad. Ia diduga secara sepihak mencabut kuasa pertambangan milik PT Antam di Kecamatan Langgikima dan Kecamatan Molawe. Tanah yang “dikosongkan” secara administratif itu kemudian, bak kue tart, dipotong-potong dan dibagikan kepada delapan perusahaan swasta.

KPK mencatat, Aswad menerbitkan setidaknya 30 Surat Keputusan (SK) Kuasa Pertambangan Eksplorasi. Dari sinilah dugaan aliran dana haram itu masuk. Perusahaan-perusahaan yang mendapatkan “kue” nikel tersebut diduga memberikan imbalan tunai.

Beberapa di antaranya bahkan langsung tancap gas melakukan produksi dan ekspor ore nikel hingga tahun 2014, mengeruk keuntungan di atas lahan yang status hukumnya sengketa.

Data dan Fakta: Harta Karun yang Menggoda

Kabupaten Konawe Utara bukanlah wilayah sembarangan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sulawesi Tenggara memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia, mencapai 1,8 miliar ton. Konawe Utara sendiri menyumbang porsi signifikan dari cadangan tersebut.

Harga nikel dunia yang terus meroket—terutama di era 2007 saat komoditas booming dan kembali melonjak di era kendaraan listrik saat ini—menjadikan setiap jengkal tanah di sana bernilai miliaran rupiah.

Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa perdata antara PT Antam dan perusahaan-perusahaan lain di wilayah tersebut, kerap terungkap betapa kacaunya administrasi pertambangan di masa lalu. Tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi penyakit kronis.

Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa pada periode 2009-2014, ribuan IUP diterbitkan oleh kepala daerah di seluruh Indonesia, seringkali tanpa mekanisme lelang yang transparan dan melanggar tata ruang.

Kasus Aswad Sulaiman adalah representasi dari fenomena “obral izin” pasca-otonomi daerah. Namun, membuktikan bahwa kebijakan administratif tersebut adalah tindak pidana korupsi (suap) memerlukan bukti konkret berupa aliran dana (follow the money). Inilah tantangan terberat penyidik KPK: melacak uang tunai yang berpindah tangan belasan tahun silam.

Hilangnya Potensi Pemulihan Kerugian Negara

Dengan diterbitkannya SP3, harapan negara untuk memulihkan dugaan kerugian sebesar Rp 2,7 triliun praktis pupus melalui jalur pidana kasus ini. Angka Rp 2,7 triliun itu bukanlah jumlah kecil.

Sebagai perbandingan, Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Konawe Utara pada tahun 2024 hanya berkisar ratusan miliar rupiah. Kerugian yang dihitung KPK pada 2017 itu mencakup nilai nikel yang hilang akibat penambangan ilegal dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Namun, KPK tidak menutup pintu rapat-rapat. Budi Prasetyo menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu masih terbuka terhadap informasi baru.

“Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” ucapnya.

Ini adalah secercah harapan kecil dalam kegelapan, meskipun sejarah mencatat sangat jarang kasus yang sudah di-SP3 dibuka kembali tanpa adanya novum (bukti baru) yang sangat kuat.

Pelajaran Mahal Bagi Tata Kelola Tambang

Penghentian kasus KPK hentikan kasus konawe utara ini menjadi pelajaran pahit bagi penegakan hukum sektor sumber daya alam di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa penetapan tersangka tanpa diikuti dengan percepatan pelimpahan berkas ke pengadilan dapat berujung pada kegagalan pembuktian karena saksi yang meninggal, dokumen yang hilang, atau memori yang memudar termakan usia.

Kasus Aswad Sulaiman kini menjadi sejarah. Namun, lubang-lubang bekas tambang di Langgikima dan Molawe masih menganga, menjadi saksi bisu perebutan kekayaan alam yang menyisakan residu masalah hukum.

Bagi masyarakat Konawe Utara, pertanyaan besarnya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan bagaimana memastikan kekayaan alam mereka tidak lagi menjadi bancakan di masa depan yang hanya menyisakan kerusakan lingkungan tanpa kesejahteraan yang merata.

KPK telah meletakkan senjatanya dalam kasus ini. Namun, perang melawan mafia tambang dan perbaikan tata kelola izin usaha pertambangan harus terus berlanjut, agar kerugian negara 2,7 triliun tidak hanya menjadi statistik usang di halaman koran lama, melainkan pengingat abadi tentang mahalnya harga sebuah integritas pejabat publik.