Fakta mengejutkan terungkap! Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq membeberkan data Adipura yang menunjukkan mayoritas kota di Indonesia berstatus ‘kotor’.
INDONESIAONLINE – Sebuah fakta getir baru saja terkuak dari puncak menara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH). Alarm merah bagi manajemen lingkungan perkotaan di Indonesia berbunyi nyaring, disampaikan langsung oleh Menteri LHK, Dr. Hanif Faisol Nurofiq.
Dalam kunjungannya di Universitas Brawijaya (18/8/2025), ia tanpa tedeng aling-aling mengungkap bahwa predikat “kota bersih” kini hanyalah ilusi bagi hampir seluruh wilayah di Tanah Air.
Data terbaru dari program Adipura, instrumen penilaian kebersihan kota yang legendaris, melukiskan gambaran suram. Mayoritas kabupaten/kota di Indonesia ternyata masih berkubang dalam masalah sampah yang kronis, bahkan terjerembap dalam kategori paling bawah: kota kotor.
“Tidak ada satu pun kota yang benar-benar lepas dari predikat kota kotor. Hampir semuanya nilainya masih di bawah 75,” ungkap Hanif dengan nada serius.
“Kalau di bawah 75, statusnya hanya peserta sertifikat. Sementara kalau di bawah 50, masuk kategori kota kotor. Hari ini sebagian besar daerah kita nilainya masih di bawah 50,” lanjutnya.
Pernyataan ini seolah menjadi tamparan keras bagi citra kota-kota modern di Indonesia. Empat tingkatan Adipura—kota kotor, kota bersertifikat, kota Adipura, dan Adipura Kencana—menjadi cermin betapa jauhnya perjalanan yang harus ditempuh. Ketika mayoritas bahkan belum mampu menyentuh standar minimal, ini bukan lagi sekadar masalah, melainkan sebuah krisis.
Tiga Jurus Pamungkas Pemerintah
Menghadapi darurat sampah ini, pemerintah tidak tinggal diam. Hanif Faisol membeberkan serangkaian kebijakan strategis yang tengah dan akan dieksekusi untuk membalikkan keadaan.
Jurus Pertama: Mengunci Keran Impor dan Menodong Produsen
Langkah tegas pertama adalah menutup rapat-rapat pintu impor scrap plastik atau plastik bekas. Kebijakan ini, menurut Hanif, sudah menjadi pembahasan di level internasional dan menempatkan Indonesia pada jalur yang benar untuk menghentikan “sampah kiriman”.
Namun, gebrakan terbesar justru menyasar ke hulu. Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR), yang selama ini bersifat sukarela, akan diubah menjadi kewajiban mutlak.
“Ke depan, kita ubah jadi wajib. Produsen harus bertanggung jawab penuh atas sampah yang dihasilkan produknya,” tegasnya.
Ini artinya, raksasa industri tidak bisa lagi lepas tangan setelah produk mereka sampai ke konsumen. Mereka wajib memikirkan dan mengelola kemasan produk mereka hingga ke tahap daur ulang.
Jurus Kedua: Operasi Sesar Bernama Waste to Energy
Untuk mengatasi gunungan sampah yang sudah terlanjur menggunung di kota-kota besar, pemerintah menyiapkan sebuah “jurus pamungkas” berteknologi tinggi: mengubah sampah menjadi energi (waste to energy). Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi payung hukumnya disebut sudah di tahap finalisasi.
“Perpres sudah selesai, mudah-mudahan akhir Agustus bisa ditandatangani Presiden,” papar Hanif memberikan sinyal bahwa proyek-proyek PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) akan segera beroperasi.
Namun, Hanif memberikan analogi tajam. “Ibarat operasi sesar, ini ditempuh kalau cara-cara alamiah sudah tidak bisa. Biayanya besar, risikonya juga tinggi,” katanya.
Ini adalah opsi terakhir, bukan solusi utama. Untuk daerah dengan volume sampah menengah, solusi yang lebih realistis seperti Refuse Derived Fuel (RDF)—mengolah sampah menjadi bahan bakar alternatif—lebih didorong karena lebih ekonomis.
Jurus Ketiga: Kartu Merah untuk Perusak Lingkungan
Persoalan lingkungan tidak hanya soal sampah perkotaan. KLHK juga menyoroti isu tambang ilegal yang merusak ekosistem, terutama di pulau-pulau kecil yang rentan seperti di Sulawesi Tenggara. Hanif memastikan tidak akan ada lagi “lampu hijau” atau izin lingkungan bagi aktivitas ekstraktif yang membabi buta.
Di akhir paparannya, Menteri Hanif menegaskan bahwa perang melawan sampah dan kerusakan lingkungan adalah pertarungan kolektif. Pemerintah bisa membuat regulasi, namun eksekusinya membutuhkan kolaborasi dari semua lini.
“Ini kerja besar. Kalau semua pihak—produsen, rumah tangga, dan kawasan—bisa berkolaborasi, maka Adipura bukan lagi sekadar penghargaan, tapi simbol nyata kota yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” pungkasnya (as/dnv).