Pidato amarah Benjamin Netanyahu di Sidang Umum PBB 2025, menuding pengakuan Palestina sebagai “bunuh diri nasional” bagi Israel. Analisis mendalam tentang implikasi retaknya hubungan dengan sekutu Eropa dan perbedaan sikap dengan AS di bawah Donald Trump, serta potensi pergeseran lanskap politik Timur Tengah.
INDONESIAONLINE – Pada Jumat (26/9/2025), Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi saksi bisu salah satu pidato paling provokatif dan emosional yang pernah disampaikan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Di hadapan para pemimpin dunia, Netanyahu melontarkan tuduhan tajam, menuding negara-negara Eropa yang mengakui Palestina sebagai negara berdaulat telah mendorong Israel ke ambang “bunuh diri nasional”.
Ini bukan sekadar retorika, melainkan sinyal jelas tentang krisis yang mendalam dalam hubungan Israel dengan sebagian besar komunitas internasional dan bahkan, secara mengejutkan, dengan sekutu terdekatnya.
Pidato tersebut, yang sebagian bahkan disiarkan melalui pengeras suara militer Israel di Jalur Gaza – sebuah tindakan yang menunjukkan tekad militan – menegaskan sumpah Netanyahu untuk “mencegah terbentuknya negara Palestina.”
Ia secara eksplisit menyamakan pengakuan tersebut dengan “memberi imbalan kepada kelompok Hamas,” meskipun Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan kesepakatan gencatan senjata.
“Israel tidak akan membiarkan Anda memaksakan negara teroris kepada kami,” seru Netanyahu. “Kami tidak akan melakukan bunuh diri nasional karena Anda tidak memiliki nyali untuk menghadapi media yang bermusuhan dan massa antisemitisme yang menuntut darah Israel,” lanjutnya.
Pernyataan ini mencerminkan eskalasi retorika yang signifikan, terutama mengingat konteks pengakuan Palestina oleh Inggris, Prancis, dan beberapa negara Barat lainnya beberapa hari sebelumnya.
Netanyahu menyebut langkah tersebut sebagai “sinyal berbahaya,” mengklaim, “Negara-negara itu telah mengirimkan pesan yang sangat jelas bahwa membunuh orang Yahudi ada untungnya.”
Pernyataan ini menuai kecaman luas dan memicu walkout massal dari sejumlah delegasi di PBB, menggarisbawahi isolasi diplomatik yang kian nyata.
Polarisasi dan Retaknya Konsensus: Di Balik Tirai PBB
Klimaks pidato Netanyahu memuncak ketika ia mencemooh Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, menyebut Otoritas Palestina “korup sampai ke akar-akarnya.”
Ini terjadi sehari setelah Abbas mengutuk serangan 7 Oktober 2023 dan mengecam antisemitisme, sebuah upaya untuk membangun jembatan diplomatik di tengah ketegangan. Respons keras dari Adel Atieh, pejabat Kementerian Luar Negeri Palestina, yang menyebut pidato Netanyahu sebagai “pidato orang yang kalah,” semakin menegaskan jurang pemisah yang kian dalam.
Data historis menunjukkan bahwa pengakuan negara Palestina telah menjadi titik gesek diplomatik selama beberapa dekade. Menurut Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), per 2024, lebih dari 139 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Negara Palestina.
Gelombang pengakuan terbaru dari negara-negara Eropa, termasuk Swedia (2014), dan desakan dari negara-negara seperti Spanyol, Irlandia, dan Norwegia pada tahun-tahun terakhir, menunjukkan pergeseran narasi global yang signifikan, yang dipandang Israel sebagai ancaman eksistensial.
Penolakan Netanyahu terhadap solusi dua negara, yang telah lama menjadi pilar kebijakan luar negeri AS dan PBB, semakin memperumit upaya perdamaian. Posisi ini kontras dengan resolusi PBB dan dukungan luas dari Uni Eropa yang memandang solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju stabilitas jangka panjang.
Trump dan Dilema Tepi Barat: Aliansi yang Goyah?
Yang lebih mengejutkan adalah perbedaan sikap dengan Presiden AS Donald Trump, sekutu dekat Netanyahu. Dalam pertemuan dengan para pemimpin negara Arab dan Muslim untuk membahas rencana perdamaian Gaza, Trump dengan tegas menyatakan tidak akan mengizinkan Israel mencaplok Tepi Barat.
“Rencana perdamaian harus mencakup perlucutan senjata Hamas, bukan aneksasi,” tegas Trump di Ruang Oval Gedung Putih.
Pernyataan Trump ini menandai pivot strategis yang penting. Selama masa kepresidenan sebelumnya, Trump dikenal sebagai pendukung kebijakan Israel yang agresif, termasuk pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Namun, penolakan tegas terhadap aneksasi Tepi Barat kali ini menunjukkan batas-batas dukungan AS, terutama jika hal itu mengancam stabilitas regional dan upaya perdamaian yang lebih luas. Data dari Israel Democracy Institute (IDI) secara konsisten menunjukkan bahwa aneksasi Tepi Barat akan berdampak signifikan pada demografi dan stabilitas politik Israel, sebuah faktor yang mungkin dipertimbangkan oleh AS.
Meskipun demikian, Netanyahu masih melontarkan pujian kepada Trump dan menyebut akan bertemu dengannya di Gedung Putih. Ini menyoroti kompleksitas hubungan pribadi antara kedua pemimpin yang terkadang mendahului kebijakan resmi negara. Namun, retakan dalam fondasi aliansi strategis ini mulai terlihat.
Di luar gedung PBB, sentimen publik juga memanas. Ratusan massa menggelar demonstrasi di Times Square, New York, menyerukan penangkapan Netanyahu. Gelombang penolakan ini, baik di tingkat diplomatik maupun akar rumput, menggarisbawahi betapa sensitif dan terpolarisasinya isu Israel-Palestina di panggung global.
Masa Depan yang Tak Pasti: Antara Retorika Keras dan Realitas Diplomasi
Pidato Netanyahu di PBB 2025 bukan sekadar serangkaian kalimat marah; itu adalah deklarasi niat yang akan memiliki implikasi jangka panjang. Ia menegaskan kembali penolakannya terhadap solusi dua negara, sebuah posisi yang secara fundamental bertentangan dengan konsensus internasional.
Implikasinya sangat besar:
Isolasi Diplomatik Israel: Penolakan keras Netanyahu dapat mempercepat isolasi Israel di forum internasional, mendorong lebih banyak negara untuk mengakui Palestina dan memperkuat tekanan terhadap Israel di lembaga-lembaga seperti Pengadilan Kriminal Internasional.
Krisis Kemanusiaan di Gaza dan Tepi Barat: Dengan pengumuman “penyelesaian pekerjaan” melawan Hamas dan penolakan aneksasi Tepi Barat oleh Trump, masa depan Gaza dan Tepi Barat tetap genting. Data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) secara rutin menyoroti kondisi kemanusiaan yang memburuk di wilayah-wilayah ini, dengan blokade dan konflik yang terus-menerus memicu krisis. [3]
Pergeseran Dinamika Regional: Perpecahan antara Netanyahu dan Trump dapat mengubah dinamika aliansi di Timur Tengah. Negara-negara Arab yang telah menjalin hubungan normalisasi dengan Israel (seperti yang terlihat dalam Abraham Accords di era Trump sebelumnya) mungkin akan mengevaluasi kembali posisi mereka di tengah retorika keras dan perbedaan sikap AS.
Pidato ini adalah sebuah titik balik, sebuah momen yang menggarisbawahi kegagalan diplomasi konvensional dan potensi konflik yang kian meruncing. Pertanyaan besarnya kini: apakah retorika keras Netanyahu akan memperkuat posisinya di dalam negeri ataukah justru akan mendorong Israel menuju isolasi internasional yang lebih dalam, dengan konsekuensi yang tak terduga bagi perdamaian di Timur Tengah (ina/dnv).