Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menilai tarif 100% AS ke produk China justru untungkan Indonesia. Analisis dampaknya pada daya saing produk dan pasar modal.
INDONESIAONLINE – Ancaman Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk menerapkan tarif impor 100 persen terhadap produk asal China mulai 1 November 2025 memicu kekhawatiran global. Namun, di tengah ketegangan geopolitik tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru melihat peluang emas bagi Indonesia.
Menurutnya, langkah proteksionis AS ini secara paradoks dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Paman Sam.
“Biar saja mereka berantem. Kalau kita enggak ada urusan,” ujar Purbaya dengan santai di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (13/10/2025).
“Kalau kita lihat kan, kalau China dikenain tarif 100 persen kan barang kita jadi lebih bersaing di Amerika. Untuk kita untung. Biar aja mereka berantem. Kita untung,” ungkapnya.
Pernyataan lugas ini menggarisbawahi optimisme pemerintah terhadap potensi keuntungan di tengah gejolak perang dagang. Logikanya sederhana: ketika produk China menjadi sangat mahal akibat tarif, produk dari negara lain, termasuk Indonesia, secara otomatis menjadi lebih kompetitif dari segi harga. Ini bisa membuka pintu lebih lebar bagi eksportir Indonesia untuk mengisi celah pasar di AS.
Dua Sisi Mata Uang: Peluang dan Sentimen Negatif
Namun, Purbaya juga tak menampik adanya potensi dampak negatif, terutama pada sentimen pasar keuangan dan modal global. “Mungkin ada sentimen negatif di pasar ya gara-gara pasar sana jatuh,” katanya, merujuk pada kemungkinan gejolak di bursa saham AS yang bisa menjalar ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
Fenomena “Trump Effect” memang bukan hal baru. Sebelumnya, sebuah kalimat dari Trump pernah dilaporkan membuat Rp 25.000 triliun lenyap dari pasar saham AS, menunjukkan betapa besar pengaruh retorikanya terhadap stabilitas ekonomi global.
Ancaman tarif 100 persen ini bukan tanpa sebab. Ini merupakan respons balasan AS terhadap kontrol baru yang diberlakukan China terhadap ekspor mineral tanah jarang. Mineral-mineral ini sangat krusial bagi industri teknologi tinggi, mulai dari otomotif listrik, pertahanan, hingga semikonduktor, dengan sekitar 70 persen pasokan global berasal dari China.
Pada Jumat (10/10/2025) waktu setempat, Trump bahkan menyatakan akan membatalkan pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping pada KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan sebagai bentuk protes. Selain tarif, AS juga berencana mengenakan kontrol ekspor pada semua perangkat lunak penting mulai 1 November 2025.
Implikasi Jangka Panjang bagi Indonesia
Bagi Indonesia, situasi ini menuntut strategi yang cerdas. Pemerintah perlu secara proaktif mengidentifikasi sektor-sektor manufaktur yang memiliki potensi ekspor tinggi ke AS dan memfasilitasi kemudahan berbisnis bagi para eksportir. Diversifikasi produk dan peningkatan kualitas menjadi kunci untuk memanfaatkan momentum ini.
Selain itu, penting juga untuk tetap waspada terhadap volatilitas pasar keuangan. Kebijakan moneter dan fiskal yang pruden akan menjadi benteng pertahanan Indonesia menghadapi ketidakpastian global.
Apakah Indonesia akan benar-benar menjadi pemenang di tengah “perang” antara dua raksasa ekonomi dunia? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, pandangan optimistis Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan secercah harapan di tengah tantangan ekonomi global yang kian kompleks.
Indonesia, sekali lagi, dihadapkan pada situasi yang menuntut adaptasi cepat dan visi strategis.