Anomali Upah Jakarta: Buruh Kepung Istana, Tuntut Revisi UMP 2026

Anomali Upah Jakarta: Buruh Kepung Istana, Tuntut Revisi UMP 2026
Ratusan buruh melakukan demo terkait revisi Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2026 (Ist)

Buruh kepung Istana tolak UMP DKI 2026 Rp 5,7 juta. Polisi terapkan rekayasa lalin situasional. Simak analisis disparitas upah Jakarta vs Bekasi.

INDONESIAONLINE – Di penghujung tahun 2025, ketika sebagian besar warga Ibu Kota tengah menikmati sisa libur Natal dan bersiap menyongsong Tahun Baru, tensi sosial justru memanas di jantung pemerintahan. Senin (29/12/2025), kawasan Medan Merdeka bukan hanya dipadati oleh pelancong yang ingin menikmati Monas, melainkan oleh ribuan buruh yang membawa satu tuntutan krusial: revisi Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2026.

Penetapan UMP DKI Jakarta sebesar Rp 5,7 juta dinilai sebagai sebuah ironi besar bagi kota metropolitan yang menjadi pusat perputaran uang nasional. Aksi ini menjadi ujian krusial bagi stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), sekaligus tantangan politik bagi Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, di masa awal kepemimpinannya.

Strategi “Situasional” di Tengah Libur Nataru

Polda Metro Jaya menghadapi tantangan ganda hari ini. Di satu sisi, mereka harus menjaga keamanan sisa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dengan Operasi Lilin yang masih berlangsung. Di sisi lain, gelombang massa buruh di Istana Negara menuntut konsentrasi penuh.

Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya, Kombes Komarudin, menegaskan pendekatan taktis yang fleksibel. “Rekayasa lalu lintas bersifat situasional,” ujarnya.

Kata “situasional” di sini menjadi kunci; polisi tidak ingin menutup total akses vital Jakarta jika tidak terpaksa, mengingat volume kendaraan masih tinggi akibat mobilitas liburan warga.

Strategi pengalihan arus difokuskan pada simpul krusial di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha hingga perbatasan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Skenario taktis yang disiapkan meliputi:

  1. Arus dari Selatan (Merdeka Selatan): Kendaraan yang hendak menuju Jalan Budi Kemuliaan akan dibelokkan paksa melalui Jalan Kebon Sirih. Ini untuk mencegah penumpukan di titik temu massa.
  2. Arus dari Timur (Menteng/Kwitang): Pengendara dari arah Tugu Tani tidak akan diizinkan lurus ke Merdeka Selatan jika massa membludak, melainkan diputar melingkar menuju Merdeka Timur atau Merdeka Utara (arah Masjid Istiqlal).

Meski 1.500 personel lalu lintas masih terikat dalam pengamanan gereja dan tempat wisata, Komarudin mengerahkan 380 personel tambahan khusus untuk mengawal demo ini. “Kami mengimbau masyarakat menghindari Merdeka Selatan agar tidak terjebak stagnasi,” tambahnya. Langkah ini krusial untuk menjaga denyut nadi ekonomi Jakarta tetap berdetak meski dipapar aksi massa.

Paradoks Upah: Pabrik Panci vs Bank Internasional

Inti dari kemarahan buruh bukan sekadar angka, melainkan rasa ketidakadilan komparatif. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyoroti anomali ekonomi yang terjadi di Jabodetabek.

Data menunjukkan bahwa UMP DKI Jakarta 2026 ditetapkan di angka Rp 5,7 juta. Sementara itu, daerah penyangga seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang telah mengetok palu di angka Rp 5,95 juta—selisih sekitar Rp 250.000.

“Upah buruh di pabrik panci (di daerah penyangga) lebih tinggi dibandingkan upah di bank-bank internasional, bank-bank Himbara, dan perusahaan-perusahaan raksasa asing yang berkantor di Jakarta. Jelas hal ini tidak masuk akal,” tegas Said Iqbal dengan nada tinggi.

Analogi “Pabrik Panci vs Bank Internasional” ini menampar logika ekonomi makro. Secara teoritis, Jakarta sebagai pusat jasa dan keuangan (service sector) dengan biaya hidup (cost of living) yang mencekik, seharusnya menawarkan standar upah tertinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2024-2025 menunjukkan bahwa indeks kemahalan konstruksi dan biaya sewa hunian di Jakarta jauh melampaui Karawang atau Bekasi. Namun, struktur upah justru berbanding terbalik.

Fenomena ini terjadi karena Bekasi dan Karawang merupakan basis manufaktur (sectoral industry) yang memiliki serikat pekerja tingkat pabrik yang sangat kuat dalam negosiasi Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), sebuah komponen yang seringkali absen atau lemah di sektor jasa Jakarta.

Tuntutan Revisi: Angka Psikologis Rp 5,89 Juta

Buruh tidak menuntut angka yang fantastis, melainkan angka yang rasional menurut hitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Tuntutan mereka adalah revisi UMP DKI Jakarta 2026 menjadi Rp 5,89 juta.

Said Iqbal berargumen bahwa daya beli (purchasing power) buruh di Jakarta tergerus lebih cepat dibanding daerah lain. Kenaikan harga bahan pokok, tarif transportasi, dan sewa tempat tinggal di Ibu Kota tidak sebanding dengan kenaikan upah yang hanya berkisar di angka konservatif. Jika UMP tetap di Rp 5,7 juta, buruh mengkhawatirkan terjadinya “pemiskinan struktural” bagi pekerja kerah biru di Jakarta.

“Tidak mungkin daya beli di Jakarta lebih kecil dibandingkan daya beli di Bekasi dan Karawang,” tambah Said. Logika ini didukung oleh fakta bahwa pekerja di Jakarta seringkali harus mengeluarkan biaya transportasi ganda (commuter) karena tempat tinggal mereka yang tergeser ke pinggiran akibat mahalnya hunian di tengah kota.

Ujian Bagi Pramono Anung dan Rano Karno

Bola panas kini berada di tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur Pramono Anung didesak untuk menggunakan diskresinya. Dalam lanskap politik lokal, Wakil Gubernur Rano Karno sebelumnya sempat melontarkan pernyataan diplomatis, “Tidak puas itu wajar.” Namun, bagi buruh, empati saja tidak cukup. Mereka butuh tanda tangan revisi kebijakan.

Secara hukum, penetapan UMP mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan yang menggunakan formula variabel alfa, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Provinsi seringkali “terkunci” oleh regulasi pusat ini.

Namun, buruh mendesak Gubernur untuk berani membuat terobosan kebijakan (diskresi) mengingat status Jakarta yang sebentar lagi bertransformasi dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) pasca-perpindahan ibu kota negara ke Nusantara.

Momentum demo di akhir tahun ini bukan tanpa risiko. Di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi global dan tantangan “Tiga Bandul Ekonomi RI 2026” (stabilitas harga, penciptaan lapangan kerja, dan investasi), menaikkan upah secara drastis bisa memicu layoff atau PHK. Namun, menahan upah terlalu rendah juga berisiko mematikan daya beli masyarakat, yang notabene adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia (konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% PDB).

Hari ini, aspal Jalan Medan Merdeka Selatan akan menjadi saksi tarik-menarik kepentingan tersebut. Apakah aspirasi buruh akan didengar, ataukah akan menguap bersamaan dengan berakhirnya tahun 2025? Satu hal yang pasti, bagi para pengendara di Jakarta, hari ini adalah hari untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesabaran di jalan raya.